Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu...

orang biasa sedang belajar menulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Si Komo Bukan Lagi Jadi Biang Kemacetan

24 Maret 2011   03:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:30 1633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anda masih ingat lagu anak yang berjudul 'Si Komo Lewat Jalan Tol', dinyanyikan oleh penyanyi cilik Melissa di era '90 an? Untuk menyegarkan kembali kenangan Anda, saya kutipkan sebagian liriknya.

Macet lagi jalanan macet
Gara-gara si komo lewat
Pak polisi jadi bingung
Orang-orang ikut bingung

Macet lagi macet lagi
Gara-gara si Komo lewat
Jalan Thamrin Jalan Sudirman
Katanya berkeliling kota

Mo mo si Komo, Hei
Mau kemana
Saya mau lihat gedung-gedung bertingkat
Mo mo si Komo, Hei
Mau kemana
Saya mau lihat pembangunan merata

Komo adalah karakter asli Indonesia yang diciptakan oleh pemerhati perkembangan anak sekaligus penyayang anak, Seto Mulyadi, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Karakter Komo ini terkenal karena menjadi pengisi acara di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sekarang berubah menjadi MNC TV, di tahun 90'an saat stasiun televisi swasta belum menjamur seperti saat ini. Anak-anak dan sebagian orang tua sangat menggemari acara ini dan selalu menunggu penayangan acara ini.

Komo hadir ditemani banyak temannya. Komo merupakan boneka yang mirip binatang komodo, demikian juga teman-temannya semua berwujud binatang. Teman-teman Komo adalah Ulil (ulat kecil, bukan Ulil aktivis Jamaah Islam Liberal :-) ), Dompu (domba putih), Piko (sapi, saya lupa singkatannya) dan beberapa karakter pembantu lainnya.

Selain menyajikan keceriaan dan hiburan, cerita Komo dan teman-temannya sarat dengan muatan pengetahuan dan pendidikan moral bagi anak-anak. Semua yang diceritakan benar-benar apa yang terjadi di lingkungan nyata yang biasa ditemui oleh anak-anak. Contohnya adalah pentingnya menggosok gigi, keharusan bersikap menyayangi teman dan hal-hal yang ada di keseharian kita. Biasanya dalam setiap cerita Komo, Ulillah yang menjadi tokoh antagonis (Kak Seto pintar meramal nampaknya :-) ) dan bertindak nakal yang akan menjadi jalan pembuka bagi Komo untuk menyampaikan pesan moralnya.

Cerita Komo yang gambarnya diambil di Studio TPI di dekat Taman Mini Indonesia Indah ini sebenarnya sangat populer. Ini dibuktikan dengan maraknya penjualan karakter boneka dalam cerita ini, yang banyak dipajang adalah boneka Komo dan Ulil, walaupun sepertinya tidak berlisensi resmi. Namun, di pertengahan tahun 90'an sepertinya sudah tidak ditayangkan lagi.

Menurut Kak Seto, terhentinya tayangan ini dikarenakan biaya produksinya lebih tinggi dari biaya impor film-film anak dari luar negeri. Memang, ketika surutnya tayangan si Komo ini berbarengan dengan maraknya film anak dari Jepang seperti Doraemon, Saint Seiya dan tentu saja film Ksatra Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya.

Berhentinya tayangan boneka si Komo ini sebenarnya sangat disayangkan karena saat itu sudah tak ada lagi tayangan anak lokal yang bermuatan pendidikan bagi anak. Berhentinya tayangan si Komo juga mengikuti gagalnya eksistensi tayangan lokal untuk anak-anak di televisi nasional kita, seperti Unyil (Drs. Soeryadi/Pak Raden), boneka Suzan (Ria Enes) dan boneka Tongki (Anton Soenjoto). Sejak itu tayangan untuk anak-anak kita didominasi serbuan film anak luar negeri, terutama dari Jepang, hingga saat inipun yang populer adalah Upin Ipin dari Malaysia.

Sebenarnya banyak pihak yang merindukan kehadiran tayangan-tayangan seperti si Komo. Namun apalah daya, ketika rating menjadi tujuan tentunya acara yang bermuatan pendidikan berbiaya tinggi bukan menjadi pilihan bagi stasiun televisi. Memang saat ini mulai hadir beberapa acara lokal untuk anak-anak seperti Laptop si Unyil, Petualangan Bolang, Jalan Sesama dan beberapa acara lainnya. Namun nampaknya kehadiran acara-acara itu belum sefenomenal acara Unyil dan Komo di masa lalu.

Begitu juga dengan kehadiran lagu anak-anak yang tidak lagi banyak ditayangkan dan dinyanyikan oleh anak-anak. Tiadanya lagu-lagu anak yang baru mungkin jadi sebab anak-anak lebih mengenal lagu milik Peterpan, Ungu maupun D'Masiv. Mungkin anak-anak merasa sudah merasa bosan dengan lagu anak yang tak beranjak dari Bintang Kecil, Balonku, Kupu-kupu yang Lucu dan lagu anak lawas lainnya.

Mestinya, tayangan televisi untuk anak-anak asli buatan Indonesia dan lagu-lagu anak yang benar-benar untuk anak lebih banyak diputar karena sebenarnya sangat berguna bagi anak-anak sebagai sarana pembentukan karakter yang berbasis budaya Indonesia. Ini jelas sekali berguna agar anak-anak tidak kehilangan ke-Indonesiaannya karena anak-anak sekarang adalah generasi baru yang akan hidup dan mewarnai Indonesia di masa depan.

Jadi, sebenarnya si Komo hilang dari peredaran bukan karena malu dituduh menjadi biang kemacetan :-) Kemacetan lalu lintas, jika hendak dicari kambing hitamnya, tentunya lebih tepat dialamatkan kepada kerbau yang memang terkenal bodoh dan lelet

Yuk nyanyi lagi

Macet lagi jalanan macet
Gara-gara SiBuYa lewat
.......
.......
Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun