Pabrik ini memang berada di jalan bypass. Banyak mobil yang berlalulalang. Baik itu motor, minubus, sedan serta fuso dan tronton. Tapi, malam itu tidak ada kendaraan sama sekali. Kata Kimas, hanya ada kunang-kunang. Itu pun di balik pagar yang berkarat dan hitam serta terdapat ukiran-ukiran.
"Duar. Klontang Klonteng Teng Teng Teng." Suara benda jatuh terdengar dari  balik jendela yang sedari tadi menjadi pemandangan Kimas. Tak ada penampakkan apa pun selama setengah menit. Namun, Kimas pingsan ketika melihat wajah berambut panjang yang matanya keluar dan bibirnya belah mengucurkan darah dan lidahnya selalu menjulur. Giginya pun seperti taring babi.
Aku ingin sekali menceritakan kisah ini kepada Ikhsan. Aku ingin menceritakan kalau Kimas, teman satu kampungku itu pulang ke rumah diantar oleh supir truk. Supir truk yang kebetulan lewat itu langsung menghentikan laju kendaraannya. Ketika fajar baru mengembang, dia dan kawannya langsung menggotong kimas ke dalam mobil. Sedangkan motornya masuk di bagian belakang. Setelah Kimas di atas kursi, sang sopir memberikan dompetnya. Beruntung malam itu Dompetnya Kimas tidak raib karena maling. Dari KTP yang berada di dompet itulah sang supir mendapat informasi di mana rumah Kimas.
Sayang, aku terlalu merasa tidak enak kepada Ikhsan. Aku akan menjadi orang yang merasa paling bersalah jika Sabtu besok dia tidak mendapat tanda tangan sebab tak melalukan penelitian. Tapi, walau aku sudah menemaninya pun, tetap saja takdir berkata lain. Malam itu kami mengalami peristiwa yang tidak biasa.
Kami melewati alang-alang yang tingginya nyaris sekepala. Perlahan-lahan, langkahnya yang semula pelan menjadi agak lebih cepat. Di sekitar alang-alang, terdapat banyak beling dan botol-botol bekas. Terlihat juga dari selah-selah alang-alang bagaimana gedung ini masih berdiri. Rata-rata gentingnya sudah tidak ada. Di bagian atap yang tak bergenting terlihat ada dua burung. Sepertinya, warna burung itu hitam tanpa corak sama sekali. Ketika aku memandang ke arahnya, perlahan-lahan burung itu menatapku. Selain itu, ada satu pohon yang sudah mati atau mengering. Tapi, salah satu batang pohon itu berayun-ayun.
"Heaak. Heakkk." Burung itu bersuara sembari mengepakkan sayapnya. Aku dan Ikhsan mempercepat langkah menuju gedung belakang.
Sebelum mencapai gedung dan kira-kira jaraknya sepuluh meter, kami berdua tersandung. Saat kami belum berdiri, terdengar suara drum bergeser. Bulu halus di lenganku berdiri. Ikhsan tahu hal itu. Sebelum aku mengatakan sesuatu, dia lebih dulu mengungkapkan keinginannya.
"Tolong aku malam ini saja," katanya berbisik dan geregetan sembari menatapku.
Aku tidak mungkin menolak kemauannya atau meninggalkannya sehingga melakukan penelitian sendiri. Ketika aku tidak memiliki uang untuk makan, dialah orang yang kerap membelikanku nasi uduk dan air mineral. Karena kebaikannya yang tidak sekali dua kali, aku menjadi fokus menerima materi dari dosen. Karena itulah aku meraih tangannya untuk membantunya berdiri.
Saat kami mulai mendekati pintu masuk, terlihat di pintu toilet yang berjarak lima meter dari gedung penelitian--- di sana, seperti ada yang berjalan. Tapi, karena penerangan hanya dari senter kami berdua, maka tak jelas siapa yang berjalan. Kejadian itu pun berlalu begitu cepat.
"Apa kamu melihat ada yang berjalan di toilet?" Tanyaku kepada Ikhsan.
"Sudah, jangan memedulikan apapun. Aku juga ingin cepat-cepat pulang," ujarnya seraya menggenggam gagang pintu.