Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres, Intelektualitas Harus Mendahului Elektabilitas

14 Desember 2021   09:25 Diperbarui: 14 Desember 2021   09:27 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam rilisan survei terkait elektabilitas calon presiden (capres), sebuah lembaga survei mengungkapkan bahwa parameter elektabilitas tersebut didasarkan hasil simulasi dari sejumlah nama-nama terpilih untuk kemudian disimulasikan. 

Sudah tentu dalam hal ini setiap lembaga survei sebagai simulator pastinya telah mengantongi nama-nama untuk disimulasikan ke responden dengan pembingkaian (framing) metodologis pertanyaan yang sudah disiapkan.

Sejauh mana simulasi mencerminkan atau merepresentasi kebenaran realitas? Menurut Jean Baudrillard, simulasi itu sendiri hanyalah sebuah peragaan, kepura-puraan, bukan sesungguhnya, atau hiperealitas yang dianggap seakan-akan lebih nyata dari realitas itu sendiri.

Simulasi digambarkan seakan menjadi tampak sebagai kebenaran realitas. Sementara hasil simulasi tersebut belum tentu mencerminkan atau merepresentasikan kebenaran realitas sesungguhnya.  

Dengan mengacu perspektif tersebut, maraknya rilisan hasil survei terkait elektabilitas calon presiden (capres), semua itu tak lebih dari sekadar wacana untuk mengkonstruksi penerimaan opini publik sebagai pembenaran, yang sebenarnya kebenarannya belum teruji sebagai kebenaran realitas sesungguhnya. Bahkan bukan tidak mungkin di balik semua itu didalamnya terselip tersembunyi kepentingan "orientasi nilai".

Ditengah maraknya sejumlah hasil rilisan simulasi survei menyoal elektabilitas capres, hendaknya kita pun berhati-hati, menyikapi secara kritis, tidak langsung diterima ditelan mentah-mentah, agar tidak terpedaya olehnya. 

Semua ini hanyalah wacana, peragaan, kepura-puraan, bukan sesungguhnya, hiperealitas, yang di-framing dan dikonstruksikan dalam bentuk simulasi survei.

Dalam perspektif komunikasi, menurut Alex Sobur dalam bukunya "Analisis Teks Media", framing ini sering dipakai untuk mengkonstruksi "fakta" dengan menentukan mana yang diambil, mana yang ditonjolkan dan mana yang dihilangkan. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai pembingkaiannya.

Termasuk dalam praktiknya, framing dikonstruksikan dengan cara menyeleksi, mengangkat dan menonjolkan isu tertentu sesuai kepentingan, mengabaikan atau menyingkirkan yang lain. Penonjolan aspek isu tersebut akan dilakukan dengan menggunakan pelbagai strategi pewacanaan dengan maksud agar isu tersebut diterima oleh publik. 

Pola ini yang kini dilakukan oleh kandidat capres dalam rangka mengorbitkan elektabilitasnya, termasuk dalam membangun dukungan dengan memanfaatkan berbagai ragam media, apakah itu lembaga survei, media cetak / online, layar kaca televisi, untuk mengkonstruksikan pembingkaian berita, guna mengorbitkan popularitas elektabilitasnya dari hasil simulasi. 

Di sini peran framing kemudian dipakai sebagai wacana untuk mengkonstruksi pencitraan seorang kandidat capres atas dasar elektabilitas hasil rilisan simulasi survei.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun