Belajar Menyimpang dari Komunitas yang Menyimpang
Edwin H. Sutherland dalam teori Differential Association menegaskan bahwa perilaku menyimpang bukanlah bawaan lahir atau semata-mata hasil kegagalan moral individu, melainkan sesuatu yang dipelajari melalui interaksi sosial dengan kelompok atau komunitas yang memiliki norma berbeda dari masyarakat umum. Dalam konteks Fantasi Sedarah, anggota grup ini tidak hanya menemukan ruang untuk mengekspresikan hasrat yang dianggap tabu secara sosial, tetapi juga belajar, menguatkan, dan menormalisasi perilaku menyimpang tersebut melalui komunikasi dan interaksi intens di dalam komunitas. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan mengadopsi perilaku menyimpang jika dalam proses sosialisasi mereka lebih sering terpapar pada norma dan nilai yang membenarkan perilaku tersebut daripada norma yang melarangnya. Di grup Facebook tertutup seperti Fantasi Sedarah, anggota secara konsisten menerima pesan-pesan yang menguatkan fantasi dan hasrat seksual yang tidak lazim, yang dalam masyarakat umum jelas-jelas dilarang dan distigmatisasi. Proses pembelajaran ini menciptakan lingkungan sosial yang mendukung dan memperkuat penyimpangan tersebut, membuat anggota semakin terikat dan sulit keluar dari lingkaran itu. Interaksi dalam komunitas tertutup ini memungkinkan anggota untuk membangun identitas kolektif sebagai kelompok yang ‘berbeda’ dan bahkan merasa ‘disalahpahami’ oleh masyarakat luas. Mereka menemukan solidaritas dan rasa aman dalam kelompok, yang membuat perilaku menyimpang menjadi sumber pengakuan dan afiliasi sosial, bukan sekadar tindakan terlarang. Keberadaan grup tertutup juga menghindarkan mereka dari pengawasan sosial eksternal, memperkecil risiko sanksi dan memudahkan proses internalisasi norma baru yang menyimpang.
Dalam analisis Sutherland, fenomena ini menunjukkan bagaimana penyimpangan bukan hanya perbuatan individu yang menyimpang sendiri, melainkan hasil dari proses sosial yang sangat kompleks. Grup seperti Fantasi Sedarah berperan sebagai “komunitas” penyimpangan yang mengajarkan dan menguatkan perilaku serta nilai yang bertentangan dengan norma masyarakat luas. Karena itu, pengaruh komunitas sangat kuat dalam mempertahankan dan mereproduksi penyimpangan tersebut. Pada intinya, teori Differential Association menekankan pentingnya konteks sosial dan jaringan interpersonal dalam memahami penyimpangan. Kasus Fantasi Sedarah memperlihatkan bagaimana lingkungan sosial yang kondusif bagi penyimpangan melalui komunikasi intens dan norma kelompok yang terinternalisasi mendorong individu untuk mengadopsi dan mempertahankan perilaku yang menyimpang, bahkan dalam skala yang ekstrem sekalipun.
Konsekuensi yang akan Diterima dari Labeling Masyarakat
Teori Labeling atau Penandaan dikembangkan oleh sosiolog seperti Howard Becker dan Edwin Lemert, yang menyoroti bagaimana proses sosial memberi label pada individu atau kelompok sebagai “penyimpang” dapat memengaruhi identitas dan perilaku mereka secara signifikan. Dalam kasus grup Facebook Fantasi Sedarah, anggota yang terlibat dalam aktivitas dan diskusi yang sangat tabu dan menyimpang tersebut secara sosial telah mendapatkan stigma yang kuat dari masyarakat luas. Label sebagai “penyimpang seksual” atau bahkan “pelanggar norma moral” bukan hanya melekat dari luar, tapi dapat menjadi bagian dari identitas diri mereka sendiri. Teori ini lebih cocok untuk menganalisis konsekuensi apabila ada seseorang yang ketahuan pernah tergabung dengan anggota grup Fantasi Sedarah ini.
Menurut teori ini, penyimpangan bukan hanya sekadar tindakan yang salah atau melanggar norma, melainkan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial melalui proses penandaan. Individu yang awalnya mungkin melakukan perilaku tertentu tanpa makna khusus, setelah diberi label sebagai penyimpang oleh masyarakat atau otoritas, akan mulai menginternalisasi label tersebut dan bahkan dapat memperkuat perilaku menyimpang sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma. Dalam konteks Fantasi Sedarah, label negatif yang ditempelkan pada mereka bisa membuat anggota semakin menjauh dari norma sosial umum dan semakin aktif dalam kelompok yang memberi rasa diterima. Proses ini disebut secondary deviance oleh Lemert, yaitu ketika perilaku menyimpang awal (primary deviance) diperkuat oleh respon sosial berupa pelabelan. Label ini sering membawa konsekuensi sosial berupa isolasi, diskriminasi, dan marginalisasi. Anggota grup tertutup seperti Fantasi Sedarah mungkin mengalami tekanan sosial dari lingkungan luar yang menolak mereka, sehingga mereka mencari pengakuan dan rasa aman dalam kelompok yang menerima mereka tanpa syarat. Dengan demikian, kelompok tersebut menjadi tempat penguatan identitas sebagai penyimpang. Selain itu, teori labeling juga menyoroti peran institusi sosial media, hukum, agama dalam proses pelabelan ini. Media yang mengangkat kasus seperti Fantasi Sedarah biasanya memberikan framing yang sangat negatif, memperkuat stigma masyarakat. Sedangkan tindakan hukum yang mungkin menindak anggota yang terlibat dapat memperdalam marginalisasi. Namun, dalam beberapa kasus, pelabelan ini justru mendorong solidaritas internal dan memperkuat kohesi kelompok penyimpang.
Analisis teori labeling pada kasus ini mengungkapkan paradoks penting, pelabelan sebagai “penyimpang” berpotensi membuat individu makin terjerumus dalam penyimpangan, bukan sebaliknya. Hal ini menjelaskan mengapa meskipun ada tekanan sosial dan hukum, grup seperti Fantasi Sedarah masih bertahan dan bahkan berkembang. Label negatif dari luar justru membentuk identitas yang melekat dan menjadi sumber kekuatan kelompok. Dampak terburuknya, seseorang yang dilabeli sebagai anggota grup ini, mereka akan berperilaku menyimpang seperti yang dilabelkan pada dirinya.
Anomie, Kegagalan dan Pelarian Akibat Kekangan Norma
Robert K. Merton mengembangkan konsep anomie dari Durkheim dengan fokus pada ketegangan yang terjadi ketika norma sosial dan tujuan budaya tidak selaras dengan cara-cara yang tersedia bagi individu untuk mencapainya. Dalam teorinya, anomie adalah kondisi ketidaksesuaian antara harapan budaya, misalnya, sukses, pengakuan sosial, atau kebahagiaan dengan kesempatan nyata yang dimiliki individu dalam masyarakat untuk meraihnya melalui cara-cara yang sah. Kasus grup Fantasi Sedarah dapat dianalisis melalui konsep anomie Merton, karena anggota kelompok ini secara sosial terpinggirkan dan teralienasi dari norma dan nilai dominan masyarakat. Ketika struktur sosial gagal menyediakan jalur yang wajar dan legal bagi individu untuk memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis mereka, beberapa individu mungkin mencari alternatif di luar norma, termasuk dalam bentuk perilaku menyimpang yang ekstrem seperti yang ditemukan di grup tersebut.
Merton mengklasifikasikan lima mode adaptasi terhadap anomie konformitas, inovasi, ritualisme, retretisme, dan pemberontakan.
- Konformitas (Conformity), ketika individu menerima tujuan sosial dan cara-cara legal untuk mencapainya, menjadi bentuk perilaku mayoritas.
- Inovasi (Innovation), ketika seseorang tetap menerima tujuannya (seperti kesuksesan) tetapi menggunakan cara-cara yang tidak sah atau ilegal, seperti korupsi atau kriminalitas
- Ritualisme (Ritualism), ketika individu menyerah pada tujuan tetapi tetap mengikuti aturan secara mekanis, seperti pegawai birokrasi yang bekerja tanpa harapan naik pangkat
- Retretisme (Retreatism), yakni penolakan baik terhadap tujuan maupun cara-cara konvensional, umumnya terlihat dalam kelompok yang menarik diri dari masyarakat seperti pecandu, tunawisma, atau dalam konteks ini, komunitas fantasi menyimpang
- Pemberontakan (Rebellion), ketika individu menolak baik tujuan maupun cara yang berlaku, lalu menciptakan sistem nilai baru sebagai bentuk perlawanan, seperti yang terjadi dalam komunitas menyimpang yang membentuk “realitas alternatif” untuk membenarkan perilaku mereka sendiri.
Anggota grup Fantasi Sedarah cenderung masuk ke dalam kategori retretisme dan pemberontakan. Retretisme adalah penarikan diri dari norma dan tujuan budaya, sementara pemberontakan adalah penolakan sekaligus penggantian norma dengan sistem nilai alternatif. Dalam konteks ini, mereka menolak nilai-nilai moral sosial umum dan membentuk sistem nilai sendiri dalam kelompok tertutup yang menerima hasrat dan fantasi mereka. Ketegangan sosial ini diperparah oleh marginalisasi, stigma, dan keterbatasan akses ke jaringan sosial yang sehat. Tekanan dan isolasi ini membuat individu makin sulit berintegrasi dengan norma mayoritas, sehingga mereka mencari tempat aman dalam komunitas yang menyediakan dukungan emosional dan pengakuan, meskipun dengan norma yang menyimpang. Grup tertutup seperti Fantasi Sedarah menjadi semacam mekanisme koping bagi anggota yang merasa gagal memenuhi standar sosial umum.