Mohon tunggu...
Alexius Mahargono Digdoprawiro
Alexius Mahargono Digdoprawiro Mohon Tunggu... Freelancer - Alumnus Pemerintahan FISIP UNDIP angkatan 1985. Aktifis Mapala dan fotografi. Peminat Literasi, perkara perkara politik, sosial dan seni

penggiat alam bebas, fotografer, pemerhati sosial politik, penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selamat Hari Besarmu, Rakyat Kecil, Pahlawan yang Sebenar-benarnya Pahlawan

10 November 2018   14:00 Diperbarui: 10 November 2018   15:16 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Harus diakui, perlawanan rakyat yang bersenjata pada awal kemerdekaan adalah sumbangan yang sangat penting. TNI dulu belum seperti TNI sekarang. Segala galanya masih pada perkara improvisasi. Jika membaca dengan teliti memoar Jenderal A.H. Nasution yang beliau tulis dalam sekian banyak bukunya, dan mendengar  sekian banyak saksi sejarah yang mengisakan kesulitan rakyat menghadapi persenjataan Belanda yang modern dan jauh melebihi angkatan bersenjata Republik kala itu, maka jelaslah bahwa memang kepahlawanan kaum militer dan laskar (istilah sekarang milisi) tidak perlu diragukan lagi. Tetapi laskar gerilya hanya mampu bertahan jika didukung oleh rakyat di sekitarnya. Seperti ikan di dalam air, kata empu strategi modern Mao Zedong.

Dan memang itulah yang terjadi waktu itu. Seluruh logistik makan, minum, pemukiman, pemarkasan, pengangkutan, perlindungan, persembunyian TNI dan laskar disediakan gratis ole rakyat desa. Jika tentara Belanda menyerang atau patroli, perintah resminya adalah: Jangan ambil resiko tinggi. Belanda bersenjata lengkap, dan bukan tandingan untuk dihadapi. Baru di malam hari jika mereka trlena, gerilyawan boleh menembak.

Taktik dan strategi gerilya memang lain sama sekali daripada perang frontal yang sering diperlihatkan secara propagandistis di dalam film-film dan sinetron. Meromantisasi perang kemerdekaan kita seolah-olah seperti perang antara Nazi dan sekutu dengan ilustrasi dar-der-blung yang dahsyat seram di film atau sinetron, bukanlah realitas umum masa itu.dan karenanya sebetulnya telah melecehkan keberanian dan keuletan model gerilya di zaman revolusi yang jauh lebih sulit dan rumit, sering sangat aneh. 

Prajurit dengan cuma 10 peluru di laras senapan, jauh lebih hebat daripada tentara dengan 10.000 peluru di magazin. Dalam hal ini segala skenario film dan sinetron tentang perang kemerdekaan kita hampir semua harus direvisi dan direka ulang kembali. Romantika palsu tidak menjunjung pahlawan pahlawan kemerdekaan kita, tetapi justru membohonginya. Juga novel-novel yang berseting periode itu harus dites ulang dengan sorotan ktitik yang lebih tajam.

Khususnya peran rakyat desa dan kampung yang menjadi pelindung dan pemberi makan minum dan segala yang dibutuhkan para tentara dengan pengorbanan yang luar biasa perlulah kita kenang pula. Pasukan bersenjata dan laskar bisa lari dan sembunyi, tetapi rakyat tidak. Justru merekalah yang menjadi bulan-bulanan pasukan NICA yang biasanya membabi buta karena sulit menemukan mereka yang bersenjata. Maka balas dendam biasanya mereka lampiaskan kepada penduduk. Tidak jarang rumah-rumah dan markas komando dibakar habis. Jumlah rakyat sipil yang terbunuh jauh lebih banyak daripada pasukan bersenjata atau laskar yang gugur, itu yang harus dicatat dengan tulisan tebal. Dan itu benar adanya. Jangan dikira tentara dan laskar saja yang banyak yang gugur, rakyat sipil jauh lebih banyak.

Kita akan sampai kepada pemahaman bila rakyat berjasa bertaruh nyawa yang jumlahnya jutaan itu tidak mungkin dianugerahi Bintang Gerilya atau Bintang Mahaputra atau pensiun sebagai veteran. Tetapi sebetulnya, justru merekalah yang pantas. Dan atas keberanian yang pernah mereka buktikan, justru mereka juga pantas menerima segala penghargaan dan bintang-bintang tadi.

Maka kita sebaiknya tahu dan mengakui jasa-jasa mereka, minimal dalam hati. Hutang budi dibawa mati. Bagaimana kita dapat membalas jasa mereka, bisa jadi dengan cara mengubah mindset bahwa peran rakyat biasa pada periode perang kemerdekaan seperti yang dikenal dalam film, sinetron, novel, pidato dan sebagainya perlu diedit kemudian dibolder lebih tebal lagi, karena memang sungguh berjasalah rakyat kecil yang selalu "sepi ing pamrih" itu, dan yang nyaris tidak pernah terhibur dengan sanjungan dan pujian oleh para politikus (selain hanya pada masa kampanye saja), oleh penulis novel sejarah, maupun para seniman sastrawan. 

Tanpa berlebihan harus dikatakan, bahwa dalam bidang perlawanan berupa perang fisik, (tanpa mengurangi peran pasukan-pasukan bersenjata atau laskar), rakyatlah yang paling paling paling berjasa. Namun seringkali ada perkara lain yang biasanya lantas kita lupakan.  Aah... sudahlah, rakyat kecil memang terlahir untuk "nrimo".

Selamat Hari Besarmu rakyat kecil.... Pahlawan yang sebenar-benarnya pahlawan...

Wlingi, 10 November 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun