"Anaknya dari tadi nangis terus Pak. Rewel."
Hatiku selalu sesak saat mendengarnya. Aku selalu mendengar perkataan itu setiap hari, tapi apalah dayaku. Aku tidak mungkin membawanya ke kantor lantaran aku harus bekerja. Setiap istirahat kerja, aku selalu menengoknya. Makan siang bersama dengan bekal seadanya. Setidaknya ia bisa tersenyum saat aku datang menemuinya.
Tak jarang, jika malam datang dan pekerjaan masih menumpuk, aku mengajaknya bekerja. Aku membiarkan ia bermain dengan kertas dan pensil warnanya, atau membiarkan ia berlari-lari di kantor yang sudah tak ada orang lagi di dalamnya. Hingga ia tertidur, terlelap di sofa karena kelelahan atau mungkin lantaran rasa bosan yang melanda.
Ketika ia telah tertidur, aku mengangkatnya dan mengikatnya ke dalam gendongan yang ada di depan dadaku. Memakaikannya jaket merah muda miliknya agar ia tidak masuk angin, saat aku membawanya berkendara dengan sepeda motorku.
***
Kadang orang berkata dengan mudahnya, "Mengapa kamu tidak menikah lagi saja? Kasihan anakmu tidak punya ibu."
Tidak semudah itu untuk menjatuhkan hati, dan bukan hal yang mudah untuk mengulangi pernikahan yang mungkin tidak bahagia jika tidak ada cinta didalamnya. Aku tidak ingin memiiki anak lain lagi yang mungkin tidak akan bahagia jika aku menjadi ayahnya. Aku tidak ingin lagi mengulangi rasa sakit yang sama.
Cukuplah Suci, anakku satu-satunya, yang menjadi korban atas ayahnya yang tidak berguna ini.