Mohon tunggu...
alfeus Jebabun
alfeus Jebabun Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Alfeus Jebabun, Advokat (Pengacara), memiliki keahlian dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Alfeus bisa dihubungi melalui email alfeus.jebabun@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kata MA Mengenai Waris Adat

18 September 2020   12:53 Diperbarui: 18 September 2020   12:57 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya paling suka membuat ringkasan putusan pengadilan, khususnya putusan Mahkamah Agung (MA). Tentu saja tidak semua putusan. Ketika saya menemukan putusan yang menurut saya menarik, saya selalu tergoda untuk membuat ringkasan. Kalian yang suka membaca putusan pengadilan, bisa juga mengunjungi blog pribadi saya di parleso.id. 

Kali ini saya mau membagi putusan MA mengenai hukum waris adat: putusan nomor 1130 K/Pdt/2017. Kasus ini terjadi di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ini adalah sengketa warisan. Sebelum saya menceritakan kasus ini dan apa pendapat MA, saya mau kasi tau ke kalian, bahwa orang Manggarai menganut budaya patrilineal. Karenanya, yang berhak mendapat warisan harta benda dari orang tua adalah hanya anak laki-laki.

Dalam kasus ini, diceritakan, para Penggugat hendak menjual tanah beserta bangunan di atasnya, yang merupakan harta peninggalan orang tuanya. Sebelum menjual, para Penggugat telah sepakat bahwa hasil penjualan akan dibagi rata kepada semua ahli waris yang berhak, juga sukarela diberikan kepada saudari-saudari mereka sebagai 'widang' (pemberian dari saudara laki-laki kepada saudara perempuan). Namun, niat Penggugat itu dihalau oleh saudari-saudarinya (para Tergugat). 

Para Tergugat selanjutnya menguasai tanah dan bangunan yang menjadi objek sengketa. Berulang kali Para Penggugat menyampaikan agar Para Tergugat keluar meninggalkan tanah dan bangunan yang menjadi objek sengketa tetapi Para Tergugat tidak bergeming karena itu untuk menghindari adanya keributan dan karena menghormati hukum, maka Para Penggugat memilih menggunakan jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Ruteng. Penggugat pada intinya meminta Pengadilan agar menetapkan bahwa Penggugat adalah satu-satunya ahli waris berdasarkan hukum adat Manggarai. Dalam gugatannya, Penggugat mendalilkan bahwa dalam budaya Manggarai dikenal istilah "ata one" (laki-laki) dan "ata pe'ang" (perempuan). 

Berdasarkan hukum adat Manggarai anak perempuan (ata pe`ang) tidak berhak mewarisi harta benda orang tuanya karena anak perempuan akan mengikuti klan suaminya (kawin keluar) dan karenanya akan mendapat warisan dari suaminya. Nilai yang terkandung dalam prinsip ini adalah keadilan/agar ada keseimbangan. Tidak boleh mendapat/menerima 2 sumber waris (anak perempuan tidak boleh mendapat waris dari orang tua dan dari suami). Prinsip dan nilai ini sudah terjadi sejak dahulu kala dari dulu hingga sekarang dan tetap berlaku sebagai living law nya orang Manggarai karena itu anak perempuan apalagi yang sudah bersuami sama sekali tidak berhak untuk menuntut warisan orang tuanya.

Namun demikian, dalam hukum adat Manggarai dimungkinkan anak perempuan mendapatkan harta benda orang tuanya bukan dengan judul warisan tetapi berdasarkan Wida (pemberian bersyarat) dan Widang (pemberian tanpa syarat Dalam hukum adat Manggarai terkait warisan jika anak lakilaki mengingat dan kemudian memberi kepada saudari perempuan adalah hal yang luar biasa dan sangat patut disyukuri karena itu berarti hubungan persaudaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan sangat erat dan mesra.

Dalam banyak hal yang sudah terjadi anak perempuan sama sekali tidak mendapat dan tidak diberi. Dan anak perempuan pun tidak menuntut karena tahu diri bahwa mereka adalah ata pe`ang yang tidak berhak.

Pengadilan Negeri Ruteng mengabulkan gugatan Penggugat. Namun, putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Kupang, Para Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA menolak permohonan kasasi para Penggugat (Pemohon) dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang. Menurut MA, anak laki-laki dan anak perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam sistem waris.

MA berpendapat, "Konstitusi negara menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Bahwa Yurisprudensi dan praktik peradilan memberikan pengakuan hak waris kepada perempuan atas harta peninggalan orang tuanya; Bahwa Hukum Adat Waris dalam perkembangannya bersifat dinamis dan Hukum Adat (termasuk Hukum Waris Adat) yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam negara kesatuan RI termasuk Hukum Adat yang tidak mengakui hak perempuan maka Hukum Adat tersebut tidak dapat dipertahankan."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun