Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Sinis melalui Mazhab Frankfurt

17 Mei 2025   13:51 Diperbarui: 20 Mei 2025   18:50 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai penutup, Mazhab Frankfurt sejak awal memang bukan proyek yang bertujuan memberi solusi praktis atau memandu kebijakan publik. Ia adalah bentuk pemberontakan intelektual yang terus-menerus gelisah terhadap dunia modern yang penuh kontradiksi. Para pemikirnya seperti Horkheimer, Adorno, dan Marcuse bukanlah “pembangun dunia baru”, melainkan “pengganggu wacana lama” yang memaksa kita melihat kembali apa yang tampak normal, wajar, dan tak terbantahkan. Mereka skeptis terhadap sains yang telah diprivatisasi, terhadap budaya yang dikomodifikasi, dan terhadap politik yang dijalankan atas nama kebebasan tetapi penuh manipulasi. Banyak kritik yang mengatakan bahwa Mazhab Frankfurt terlalu sinis, bahkan anti-kemajuan. Mereka menolak positivisme, menyerang industri budaya, dan mencurigai setiap bentuk ekspresi populer sebagai alat hegemoni. Namun justru dalam posisi itulah kekuatan mazhab ini terletak. Ia tidak dimaksudkan untuk memuaskan, tapi untuk mengguncang. Ia tidak hendak memberi kenyamanan, tapi justru menyentil nalar kritis yang tertidur dalam masyarakat yang serba cepat, visual, dan algoritmik. Seperti ditulis dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, “Critical Theory is not a doctrine, but a constant interrogation of ideology.”

Mazhab Frankfurt seperti pemikiran jadul yang tiba-tiba menjadi relevan kembali. Ketika TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels menjanjikan kecepatan, hiburan, dan ekspresi diri, Mazhab Frankfurt justru bertanya “Ekspresi diri yang seperti apa? Atas kepentingan siapa? Dan mengapa semua ini begitu mirip?” Dunia digital bukanlah ruang bebas, tetapi ruang produksi makna yang sudah diarahkan oleh kepentingan ekonomi dan struktur kekuasaan. Sikap kritis yang ditanamkan Mazhab Frankfurt ibarat virus intelektual yang tidak pernah sembuh. Ia menolak tunduk pada kebiasaan berpikir mainstream, bahkan ketika hal itu membuatnya tampak elitis atau terlalu teoritis. Tapi justru karena itulah ia menjadi perangkat gangguan epistemologis yang sangat penting hari ini. Dalam masyarakat yang terlalu nyaman dengan ilusi kebebasan, Mazhab Frankfurt menyerukan untuk berpikirlah ulang. Dalam budaya yang terlalu terbiasa dengan hiburan, ia meminta kita untuk mencurigai. Dalam politik yang terlalu sering menggunakan retorika moral, ia mengajak kita membongkar ideologinya.

Tentu saja ada paradoks dalam pendekatan Mazhab Frankfurt. Mereka ingin membebaskan, tapi tidak pernah percaya pada cara-cara konvensional untuk membebaskan. Mereka mencintai kebebasan, tapi curiga pada semua institusi yang mengklaim membawanya. Mereka menolak sistem yang represif, namun tidak pernah puas dengan alternatif yang ada. Bahkan Habermas pun pada akhirnya harus “memberi arah baru” agar kritik mereka tidak hanya berujung pada pesimisme intelektual. Tapi mungkin, di situlah letak pentingnya, Mazhab Frankfurt tidak pernah selesai dan memang tidak ingin selesai. Pada intinya, Di tengah dunia yang makin dangkal dan cepat, di mana manusia berkompetisi dalam kecepatan konsumsi dan pelupaan, Mazhab Frankfurt berdiri seperti pengingat sunyi bahwa tidak semua yang viral itu penting, tidak semua yang menyenangkan itu membebaskan, dan tidak semua yang kita anggap ‘diri kita sendiri’ itu benar-benar milik kita. Sebuah dunia yang terlalu diam terhadap kekuasaan membutuhkan suara-suara “pengganggu” seperti Frankfurt. Dan mungkin, justru karena mereka tidak pernah puas, kita tetap membutuhkannya.

Referensi utama yang saya gunakan,

Adorno, Theodor W. 1991. The Culture Industry Selected Essays on Mass Culture. London: Routledge

Thayf, Hendragunawan S. 2021. Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Sebuah Pengantar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

https://iep.utm.edu/critical-theory-frankfurt-school/

https://www-thecollector-com.translate.goog/6-critical-theorists-frankfurt-school/

https://revolusioner.org/mazhab-frankfurt-kemunafikan-terorganisir-marxisme-akademis-2/

https://youtu.be/cFeXHBlQVj4?si=5pQKEyra4udZoqnf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun