Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms---to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way. -- Viktor Frankl
Pernahkan merasa, kalau saja dulu aku melakukan suatu hal, yang akan membuat keadaan sekarang lebih baik?
Kalau saja orang lain melakukan semua hal sesuai dengan aturannya?
Kalau saja keadaan sekarang lebih memungkinkan, semua rencana akan berjalan lebih lancar?
Perkataan - perkataan di atas memiliki satu aspek yang sama: Semuanya fokus untuk mempermasalahkan hal -- hal yang tidak bisa kita kendalikan secara langsung. Semuanya mengharapkan keadaan untuk menyesuaikan dengan perasaan pribadi.
Itu tidak akan terjadi.
Kecuali kamu mengubah perasaanmu terhadap hal -- hal tersebut. Atau lebih baik: kamu mencoba mengubahnya-kalau hal tersebut adalah sesuatu yang bisa diubah. Intinya, kamu mengubah responmu terhadap masalah yang datang.
Itulah ide utama dari tulisan ini. Bahwa dalam hidup sehari -- hari kita memiliki kontrol akan respon kita, tidak peduli masalah yang datang dari luar.
Kita akan mulai di tempat yang faktor keadaannya kuat. Tempat yang sangat membatasi penghuninya untuk melakukan apa -- apa. Kamp konsentrasi Nazi Jerman.
...
Viktor Frankl adalah seorang psikiater yang mengikuti ajaran Sigmund Freud. Freud mengajarkan kalau apapun yang terjadi pada seseorang ketika mereka anak -- anak akan menentukan karakter dan kepribadian mereka, dan akan membatasi parameter hidup mereka.
Selain seorang psikiater, kebetulan juga Viktor Frankl adalah seorang yahudi dari Austria. Dan seperti kebanyakan yahudi dari Austria pada masa itu, dia dikirimkan ke kamp konsentrasi Nazi Jerman. Di situ dia menyaksikan banyak hal yang dilakukan oleh para tawanan-termasuk dirinya sendiri-yang hanya bisa dijelaskan sebagai akibat dari kehidupan keras di kamp.
Sebagai dokter di kamp, dia menyaksikan banyak kematian pasiennya. Setiap kali seorang pasien meninggal, tawanan lain akan melucuti barang kepemilikan mayat tersebut.Â
Satu orang mengambil bekas makanan yang masih belum dihabiskan, orang lain mengambil sepatu yang masih dikenakan, dan satu orang lain mendapatkan sebuah tali dari jaket yang dikenakan mayat. Kejadian ini diamatinya tanpa perasaan apapun. Begitu kerasnya kehidupan di kamp, sampai -- sampai seorang psikiater tidak dapat merasakan apapun ketika melihat orang lain melucuti benda kepemilikan mayat.
Tapi selain itu, dia juga menemukan orang -- orang, yang walaupun menghadapi keadaan yang sama, tetap menemukan kemampuan untuk berbuat selfless -- tidak mementingkan dirinya sendiri. Orang -- orang yang memberikan kenyamanan untuk sekitarnya, yang memberikan kenyamanan pada sesama walaupun keadaan tidak mendukung. Tentu saja jumlahnya tidak banyak. Tapi cukup untuk membuat Frankl berkesimpulan demikian:
"Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms -- to choose one's own attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way"
Semuanya bisa diambil dari seseorang, kecuali kebebasannya untuk memilih responnya terhadap keadaan.
...
Kita sudah melihat bahwa di keadaan yang se-desperate kamp konsentrasi pun manusia tetap bisa memilih responnya sendiri. Tapi bagaimana dengan kehidupan sehari -- hari?
Sama seperti di kamp konsentrasi, banyak faktor keadaan pada kehidupan sehari -- hari yang tidak bisa kita atur-walaupun tidak seintens di kamp. Seringkali kita mengatribusikan faktor -- faktor ini sebagai alasan untuk hal yang salah dalam hidup kita. Ini terasa masuk akal, lagipula tidak bisa disangkal bahwa faktor luar akan mempengaruhi jalannya hidup - dan terkadang pengaruhnya tidak sejalan dengan keinginan kita.
Tapi kembali lagi, kita punya kemampuan untuk memilih respon kita. Daripada mempermasalahkan yang tidak bisa kita kendalikan, kenapa tidak fokus pada apa yang bisa? Daripada mengeluh, mengapa tidak mencoba mengubahnya? Daripada melihat pada apa yang sudah terjadi, kenapa tidak melihat pada apa yang bisa terjadi?
Tentu saja walaupun kita sudah fokus pada hal yang bisa kita ubah, walaupun kita sudah mencoba mengubah keadaan, walaupun kita sudah mencoba melihat apa yang bisa terjadi, kadang keadaan tidak akan sejalan dengan kita.
Dan saat itu terjadi, kadang sulit untuk menerima kalau respon kita tidak dipengaruhi oleh keadaan sekitar.
...
Harus diakui, kepercayaan bahwa respon kita tidak diatur oleh keadaan akan cukup sulit untuk diterima awalnya. Terutama karena di sekitar kita banyak orang yang jatuh pada keadaannya sekarang bukan karena pilihan mereka, tapi karena lingkungan menjatuhkan mereka, sekeras apapun mereka mencoba melawan hal tersebut.
Tapi kata kuncinya disini adalah respon.
Dunia tidak akan selamanya memberikan kita apa yang kita mau. Kadang kita akan diberikan musibah seperti penyakit, masalah keuangan, kesenjangan hubungan, dan seterusnya. Hal - hal tersebut pasti akan mempengaruhi kita, baik secara fisik maupun perasaan.
Tapi kita masih bisa memilih respon kita terhadap musibah-musibah yang datang.
Kita bisa memilih bagaimana musibah akan mengafeksi kita. Apakah ketika musibah datang kita akan meresponnya dengan marah dan menyalahkan keadaan? Pasrah dan teragitasi terhadap apa yang sudah jatuh pada kita? Atau kita meresponnya dengan tenang? Menyadari bahwa tidak semuanya bisa dikendalikan oleh kita?
Kita bisa memilih untuk membiarkan musibah mengubah cara diri kita merespon. Atau, kita bisa memilih untuk tidak dikendalikan oleh musibah ini, dan memilih untuk tetap memberi respon yang sejalan dengan kepercayaan dan prinsip dasar kita.
Musibah bisa datang kapanpun dan mengambil apapun dari kita. Kecuali satu hal: Kebebasan kita dalam merespon.
Bagaimana dengan orang -- orang yang lahir dalam keadaan kurang beruntung, yang sekeras apapun mereka bekerja, tidak mudah mencapai posisi yang lebih baik dari keadaan mereka sekarang?
Dunia itu tidak adil. Proporsi rezeki yang diberikan pada setiap orang ketika mereka lahir adalah faktor besar terhadap keberhasilan mereka mencapai sesuatu yang lebih di dunia.Â
Bila seseorang dilahirkan pada keadaan miskin, konsekuensinya dia akan cenderung sulit mencapai keadaan yang lebih baik. Kita tidak bisa memilih pada keadaan apa kita dilahirkan, dan kita tidak bisa memilih konsekuensi akibat dari keadaan tersebut.
Seberapa keras pun kita merespon, bila keadaan awal kita begitu-begitu saja, kemungkinan terbesarnya kita tidak bisa berjalan terlalu jauh dari keadaan tersebut. Tapi setidaknya setelah kita menyadari secara objektif batasan diri kita dan potensi terbesar kita, kita memiliki kebebasan untuk memilih. Memilih apakah kita akan melakukan segala hal untuk mencapai potensi tersebut, atau protes dan menyalahkan keadaan lahir kita yang tidak bisa dikendalikan.
Pada akhirnya, kita terbatas untuk hanya bisa mengubah hal -- hal yang ada pada kemampuan kita untuk merubahnya. Perlahan -- lahan kita meningkatkan kemampuan kita untuk dapat merubah hal lain. Tapi ada beberapa yang secara fundamental tidak bisa kita ubah. Dan ketika kita dihadapkan dengan situasi tersebut, ingatlah kata-kata Frankl:
When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves
Sitasi
Stephen R. Covey. "7 Habits of Highly Effective People". Free Press (1988)
Viktor E. Frankl. "Man's Search for Meaning", Beacon Press (1946)
---------------------------------------------------------------------------
Hei! Terima kasih sudah memberi waktunya untuk baca artikel ini!
Artikel ini kebanyakan terinspirasi dari bukunya Viktor Frankl, Man's Search For Meaning. Dia menulis buku ini setelah masanya di kamp konsentrasi Nazi Jerman, dimana dia melihat banyak hal yang mempertanyakan eksistensinya di dunia. Sangat direkomendasikan baca, terutama kalau agan lagi mencari sebuah tujuan untuk hidup.
Catch me on Twitter: [url]https://twitter.com/aditiya_aldo[/url]
Tertarik baca lebih? kunjungi Medium: [url]https://medium.com/@aldoan[/url]
Sekali lagi, terima kasih sudah membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H