Mohon tunggu...
Alfarabi ShidqiAhmadi
Alfarabi ShidqiAhmadi Mohon Tunggu... Guru - ibnu hamid

Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan angkatan 2016

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Zonasi, Masa Depan Mutu Pendidikan Nasional

21 Juni 2019   01:34 Diperbarui: 21 Juni 2019   01:44 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pak, tolong revisi Permendikbud 51. Anak saya tidak bisa sekolah Negeri" demikian teriakan salah satu warga kepada bapak presiden Joko Widodo saat berkunjung di Surabaya, Jawa Timur. Sebagaimana diberitakan oleh Kompas.com, pada hari kamis, 20 Juni 2019.

Pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini, Kementrian Pendidikan & Kebudayaan menerapkan sistem zonasi yang diatur melalui Permendikbud no. 51 tahun 2018. 

Lebih detailnya, pada pasal 16 yaitu, Kementrian Pendidikan melalui Permendikbud mengatur PPDB di setiap sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam 4 kategori siswa, yaitu 90% untuk siswa yang berada di zona sekolah tersebut, 5% untuk siswa berprestasi, dan 5% untuk siswa perpindahan tugas orang tua / wali. 

Di poin ke 6 dan 7 pasal 16 tersebut ditegaskan bahwa peserta didik hanya boleh memilih 1 diantara 3 kategori tersebut, dan sekolah (yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah)  dilarang membuka jalur pendaftaran selain 3 kategori tersebut.

Opini publik cukup beragam atas keputusan yang dinilai baru dalam ranah pendidikan ini. Pak Muhadjir Efendy selaku Menteri Pendidikan & Kebudayaan menegaskan "Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan sekoah terdekat dari rumahnya. 

Karena pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminatif, hak eksklusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah. Sekolah negeri itu layanan publik. Cirinya harus non excludable, non rivalry, dan non discrimination." Demikian perkataan mendikbud sebagaimana diberitakan oleh detik.com.  

Penulis sebelum menulis artikel ini, berusaha menjelajahi berita-berita yang berkembang di internet seputar reaksi warga terhadap sistem zonasi. Mengapa di Internet? Ya, karena di Televisi pemberitaan cukup disibukkan dengan tayangan langsung siding perselisihan hasil pemilihan presiden di mahkamah Konstitusi. Kembali ke hasil penjelajahan saya di internet, penulis menemukan banyak sekali respon negatif masyarakat yang diberitakan oleh portal-portal pemberitaan online. 

Dari sekian banyak alasan tentang penolakan sistem zonasi kurang lebih karena anaknya kesulitan untuk sekolah di sekolah yang dianggap favorit. Bahkan ada salah satu orang tua di depok yang menyesalkan karena anaknya dianggap sudah susah payah belajar mendapatkan nilai kelulusan yang bagus harus bersaing bersama siswa yang nilainya rendah namun jarak rumahnya lebih dekat dengan SMA favorit. Menurutnya, hal ini tidak adil.

Penulis kebetulan sedang studi di fakultas pendidikan, sedikit banyak penulis telah beberapa kali mendiskusikan berbagai problem pendidikan di Indonesia ini. Dari beberapa problem yang ada, tidak terciptanya kesetaraan hak anak bangsa dalam menerima pendidikan di Negara ini merupakan salah satu problem serius yang belum terselesaikan. Kita tahu bersama, pemerintah mencoba menyetarakan mutu pendidikan Nasional melalui adanya Ujian Nasonal. 

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan itu belum berjalan efektif, malah terkesan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Karena yang disetarakan hanya pada taha evaluasinya.

Hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama merupakan amanat konstitusi, sebagaimana terdapat di pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun fakta yang terjadi di lapangan banyak sekolah-sekolah yang saling bersaing secara berlebihan, sekolah-sekolah negeri favorit bermodalkan input eserta didik yang lebih baik dibanding sekolah lainnya, meningkat pesat dan semakin diminati banyak siswa. 

Sementara sekolah-sekolah yang bermodalkan input sebatas rata-rata, mengalami kesulitan dalam berkembang. Pada akhirnya para peserta didik merasa kurang nyaman belajar di sekolah itu. Bahkan tak jarang menimbulkan kecemburuan sosial ketika berkaca kepada teman-temannya yang bisa duduk di sekolah favorit.

Perkembangan kualitas pendidikan di setiap sekolah secara langsung akan berpengaruh pada kualitas sarana & prasarana, guru, hingga akreditasi sekolah. Singkatnya, apa iya pendidikan kita hanya untuk memanjakan siswa-siswa yang sudah pintar? 

Lantas yang belum pintar, kapan pintarnya? Apa iya, siswa-siswa yang masih belum pintar dibiarkan begitu saja dengan dikumpulkan bersama teman-temannya yang setara di sekolah yang biasa-biasa?.

Bapak-bapak dan ibu-ibu wali murid sekalian, pendidikan kita bukan hanya untuk mereka yang sudah pintar saja. Semua anak bangsa tetap memiliki hak yang sama untuk mendapat pendidikan yang setara kualitasnya. Sistem zonasi ini sebagai langkah awal untuk meminimalisir diskriminatif dan kesenjangan kualitas antar lembaga pendidikan. 

Lebih-lebih dengan adanya system zonasi, bisa memudahkan putra-putri anda untuk berangkat sekolah, karena letaknya yang tidak jauh dari rumah. Ya kalau dari segi biaya bisa lebih efisien lah.  

Perihal sarana & prasarana (fasilitas) juga menjadi alasan kuat banyak wali murid menolak sistem zonasi ini. Karena antar satu sekolah dengan yang lain masih tidak setara kelengkapan dan kualitas sarana & prasananya (fasilitas). Sebagaimana Ombudsman menyesalkan penerapan system zonasi ini tidak dibarengi dengan pemerataan mutu dan fasilitas antar sekolah.

Bagi penulis persoalan fasilitas akan menjadi langkah-langkah berikutnya yang harus diselesaikan pemerintah demi terciptanya penyetaraan dan pemerataan mutu pendidikan nasional. Tentu di Negara yang sebesar ini semua tidak bisa berjalan secara instan. Semua butuh proses, dan harus dimulai dari langkah awal, yaitu pada lingkup Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Nah, dengan adanya input yang setara antar lembaga, maka persaingan antar lembaga bisa benar-benar dimulai dari gari start yang sama lurus. Persaingan akan lebih menarik dan kompetitif.

Jadi kesimpulannya, mari bersama-sama kita terima permendikbud 51 tahun 2018 ini sebagai bukti bahwa pemerintah benar-benar berniat memulai langkah awal dalam perbaikan mutu pendidikan. 

Karena input di masing-masing sekolah sudah bisa dibilang hampir sama (non discrimination & non rovarly) maka mari kita lihat bersama-sama bagaimana strategi masing-masing sekolah dalam mengolah input tersebut agar kelak mereka mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas. Mari bersama-sama melupakan perihal sekolah favorit, karena saat ini semua sekolah itu sama.

Terakhir, penulis berharap sistem zonasi ini benar-benar akan dilanjutkan oleh pemerintah demi tercapainya pemerataan mutu pendidikan nasional. Yang penulis khawatirkan adalah, siklus politik 5 tahunan yang biasanya ikut merubah peraturan-peraturan tergantung siapa menterinya. Akankah menteri pendidikan selajutnya akan tetap mempertahankan permendikbud 51 tahun 2018 ini untuk terus disempurnakan? Bukan malah dirubah-rubah sehingga malah membingungkan anak bangsa? Wallahua'lam.          

Alfarabi Shidqi Ahmadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun