Mohon tunggu...
Alea Zakki
Alea Zakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya hobi menulis dan membaca buku. Itu sesuai dengan kepribadian saya yang introvert. Tulisan yang saya sukai adalah fiksi romantisme. Lagu yang saya favoritkan adalah lagu religi dan romansa anak remaja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berguguran Bersamamu

15 April 2024   17:02 Diperbarui: 15 April 2024   17:14 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemarau. Sumber gambar: Divim_b dari Pixabay

Musim kemarau di Kota Springkle memberi suasana berbeda bagiku dan warga kota. Yang paling aku sukai saat kemarau tiba, membuat ilutrasi pohon yang daunnya berguguran dan menggoes sepeda berkeliling kota. Hobi itu selalu mengisi ruang kosong di hati. Namun ternyata tidak selalu juga. Ada kalanya aku mencari sesuatu yang tidak tahu itu apa. Dan tidak pernah kutemukan juga.

Sampai usia menginjak bangku kuliah sekarang, aku masih belum tahu apa yang bisa melengkapi ruang hati jika bukan karena kedua hobiku itu. Sampai suatu yang ajaib terjadi. Ada seorang perempuan yang memotretku diam-diam. “Ckrek-ckrek-ckrek.” Ada tiga foto yang diambil olehnya. Dia menghampiriku untuk memberikan foto-foto itu langsung.

“Permisi, aku memfoto dirimu tadi. Ini foto-fotonya. Bagus bukan?” Tuturnya memberi ketiga foto itu, sekaligus meminta pendapat hasil jepretannya. Bukan hanya wajah, tapi mendengar suaranya, itu sangat halus dan lembut didengar siapapun. Ini adalah pengalaman langka bagiku. “Ah, bagus sekali…” Aku menilik tiga foto itu sesaat, “Boleh aku bertanya?” lanjutku ingin bertanya sesuatu kepada perempuan cantik itu.

“Boleh.” Perempuan itu mengangguk setuju. “Apa kau hanya mengambil foto di musim kemarau saja?” Tanyaku penasaran menatap mata indahnya dengan senyum berseri. Pertanyaan itu muncul karena baru melihatnya sekarang. “Tidak juga, aku banyak mengambil foto di berbagai tempat. Tapi musim kemarau ini, di sini tempat paling bagus mengambil foto.” Jawabnya membalas senyum berseri juga. Setiap dia tersenyum, lesung pipinya terlihat menambah kecantikan parasnya.

“Tidak, kau jangan berpikir macam-macam, Sugo!” Gumamku mengingatkan diri sendiri agar tidak aneh-aneh. Apa yang dikatakan perempuan ini benar. Tempat ini memanglah punya daya tarik tersendiri ketika musim kemarau tiba. “Kau benar, tempat ini istimewa. Oleh karena itu aku suka menggambarnya ke dalam secarik kertas.” Ujarku memberi pandangan yang sama-sama tertarik. Larut dalam percakapan, aku hampir lupa berkenalan dengannya. “Oh iya, perkenalkan. Aku Sugo.” Ucapku mengulurkan tangan salam perkenalan. Dia pun menerima jabat tangan itu dengan hangat. “Aku Lisa.” Balasnya memperkenalkan balik. Lisa pun duduk berdua denganku di bangku itu saling bersebelahan.

“Wah, jadi kau punya jiwa seni yang tinggi ya!” Serunya memuji gambaranku yang sederhana. Sketsa yang kubuat, menggambarkan perasaan di musim kemarau ini yang apa adanya. “Hasil fotomu juga adalah seni. Masing-masing orang punya jiwa seninya sendiri.” Jelasku memberi pandangan yang lebih luas tentang seni.

Kemarau indah, tidak galau apalagi resah. Kemarau indah, buatku lebih bahagia.

“Kau juga pandai menulis kata-kata?” terka Lisa melihat tulisan yang kubuat di bawah sketsa pohon itu. “Hanya sedikit.” Jawabku singkat memperlihatkan hasil paduan sketsa dan tulisan. “Sangat indah!” Lisa takjub merekat tangan ke pipi seraya memuji. “Ini bukan apa-apa. Masih ada yang lebih baik dariku…” Seketika aku merapihkan buku dan alat tulis ke dalam tas selempang. “Kuharap kita bisa berjumpa lagi.” Ujarku melanjutkan kata sebelum berpisah seraya beranjak bangun. “Apa kita bisa bertemu lagi besok?” tanya perempuan itu berharap bisa mengenalku lebih lama. Aku mengangguk iya dan berterimakasih atas foto yang dia ambil. “Dah, sampai jumpa!” Lisa melambaikan tangannya membuatku menengok dari jauh dan membalas lambaiannya juga.

Mulai hari itu, kami sering bertemu di jalan pinggiran kota. Hari esoknya, aku ke sana menaiki sepeda. Lisa saat itu menunggu kedatanganku di bangku yang sama. Dia terkejut melihat lelaki berkemeja dengan setelan celana cokelat itu mengayuh sepeda ontel kemari. Seakan diriku ingin mengajaknya ke suatu tempat. “Tidak ada rahasia di kota ini. Jadi aku akan mengajakmu berkeliling saja.” Beritahuku mengajaknya naik berboncengan di depan mengelilingi kota. “Pelan-pelan ya.” Ucapnya mengingatkanku agar berhati-hati saat membonceng perempuan cantik sepertinya. “Haha, tenang saja.” Balasku meyakinkan Lisa yang sekarang duduk di belakang menyamping.

Aku mengayuh pelan ke depan sana. Banyak sekali pohon yang daunnya berguguran tersapu angin menutupi seluruh jalan. Banyak juga ranting pohon yang masih lebat daunnya walau layu kecokelatan. Kami berdua berkeliling melewati komplek yang sepi berlalu lalang. Hanya ada beberapa pejalan kaki yang berjalan di arah tujuannya. Lisa tak lupa memotret pemandangan sekitar sana demi mencari hasil foto terbaik untuk albumnya. Siang itu, kami berhenti di kedai kopi Matthew. Kedai kopi yang sering kudatangi kapanpun aku mau.

Sepeda ontel ini berhenti tepat di depan sebuah plang bertuliskan nama kedai, yaitu Matthew Coffe. Kedai kopi ini menyatu dengan warna musim kemarau, yang membuatnya jauh lebih indah, menjadi salah satu tempat menakjubkan di kota. Ada dua orang pelanggan di sana yang sedang mengabadikan momen lewat jepretan kamera handphone. Mereka juga berswafoto berlatarkan dinding kedai. “Kamu lihat mereka? Mereka itu salah satu pelanggan tetap di sini.” Beritahuku pada Lisa, melihat sejoli itu berganti-ganti pose. Aku masuk ke dalam bersama Lisa untuk memesan menu favorit. “Kamu mau pesan apa?” Tanyaku di depan papan menu yang tersedia berbagai suguhan kopi.

“Em…” Lisa mengetuk-ngetuk pipinya bingung memilih menu yang mana, “Karena aku baru pertama kali masuk ke sini, jadi kamu yang pilihkan ya!” ujarnya melempar menu untuk dipesankan olehku. Dari wajahnya, memang dia seperti baru mengenal tempat ini sama sekali. “Yasudah, kamu akan coba minuman favoritku.” Beritahuku memesankan menu yang sama untuknya. Aku memesan kopi Machiatto kesukaanku, kuharap Lisa juga suka.

Barista bersetelan cokelat datang ke meja kami membawa gelas kopi pesanan. “Selamat menikmati.” Ucap Barista itu setelah menaruh pesanan di meja seraya tersenyum hangat. Kami pun membalas senyuman hangat juga. Di belakang sana ada sebuah graffiti menghiasi tembok sebagai ikon dari kedai kopi ini. “Ini kopi Machiatto, dan dibelakang sana, itu ikon dari tempat ini.” Ujarku melihat perempuan itu terus memandangi tembok yang dipenuhi ilustrasi seni yang indah dengan berbinar-binar. “Sudah berapa lama kamu ke tempat ini?” Tanya Lisa antusias seraya sesekali menyeruput kopi.

“Musim kemarau tahun lalu aku kemari, dan sampai sekarang.” Jawabku sambil sesekali menyeruput kopi juga. “Oh iya, bagaimana kopinya? Kamu suka?” Giliranku balik bertanya mengenai kopi yang tadi dipesan, meminta pendapat dari fotografer cantik yang duduk di depan mata. “Suka sekali!” Jawabnya bernada ceria, menyukai kopi yang dipilihkan olehku. Lisa sangat senang datang kemari. Setelah menyeruput kopi, kami berdua mengambil gambar cantik di sana dengan kamera Lisa.

Lalu pergi lagi manaiki sepeda ontel. Saat itu, kami saling melempar candaan satu sama lain. Aku yang mengayuh sepeda dan Lisa jadi penumpangnya. Hari itu dihiasi kegembiraan dan tawa kami sebagai sepasang teman. Berlanjut di hari-hari berikutnya, bahkan di musim lain setelah kemarau.

Mengenang hari-hari itu bersama, hinggap rasa ingin berguguran bersamamu. Kita teman yang selalu dekat sampai kapanpun dan selamanya.

Tulisku di bawah sketsa gambar kami berdua. Karena setelah ini kami akan jauh. Hari kepergianku tidak kuberitahu pada Lisa. Biarkan ini menjadi cerita yang akan berlanjut di masa depan. Aku melangkah masuk ke dalam mobil yang akan mengantarku ke bandara. Semoga dia tidak marah padaku atas waktu yang kami habiskan bersama sebelum ini. Karena menjauh dari kebiasaan itu sulit dan sakit, terlebih Lisa yang mengisi ruang kosong di hatiku semenjak pertemuan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun