Mohon tunggu...
Alfaza Fara
Alfaza Fara Mohon Tunggu... -

just simple

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jadi Penulis?

5 Desember 2011   04:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:49 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak ingin jadi penulis? Jika kita gemar membaca dan main-main ke toko buku, pasti kita ingin suatu saat kelak buku kita yang dipajang di toko buku dan dibaca orang. Impian kita makin berkembang dengan banyaknya penulis best seller yang karyanya difilm-kan, jadi box office, dan si penulis menjadi selebriti. Namun, impian kadang tak sejalan dengan kenyataan. Menjadi penulis sukses tidak hanya diperlukan waktu sehari. Terlalu panjang proses "resmi" yang harus dilalui. Dan, kita dihadapkan pada kenyataan yang paling buruk: naskah yang sudah kita persiapkan dengan matang dan keyakinan akan mengantarkan kita pada gerbang ketenaran ditolak penerbit besar. Beruntunglah mereka yang mempunyai kantong agak tebal. Sekarang ini menjamur penerbit indie yang mau menerbitkan buku tanpa seleksi.  Yang penting punya modal untuk proses terbit buku, dan punya banyak teman yang akan menjadi pangsa. Simpel. Urusan promosi menjadi mudah dengan adanya jejaring sosial. Cukup pasang kaver buku sebagai foto profil, lalu tandai sejumlah teman. Selesai. Urusan royalti, bisa nego dengan penerbit. Apakah minim resiko? Tentu saja tidak. Banyak kejadian, karya saudah dikirim, uang penerbitan juga sudah di-transfer, tapi buku tak kunjung terbit. Malah, si penerbit yang melarikan diri. Kasus lainnya, buku sudah terbit, sudah banyak teman-teman yang membeli, tapi royalti tak kunjung tiba. Pada hakikatnya, menulis adalah proses yang membutuhkan segunung kesabaran. Sabar dalam berlatih dan membuat karya yang baik. Juga, sabar dalam menanti keputusan penerbit dan merevisi hingga karya yang kita buat bukan seadanya atau bagus menurut penilaian kita. Tanpa kita harus memaksa untuk terbit saat itu juga, naskah yang baik dan sesuai standar akan mendapat peluang di penerbitan-penerbitan besar. Apa bedanya menerbitkan di penerbitan besar dengan menerbitkan indie? Toh, sama-sama terbit juga. Ya, kalau mau melihat ujungnya, dua hal itu memang sama. Tapi, lihatlah alasan kenapa sebuah buku diterbitkan. Yang mana yang lebih menghargai kita sebagai seorang penulis? Ya, kita penulis, bukan pengusaha. Tak perlu berapa banyak modal yang kita miliki. Sebab, yang kita butuhkan untuk menjadi penulis adalah karya. Saya mendapat cerita tentang lima orang perempuan yang menulis sebuah buku. Karya mereka diterima di salahsatu penerbit, lini dari penerbitan Mizan. Namun, proses hingga karya mereka terbit ternyata jauh dari kata mudah. Mereka melewati empat kali revisi naskah. Hal ini tentu saja melelahkan. Mereka sempat berkeinginan mencari penerbit lain yang lebih mudah. Tapi rencana tersebut batal. Hingga akhirnya, setelah proses dua tahun, terbit juga buku yang berjudul Muslimah Nggak Gitu, Deh. Dari proses yang panjang itu, mereka belajar tentang standar naskah di sebuah penerbitan, membaca selera pasar, hingga tahapan promosi. Hebatnya lagi, buku itu masuk kategori best seller. Hasil akhir yang bagus membuat penerbit memercayai mereka untuk menulis buku berjudul Don't Touch Me. Bersabarlah dalam proses jika menginginkan akhir yang manis

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun