Dalam khazanah teologi Islam, munculnya berbagai aliran pemikiran merupakan respons terhadap dinamika sosial, politik, dan keagamaan yang terjadi pada masa awal perkembangan Islam. Salah satu aliran yang memperoleh perhatian serius dalam kajian ilmu kalam adalah Murji’ah. Aliran ini dikenal dengan pandangannya yang menempatkan iman sebagai aspek batiniah yang tidak dipengaruhi oleh amal perbuatan lahiriah, sehingga pelaku dosa besar tetap dianggap mukmin selama masih meyakini keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Secara etimologis, istilah Murji’ah berasal dari kata irjā’ yang berarti “menunda” atau “memberi harapan”. Kedua makna ini mencerminkan karakter utama ajaran Murji’ah, yaitu menangguhkan penilaian atas amal perbuatan manusia hingga hari kiamat dan memberikan harapan luas kepada pelaku dosa untuk memperoleh ampunan Allah. Dalam perkembangan historisnya, gagasan ini muncul sebagai bentuk reaksi terhadap kelompok Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Polemik tentang hubungan antara iman dan amal menjadi inti perdebatan teologis dalam Islam. Murji’ah memisahkan keduanya dengan tegas, menegaskan bahwa keimanan seseorang tidak akan berkurang meskipun ia melakukan maksiat. Pandangan ini kemudian menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama, baik dari sisi akidah maupun implikasi moral dalam kehidupan beragama.Oleh karena itu, penting untuk mengkaji pemikiran Murji’ah secara mendalam guna memahami latar belakang munculnya pandangan tersebut, argumentasi teologis yang mereka bangun, serta pengaruhnya terhadap perkembangan wacana iman, amal, dan dosa besar dalam Islam. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri pengertian Murji’ah, dasar teologis ajarannya, serta relevansinya dalam diskursus akidah Islam klasik maupun kontemporer.
Dalam sejarah Islam awal, munculnya aliran Murji’ah tidak bisa dilepaskan dari suasana politik yang penuh gejolak. Menurut catatan al-Syahrastani, gagasan tentang irjā’—yang kemudian melahirkan Murji’ah—pertama kali dikenalkan oleh Ghailan al-Dimasyqi. Namun, ada pula riwayat yang menyebut Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib sebagai pelopor pemikirannya. Apa pun perbedaan riwayatnya, kelompok ini kemudian dikenal sebagai Murji’ah.
Murji’ah hadir sebagai suara tengah di tengah pertentangan tajam antara kelompok-kelompok Islam saat itu, terutama Khawarij. Kelompok Khawarij terkenal keras karena langsung mengkafirkan siapa pun yang dianggap berdosa besar, termasuk tokoh besar seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, dan Amr bin Ash, hanya karena menerima proses tahkīm (arbitrase) dalam konflik politik. Murji’ah menolak sikap tergesa-gesa seperti itu.
Istilah Murji’ah berasal dari kata irjā’, yang memiliki dua makna penting: “menunda” dan “memberi harapan”. Menunda berarti tidak terburu-buru menghakimi orang yang berdosa, dan menyerahkan sepenuhnya urusan mereka kepada Allah pada hari kiamat. Sementara memberi harapan menunjukkan bahwa, selama seseorang masih beriman, pintu ampunan Tuhan tetap terbuka.
Sikap ini membuat Murji’ah dikenal sebagai kelompok yang moderat dan menolak vonis keimanan secara sepihak. Mereka lahir sebagai respons terhadap beberapa hal:
- Kekerasan Khawarij yang mudah mengkafirkan lawan politik.
- Fanatisme sebagian Syiah yang mengecam para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar.
- Pertikaian politik besar setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib.
Diperkirakan, Murji’ah mulai tampak pada masa kekhalifahan Ali (656–661 M), tepat di tengah berkecamuknya perang saudara dan perebutan kekuasaan. Dari sinilah Murji’ah menawarkan pandangan baru: jangan cepat menghakimi iman seseorang, karena Allah-lah yang menjadi hakim terakhir.
Perkembangannya menunjukkan bahwa Murji’ah tidak bertahan sebagai satu kelompok utuh, melainkan melebar menjadi sejumlah golongan dengan penafsiran beragam tentang hubungan iman dan amal. Pada masa awal kemunculannya, aliran ini diasosiasikan dengan tokoh-tokoh moderat seperti Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf. Mereka menekankan pentingnya menjaga persatuan umat serta menolak pengkafiran terhadap pelaku dosa besar. Murji’ah generasi awal dikenal berhati-hati dalam menilai iman seseorang dan lebih menonjolkan harapan akan rahmat Allah.
Seiring perjalanan waktu, ajaran Murji’ah semakin berkembang dan terpecah menjadi berbagai sekte yang membawa nuansa pemikiran tersendiri. Muncul kelompok seperti Al-Yunusiyyah, dipelopori oleh Yunus ibn ‘Aun al-Namiri, yang beranggapan bahwa iman adalah ma’rifah kepada Allah yang harus disertai kepatuhan. Ada pula Al-Ubaidiyyah, yang meyakini bahwa selama seseorang bertauhid, dosa besar selain syirik masih dapat memperoleh ampunan Ilahi.
Selain itu, kelompok Al-Ghassaniyyah memandang iman sebagai pengakuan secara umum tanpa perlu uraian rinci, sedangkan Ats-Tsaubaniyyah menilai iman sebagai ma’rifah dan ikrar dalam hati dan lisan, tanpa mengaitkannya secara mutlak dengan amal perbuatan. Variasi ini menunjukkan bahwa Murji’ah berevolusi menjadi aliran yang lebih luas dan kompleks daripada sekadar sikap “menunda penilaian”.
Para ulama kemudian mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua arus besar. Pertama, Murji’ah Moderat, yang tetap memberi tempat bagi amal dalam kehidupan beragama meski bukan penentu iman. Kedua, Murji’ah Ekstrem, seperti pengikut Jahm bin Shufwan, yang berpendapat bahwa iman terbatas pada pembenaran hati (tasdiq bi al-qalb), sehingga pelaku dosa besar tetap dianggap beriman walaupun meninggalkan amalan lahir.
Perkembangan ini menegaskan bahwa Murji’ah mengalami transformasi dari gerakan teologis sederhana menjadi mazhab dengan beragam pandangan, namun tetap mempertahankan satu ruh utama: menghindari vonis keimanan secara tergesa dan menyerahkan keputusan akhir kepada Allah.
Doktrin Murji’ah muncul sebagai strategi untuk mempertahankan kebersamaan umat Islam di tengah ketegangan teologis dan politik. Mereka menolak pendekatan radikal dari kelompok Khawarij yang cenderung dengan mudah menyatakan sesama Muslim sebagai kafir. Sebagai respons, Murji’ah merumuskan ajaran yang menitikberatkan pada sikap optimis terhadap iman, penerimaan yang luas, serta keyakinan akan luasnya rahmat Allah.
- Pemahaman tentang Iman dalam Pandangan Murji’ah
- Menurut Murji’ah, iman pada dasarnya adalah keyakinan di hati yang diikuti dengan pengakuan lisan, tanpa bergantung pada perbuatan nyata. Mereka berargumen bahwa:
- Iman tetap konstan dan tidak naik-turun, asalkan seseorang tidak menyangkal keberadaan Allah dan utusan-Nya.
- Perbuatan baik merupakan hal yang terpisah dari iman. Meskipun perbuatan itu esensial, bukanlah elemen wajib untuk menilai derajat keimanan seseorang.
- Pandangan ini sangat kontras dengan kelompok seperti Khawarij dan Mu’tazilah, yang memandang iman dan amal sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
- Pendekatan terhadap Orang yang Berbuat Dosa Besar
- Ciri khas utama Murji’ah adalah ketidakmauan mereka untuk menyatakan pelaku dosa besar (fasiq) sebagai kafir. Mereka percaya bahwa:
- Selama iman masih ada di dalam hati seseorang, statusnya sebagai Muslim tetap terjaga.
- Penilaian akhir atas perbuatan dan kesalahan manusia sepenuhnya menjadi wewenang Allah, bukan tanggung jawab manusia.
- Dalam ajaran Murji’ah, individu yang terjerat dosa besar masih berpeluang mendapat pengampunan, sebab kasih sayang Allah melampaui kemurkaan-Nya.
- Prinsip “Irjā’” – Penangguhan Penilaian
- Kata irjā’ secara harfiah berarti menunda atau menangguhkan. Prinsip ini menyatakan bahwa:
- Manusia tidak boleh buru-buru menilai keimanan orang lain.
- Penghakiman mutakhir akan dilakukan oleh Allah di akhirat, berdasarkan keadilan dan belas kasih-Nya.
- Ajaran ini membawa dampak sosial serta politik yang signifikan, karena dapat meredam semangat fanatisme antar-kelompok dan mencegah umat Islam saling mengucilkan satu sama lain.
- Dampak Etis dan Kemasyarakatan
- Walaupun dikenal toleran, Murji’ah kerap mendapat kritik karena dianggap terlalu permisif soal amal perbuatan. Namun, mereka membela diri dengan menjelaskan bahwa:
- Mereka tidak pernah membenarkan dosa, melainkan menolak label kafir bagi pelakunya.
- Tujuan pokok mereka adalah memelihara keutuhan umat dan mencegah perpecahan.
- Oleh karena itu, Murji’ah lebih mengedepankan nilai-nilai etika sosial seperti tasamuh (sikap inklusif), husnuzan (prasangka baik), dan raja’ (pengharapan pada Allah).
- Dalam kehidupan masyarakat Muslim masa kini, ajaran Murji’ah tetap menghadirkan cerminan moral yang penting untuk direnungkan. Di tengah budaya digital yang serba cepat menghakimi, di mana kesalahan seseorang langsung dibalas dengan stigma dan pembatalan sosial (cancel culture), pandangan Murji’ah mengingatkan bahwa urusan iman dan dosa sejatinya adalah wilayah Allah, bukan manusia. Prinsip mereka untuk tidak mudah mencap seseorang sebagai kafir hanya karena kesalahan lahiriah, justru sejalan dengan nilai etika Islam yang lebih dalam: memberi ruang bagi taubat, harapan, dan perubahan diri.
- Ajaran ini menemukan momentumnya terutama ketika masyarakat mulai terjebak pada formalisme agama—fokus pada penampilan dan ritual, tetapi melupakan dimensi batin dan keikhlasan. Penelitian A’yun & Mutrofin (2024) menegaskan bahwa religiusitas tidak hanya diukur dari ibadah lahiriah, melainkan dari kesadaran hati (ubudiyah) dalam menghayati hubungan dengan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan ini sejalan dengan semangat Murji’ah yang menekankan bahwa iman berasal dari keyakinan batin, bukan semata-mata dari kesempurnaan amal.
- Lebih jauh lagi, ajaran Murji’ah mengajarkan masyarakat untuk tidak menutup pintu harapan bagi pelaku dosa. Mereka percaya bahwa rahmat Allah selalu lebih luas daripada murka-Nya. Sikap optimistis ini, bila diterapkan hari ini, dapat melahirkan budaya sosial yang lebih empatik—masyarakat yang tidak segera mencela, tetapi memberi kesempatan bagi perbaikan. Dalam konteks sosial, ajaran ini menjadi kritik halus terhadap kelompok-kelompok yang merasa paling benar, yang gampang melabeli sesama Muslim hanya berdasarkan perbedaan pandangan atau praktik ibadah.
- Namun demikian, relevansi Murji’ah bukan berarti membenarkan kesalahan. Mereka tidak mengajak untuk meremehkan dosa, tetapi mengingatkan bahwa manusia tidak berhak menjadi hakim akhir atas iman seseorang. Di masyarakat multikultural yang rawan perpecahan, prinsip ini menjadi jembatan untuk merawat toleransi, husnuzan, dan ukhuwah. Barangkali, sebagaimana Murji’ah pernah berusaha memadamkan bara perpecahan pada masa lalu, hari ini pun kita membutuhkan semangat yang sama: menahan lidah dari vonis, dan membuka hati terhadap pintu pengampunan.
- Sebagai penutup, ajaran Murji’ah memberikan pelajaran mendalam mengenai pentingnya menahan diri dari penghakiman serta menumbuhkan harapan akan rahmat Allah. Di tengah keragaman pandangan dan perselisihan, Murji’ah menghadirkan sikap moderat dengan menolak tindakan mengkafirkan sesama hanya karena dosa lahiriah. Sikap ini tetap relevan sepanjang masa, terutama dalam membangun kehidupan umat yang toleran, penuh empati, dan terbuka terhadap peluang taubat. Dengan memahami ajaran ini secara arif, kita dapat menggali nilai moral yang menuntun pada harmoni, kedamaian, dan keadaban dalam beragama.
- Murji’ah, sebagai aliran yang berpandangan moderat, menawarkan cara pandang baru terhadap relasi antara iman, amal, dan dosa besar. Dengan menghindari vonis keimanan yang tergesa-gesa, mereka berupaya menjaga kesatuan umat Islam. Walaupun tak luput dari kritik, nilai-nilai Murji’ah tentang optimisme, toleransi, dan penangguhan penilaian tetap relevan hingga kini sebagai pedoman etika dalam kehidupan sosial dan keagamaan.
- Daftar Pustaka
- A’yun, Q., & Mutrofin, M. (2024). Urgensi ubudiyah pada konsep religius masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Journal of Social Science and Multidisciplinary Analysis, 1(3), 11–22.
- Mubarak, M. T. (2020). Aliran-aliran dalam pemikiran kalam. Explore.
- Murji’ah, A. (t.t.). Aliran Murji’ah. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
- Murji’ah, A. S. T. A. (2019). Pemikiran teologi Murji’ah. Dalam Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya, 19.
- Nasution, H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan. Jakarta: UI Press.
- Nurdin, A., & Abbas, A. F. (2022). Sejarah pemikiran Islam. Amzah.
- Yatim, B. (2004). Sejarah peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI