Kemajuan teknologi digital membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, berpikir, dan berperilaku. Ruang maya kini menjadi panggung utama kehidupan sosial: tempat kita mencari informasi, mengekspresikan diri, bahkan membentuk opini publik. Namun di balik kemudahan dan kecepatan itu, muncul tantangan baru yang tak kalah serius --- krisis moral di dunia digital. Fenomena penyebaran hoaks, ujaran kebencian, perundungan daring, hingga budaya pamer dan viral tanpa etika menjadi gambaran nyata bagaimana moralitas masyarakat sering kali tertinggal jauh di belakang teknologi.
Di tengah arus deras perubahan itu, santri memiliki posisi strategis sebagai penjaga moral bangsa. Sejak dahulu, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter. Santri ditempa dengan nilai kejujuran, kesederhanaan, disiplin, dan adab. Nilai-nilai ini menjadi fondasi kuat untuk menghadapi dunia digital yang sering kali tanpa batas dan tanpa etika. Ketika sebagian orang mudah terpancing oleh emosi dan berita palsu, santri diharapkan hadir membawa ketenangan, kebijaksanaan, dan kesejukan.
Menjadi penjaga moral di era digital bukan berarti menolak kemajuan teknologi. Justru sebaliknya, santri ditantang untuk mengintegrasikan nilai-nilai pesantren dengan literasi digital. Media sosial, misalnya, dapat menjadi ladang dakwah baru jika dikelola dengan bijak. Banyak santri muda yang kini menebar pesan kebaikan melalui video pendek, podcast, hingga infografis edukatif. Dengan cara yang kreatif dan ringan, mereka menyampaikan nilai-nilai Islam yang damai, toleran, dan relevan dengan kehidupan modern. Ini menunjukkan bahwa dakwah tidak lagi terbatas di mimbar masjid, tetapi juga bisa hidup di linimasa dan layar gawai.
Namun, menjaga moral di tengah arus digital tidak cukup hanya dengan niat baik. Santri perlu membekali diri dengan literasi digital yang kuat --- kemampuan untuk memverifikasi informasi, memahami etika bermedia, dan berpikir kritis terhadap konten yang dikonsumsi. Dunia maya adalah ruang yang cair; di sana, kebenaran sering kali dikalahkan oleh popularitas. Karena itu, santri harus mampu menjadi penapis informasi, bukan sekadar penonton pasif. Prinsip tabayyun (klarifikasi sebelum menyebarkan) yang diajarkan dalam Islam sejalan dengan semangat literasi digital yang mendorong verifikasi dan tanggung jawab sosial.
Lebih dari itu, peran santri di dunia digital juga menyentuh aspek kebangsaan. Di tengah meningkatnya polarisasi politik dan perpecahan sosial akibat media sosial, santri dapat berperan sebagai jembatan yang memperkuat semangat persaudaraan dan keindonesiaan. Dengan membawa semangat hubbul wathan minal iman --- cinta tanah air bagian dari iman --- santri menjadi pengingat bahwa kemajuan bangsa tidak akan berarti tanpa persatuan dan akhlak.
Menjadi santri di era digital adalah panggilan moral sekaligus tantangan zaman. Santri bukan hanya pewaris ilmu agama, tetapi juga penjaga nurani bangsa yang bertugas memastikan teknologi tidak menghapus kemanusiaan. Dengan akhlak sebagai kompas dan pengetahuan sebagai bekal, santri dapat membantu mengarahkan arus digital menuju kebaikan, bukan kehancuran. Di saat dunia maya sering kali kehilangan arah, santri hadir sebagai cahaya --- kecil tapi menerangi, sederhana tapi bermakna. Karena di tengah derasnya arus digital, yang paling dibutuhkan bangsa ini bukan hanya kecanggihan, tetapi keluhuran moral dan kebijaksanaan hati. Â
Alfiatunnikmah Mahasiswa Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kudus bertempat lahir di kabupaten pati pada tanggal 01 Oktober 2004
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI