Mohon tunggu...
alfeus Jebabun
alfeus Jebabun Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Alfeus Jebabun, Advokat (Pengacara), memiliki keahlian dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Alfeus bisa dihubungi melalui email alfeus.jebabun@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Akhibat Hukum Kreditur Tidak Memiliki Sertifikat Fidusia

15 April 2021   19:16 Diperbarui: 15 April 2021   19:24 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman yang berprofesi sebagai marketing pernah bertanya kepada saya: apa akibat hukumnya kalau kreditur tidak memiliki sertifikat fidusia atau sertifikat hak tanggungan? Saya berusaha menjawabnya sependek pengetahuan saya.

Banyak ditemui di lapangan, para kreditur lalai mendaftarkan akad kreditnya sesuai aturan. Ada berbagai alasan mengapa mereka tidak mengurusnya, mulai dari percaya sama konsumen sampai dengan takut atau tidak mau mengeluarkan uang lebih untuk membayar jasa notaris. Masuk akal. Misalnya, saat mereka membiayai pembelian motor, sayang saja kalau mereka harus mengeluarkan uang lagi untuk pergi ke notaris dan mendaftarkan perjanjian fidusia kementerian hukum dan HAM, padahal belum tentu konsumennya akan gagal bayar.

Kalau dipikir, menurut saya, lebih aman mendaftarkan fidusia daripada belakangan buang uang cukup besar untuk menagih kredit gagal. Banyak hal yang akan dibayar. Uang didapat kadang tidak sebanding dengan uang yang dikeluarkan. Belum lagi melanggar hukum karena menggunakan jasa dept collector.

 Apa manfaatnya pendaftaran fidusia atau tanggungan? Sebelum saya jawab, pertama-tama perlu diulas definisi fidusia. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Benda-benda yang dapat menjadi objek perjanjian fidusia adalah benda bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud maupun benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

Jaminan Fidusia mengandung asas preferensi artinya kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya (asas droit de preference). Selain itu, dalam jaminan fidusia, melekat asas bahwa Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada (asas droit de suite atau zaaksgevolg) serta asas bahwa Jaminan Fidusia adalah asesoritas yang artinya Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (Pasal 4 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

Jaminan Fidusia juga mengandung syarat publisitas yang bersifat mutlak atau absolut yang artinya bahwa Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat eksekutorial karena adanya irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" dalam sertifikat jaminan fidusia. Dengan adanya irah-irah tersebut dalam sertifikat jaminan fidusia, maka jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia (kreditor) mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Kreditor tidak perlu bersengketa ke pengadilan terlebih dahulu.

Namun, agar jaminan tersebut dapat langsung dieksekusi tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu ke Pengadilan, pembebanan benda dengan jaminan fidusia harus dengan akta notaris, dan wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Konsekuensi Tidak Ada Sertifikat Jaminan Fidusia

Salah satu fungsi sertifikat jaminan fidusia adalah untuk kepentingan eksekusi. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki kedudukan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya sertifikat, Kreditor dapat langsung melakukan eksekusi terhadap harta atau benda yang dijaminkan, tanpa melalui proses sengketa ke pengadilan, bahkan tanpa melalui pengajuan permohonan eksekusi terlebih dahulu ke pengadilan sebagaimana diatur melalui Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBG. Sebaliknya, apabila perjanjian Jaminan Fidusia tidak didaftarkan, maka jaminan tersebut tidak dapat langsung dilakukan eksekusi jika debitur melakukan cedera janji (wanprestasi).

Lantas, apa solusinya kalau perjanjian fidusia belum didaftarkan? Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan, hanya dapat dilakukan eksekusi setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya, kreditor harus mengajukan gugatan terlebih dahulu ke pengadilan. Apabila menang, dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, Kreditor selanjutnya mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.

Sekarang, Mahkamah Agung telah menyediakan mekanisme sederhana untuk menyelesaikan persoalan seperti ini. Dalam hal debitor wanprestasi, Kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri melalui mekanis gugatan sederhana.

Penyelesaian gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian sederhana. Perkara-perkara yang dapat diselesaikan melalui mekanisme gugatan sederhana ini adalah perkara-perkara cidera janji/wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum, namun tidak termasuk perkara atau sengketa hak milik atas tanah atau sengketa yang penyelesaiannya melalui pengadilan khusus.

Penyelesaian gugatan sederhana diperiksa dan diputus paling lambat dalam waktu 25 hari kerja sejak hari sidang pertama. Perkara gugatan sederhana dilakukan oleh hakim tuggal, dan jika ada pihak yang keberapan dengan putusan hakim tunggal, pihak yang keberatan tersebut dapat mengajukan keberatan pada pengadilan yang sama, dan akan diperiksa oleh hakim dalam majelis (sekitar tiga orang hakim). Tidak ada upaya hukum banding maupun kasasi serta peninjauan kembali terhadap putusan gugatan sederhana.

Jangan mengajukan gugatan wanprestasi atas jaminan fidusia melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1/Yur/Perkons/2018, sengketa yang timbul dari perjanjian pembiayaan dan kredit baik dengan hak tanggungan maupun fidusia tidak tunduk pada UU Perlindungan Konsumen sehingga bukan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Akhibat Hukum Absensi Sertipikat Hak Tanggungan

Akibat hukum atas tidak adanya sertifikat Hak Tanggugan, persis sama dengan penjelasan mengenai jaminan fidusia diatas.

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Selanjutnya, Pasal 13 ayat (3) UU Hak Tanggungan mengatur bahwa Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yakni hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya (Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5) UU Hak Tanggungan).

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 14 ayat (1) UU Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" (Pasal 14 ayat (2) UU Hak Tanggungan). Sertifikat Hak Tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah (Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan.

Perlu diingat, Mahkamah Konstitusi telah membuat tafsiran tentang aturan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia dan jaminan hak tanggungan di atas. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, putusan serta merta terhadap jaminan fidusia baru dapat dilakukan apabila dalam perjanjian telah jelas mengenai kapan debitor dinyatakan telah cidera janji atau debitor mengakui telah cidera janji. Berdasarkan putusan MK tersebut, jika Debitor keberatan dan tidak mengakui telah melakukan cidera janji, maka eksekusi jaminan fidusia dilakukan melalui permohonan eksekusi ke pengadilan.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian tentang fidusia di atas, ketiadaan sertifikat hak tanggungan mengakibatkan perjanjian hak tanggugan tidak bisa langsung dieksekusi jika debitor ingkar janji. Terhadap hak tanggungan yang tidak terdaftar dan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan, kreditor harus mengajukan gugatan terlebih dahulu ke pengadilan untuk memperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam hal nilai hak tanggungan berada di bawah Rp 500.000.000 (lima ratus juta), maka kreditor dapat memakai mekanisme gugatan sederhana, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun