Mohon tunggu...
Alexander Sugiharto
Alexander Sugiharto Mohon Tunggu... Pengacara - Chairman and Founder dari Indonesian Legal Study for Crypto Asset and Blockchain (IndoCryptoLaw)

Penulis dari Buku berjudul Blockchain dan Cryptocurrency: Dalam Perspektif Hukum di Indonesia dan Dunia (2020) dan Buku berjudul NFT dan Metaverse: Blockchain, Dunia Digital dan Regulasi (2022). (buku tersedia di google playbook)

Selanjutnya

Tutup

Cryptocurrency Artikel Utama

Peraturan Perpajakan Aset Kripto di Indonesia: Agar Lebih Disederhanakan Lagi

13 April 2022   10:45 Diperbarui: 13 April 2022   14:02 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertumbuhan dan Perkembangan Aset Kripto yang Sangat Masif

Instrumen investasi Aset Kripto di Indonesia saat ini mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat masif. Seperti dilansir Kontan.co.id (25/03/2022) perdagangan Aset Kripto di Indonesia hingga bulan Februari 2022 sudah mencapai Rp. 83,3 triliun dengan jumlah investor mencapai 12,4 juta, angka ini meningkat tajam jika dibandingkan di tahun 2021 yang mencapai 11,2 juta.

Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari semakin banyaknya anak muda yang tertarik dalam menginvestasikan dana mereka ke dalam instrumen investasi Aset Kripto yang memiliki risiko tinggi. 

Perkembangan dan pertumbuhan Aset Kripto yang masif juga tidak luput dari pemantauan Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang melihat potensi Perpajakan dari transaksi Aset Kripto yang dilakukan oleh para investor tersebut.

Seperti dilansir Kontan.co.id (29/03/2022) transaksi Aset Kripto tercatat mengalami peningkatan yang sangat masif dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Bappebti yaitu pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 64,9 triliun, namun mengalami peningkatan yang tajam pada tahun 2021 sebesar Rp 859,4 triliun, hal ini berarti lebih dari 13x lipat jika dibandingkan pada tahun 2020.

Potensi Perpajakan Aset Kripto


Pencapaian pertumbuhan Aset Kripto yang dasyat tersebut sangat potensial sebagai sumber pendapatan negara dari sektor Perpajakan.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan melihat bahwa ada potensi perpajakan yang besar yang dapat diterima dari setiap transaksi Aset Kripto yang dilakukan.

Seperti dilansir Medcom.id (06/04/2022) pemerintah berpotensi mendapatkan sumber pendapatan dari sektor Perpajakan Aset Kripto hingga 1 triliun, angka tersebut dapat meningkat seiring dengan semakin banyaknya minat anak muda yang berinvestasi pada Aset Kripto ini.

Kebijakan Perpajakan Aset Kripto 

Sejalan dengan hal tersebut, maka pada tanggal 30 Maret 2022, Kementerian Keuangan  telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPn)  dan Pajak Penghasilan (PPh) Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (PMK 68).

Dengan dikeluarkannya PMK 68 oleh Kementerian Keuangan, maka akan semakin memperkuat posisi legalitas Aset Kripto di Indonesia sebagai instrumen investasi yang legal diperdagangkan sebagai komoditi.

Namun, tanpa adanya kebijakan dan peraturan yang jelas terkait Perpajakan Aset Kripto maka akan mustahil bagi Pemerintah dalam memaksimalkan sumber pendapatan dari Perpajakan Aset Kripto tersebut.  

Pajak Sebagai Sumber Pendapatan Negara

Kebijakan Perpajakan Aset Kripto merupakan langkah Pemerintah dalam mendapatkan sumber pendapatan dari sektor Pajak.

Dengan dikeluarkannya PMK 68 diharapkan dalam pelaksanaan pemungutan pajak memiliki dasar hukum yang jelas sehingga tidak ada lagi alasan bagi wajib pajak untuk tidak melaksanakan kewajiban Perpajakan tersebut. Pajak yang dikenakan adalah PPn dan PPh yang besarannya telah diatur secara detail pada PMK 68.

Permasalahan Kebijakan dan Peraturan Perpajakan Aset Kripto Di Indonesia

Peraturan dan kebijakan tersebut harus singkat, padat, dan jelas sehingga tidak menimbulkan interpretasi dan penafsiran yang berbeda pada saat dilakukan pengawasan, pemungutan, perhitungan dan penyetoran pajak.

Untuk menghindari salah penafsiran, Kementerian Keuangan dalam membuat peraturan dan kebijakan Perpajakan Aset Kripto dapat mengacu pada Peraturan Bappebti tanpa harus bersusah payah lagi mendefinisikan ulang di dalam PMK 68 tersebut. Pada PMK 68 ditemui istilah dan Pasal-Pasal yang ambigu, kabur dan salah tafsir bahkan berpotensi cacat secara materiil.

Ada yang perlu saya komentari di sini, yaitu mengenai perbedaan antara Pedagang Aset Kripto dengan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Jika aktivitas utamanya adalah memfasilitasi jual beli aset kripto, lalu mengapa harus dibedakan pada PMK 68 tersebut. Karena Pedagang Aset Kripto secara otomatis adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik itu sendiri.

Hal ini akan menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih (over-lapping) dan semakin rumit untuk dipahami antara aktivitas yang dilakukan oleh Pedagang Fisik Aset Kripto dengan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Padahal sudah jelas pada Peraturan Bappebti diatur terkait operasional dan aktivitas perdagangan Aset Kripto di Indonesia.

Beberapa Hal yang Diatur Tidak Memiliki Dasar yang Jelas

Selanjutnya mengenai apa itu Jasa Pelayanan Verifikasi Transaksi Aset Kripto dan Jasa Penyedia Sarana Elektronik? Apakah kedua jasa tersebut telah diatur dalam peraturan tersendiri? Bagaimana perizinan atas aktivitas kedua jasa tersebut? Apakah sudah ada KBLI yang jelas terkait kedua aktivitas tersebut? Karena pada saat membuat izin usaha melalui OSS, perusahaan harus memiliki NPWP yang sudah diklasifikan bidang usahanya.

Saran dan Kritik Terhadap Kebijakan Perpajakan Aset Kripto di Indonesia

Peraturan Perpajakan Aset Kripto seharusnya dapat lebih disederhanakan lagi, hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Undang-Undang Harmonisasi Pajak) Pasal 1 yang mewajibkan peraturan pajak harus berasaskan: Keadilan, Kesederhanaan, Efisiensi, Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Kepentingan Nasional.

Oleh sebab itu ada beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan agar dapat dihapus pada PMK 68 seperti: Jasa Pelayanan Verifikasi Transaksi Aset Kripto, Jasa Penyedia Sarana Elektronik, Penambang Aset Kripto, Tukar Menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto Lainnya (swap), dan hal lain sebagainya yang tidak berpotensi besar dalam menyumbang sumber pendapatan negara dari Sektor Perpajakan Aset Kripto.

Saya juga sedikit bingung dengan logika yang digunakan oleh Kementerian Keuangan dalam membuat PMK 68 setelah membaca berita dari CNN Indonesia (07/04/2022) bahwa Pedagang Fisik Aset Kripto yang tidak terdaftar Bappebti dikenakan pajak 2 kali lipat. 

Maka logika sederhananya seperti ini: Jika yang legal saja enggan bayar pajak, apakah yang ilegal akan lebih taat bayar pajak sedangkan untuk mengurus izin saja tidak.

Lalu apa alasannya yang ilegal sampai diatur di PMK 68 ?

Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan asas Efisiensi dan Kepastian Hukum yang diatur pada Undang-Undang Harmonisasi Pajak.

(Semua materi yang ditulis pada artikel adalah murni opini dari Penulis dan tidak merepresentasikan pihak mana pun dan hanya bertujuan untuk edukasi dan informasi)

Alexander Sugiharto, SH

Advokat & Kuasa Hukum Pengadilan Pajak

Chairman and Founder of Indonesian Legal Study for Crypto Asset and Blockchain

Penulis dan Pengarang Buku tentang NFT, Blockchain & Cryptocurrency

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cryptocurrency Selengkapnya
Lihat Cryptocurrency Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun