Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, Antara China dan Jepang

31 Juli 2022   17:26 Diperbarui: 31 Juli 2022   19:11 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, Antara China dan Jepang.

Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung ternyata memiliki cerita panjang dan berliku. Proyek ini seperti rebutan antara Jepang dan China. 

Pertama Jepang yang menawarkan proposalnya. Investasi Jepang harus dijamin oleh pemerintah Indonesia. Tiba-tiba datang tawaran China tanpa menuntut jaminan dari pemerintah dan tidak akan membebani APBN Indonesia (Kompas.com, 28 Juli 2022).

Kini, Proyek kereta Api Cepat Jakarta Bandung yang semula diharapkan akan selesai pada tahun 2019, ternyata molor sampai dengan pertengahan 2023. Dan beban biaya tambahan akan ditanggung oleh APBN Indonesia. Apakah ada cedera janji atau wanprestasi dari pihak China?

Jika kita menelisik dasar hukum berupa perjanjian awal dan berdasarkan proposal, maka model tawaran China adalah Bisnis to Bisnis (B to B), bukan  Government to government (G to G). 

Semua resiko bisnis ditanggung oleh mereka sendiri, tanpa beban pemerintah. Konsorsium BUMN China dengan Konsorsium BUMN Indonesia. 


Jokowi memilih China karena tidak ada jaminan dari pemerintah Indonesia dan tidak akan membebani APBN Indonesia. Bahkan dibarengi janji aka nada transfer teknologi ke Indonesia. Ini yang tidak ditawarkan oleh Jepang.

Tawaran Jepang meminta jaminan pemerintah Indonesia. Dan ini tentu akan beresiko menjadi beban APBN Indonesia, jika proyek ini bermasalah atau membawa dampak kerugian. Mungkin Jokowi menolak tawaran dari Jepang, karena hal tersebut. Jaminan pemerintah dan membebani APBN.

Lalu, kenapa sekarang  China meminta pemerintah Indonesia  untuk menanggung kerugian akibat pembengkakan biaya pembangunan dan harus membebani APBN? Janji awalnya tidak ada jaminan dari pemerintah Indonesia dan tidak membebani APBN Indonesia.

Proyek B to B seharusnya tidak boleh membebani pemerintah. Murni bisnis. Perjanjian proyek Bisnis to Bisnis tentu berbeda dengan G to G. Apakah pemerintah Indonesia akan mau menjamin dan membebani APBN kita untuk menaggung beban kelebihan biaya yang sampai mencapai 27 triliun?

Pertaruhannya memang menjadi sulit. Proyek ini sudah berjalan sedemikian rupa. Namun penyelesaiannya yang berbelit-belit membuat proyek ini serba terlambat sampai 4 tahun dari rencana 2019 menjadi 2023.

Sesungguhnya proyek ini cukup kontroversial. Ini seakan digagas dan digas oleh Menteri BUMN ketika itu Rini. Menteri Perhubungan Jonan bahkan tidak hadir pada acara groundbreaking yang dilakukan oleh Presiden jokowi Januari 2016. Jonan yang dikenal tegas menolak proyek kereta api cepat ini (Kompas.com, 27 Juli 2022).

Jarak Jakarta Bandung yang hanya 150 Km tidak cocok dengan kereta Api cepat yang memiliki kecepatan 300 km perjam. Jika ada 5 stasiun diantara Jakarta Bandung, berarti berjarak 30 km, maka kecepatan kereta api cepat tidak mungkin mencapai 300 km perjam berjalan efektif.

Kereta api cepat bermanfaat untuk jarak jauh seperti Jakarta -- Surabaya. Kejanggalan awal dengan protes ketidakhadiran Jonan pada peletakan batu pertamanya memang sudah patut menjadi pertanyaan. Namun, apakah Menteri BUMN Rini bisa dimintai pertanggungjawabannya? Ataukan negara yang harus menanggung akibat kerugiannya?

Sejak awal Jokowi mengharamkan penggunaan APBN, namun ulah para pembantunya ini menjadi tanggungjawab yang harus dipikulnya? Dan harus membayar kerugian ini demi berlangsungnya proyek ini? Sebenarnya bisa ditinjau semua masalahnya dengan mengaudit mulai dari penawaran sampai kepada MoU dan kontrak perjanjian antara Konsorsium BUMN China dengan Konsorsium BUMN Indonesia.

Apakah tetap berpijak kepada perjanjian? Lalu siapa yang wanprestasi terhadap perjanjian akan menanggung resikonya? Siapa yang rugi jika proyek ini disetop atau bisakah dialihkan? Semua terpulang kembali kepada pemerintah Indonesia. Dan ini menjadi pelajaran berharga  terhadap proyek lain yang seperti ini. Seandainya proyek ini diserahkan ke Jepang apakah akan terjadi seperti ini?

Harapan kita proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini bisa diselesaikan dengan skema yang tidak merugikan negara. Biarkan saja penyelenggara proyek yang meminjam uang dan menyelesaikannya. Bukankah tenor pengelolaan selama 40 tahun sudah dihitung dari awal sebagai konpensasi dengan berbagai fasilitas lain yang diberikan ke proyek ini?

Ternyata, proyek kereta api cepat ini bukan hanya antara Jakarta dan Bandung. Juga antara China dan Jepang. Pilihan kepada China berakibat seperti sekarang. Sekiranya ini kepada Jepang, belum tentu seperti ini, walaupun bisa juga seperti ini. Serba salahkah?

Semoga proyek kereta api cepat Jakarta Bandung ini bisa diselesaikan dengan baik. Sekali lagi tanpa membebani APBN Indonesia. 

Biarkanlah pemain bisnis yang memiliki proyek ini menyelesaikan dengan cara bisnis. Untung atau rugi, itu resiko bisnis. Jangan kerugian bisnisnya ditimpakan ke APBN. Itu salah.

Salam salah.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun