Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

JK Vs Mahfud MD, Menyampaikan Kritik Tanpa Dipanggil Polisi

15 Februari 2021   08:58 Diperbarui: 15 Februari 2021   09:03 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

JK bertanya tentang bagaimana caranya agar masyarakat bisa mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil polisi? Mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan sederhana. Namun karena pertanyaan ini disampaikan orang yang bukan sederhana, masalahnya menjadi tidak sederhana. Persoalan kita bukan soal isi pernyataan atau pertanyaannya. Siapa yang menyatakan atau menanyakannya? Dimana disampaikannya? Dan untuk apa itu disampaikannya?

Ebiet G Ade dalam salah satu lagunya menyanyikan yang sebagian liriknya "...jangan lihat siapa yang bicara, tapi dengalah apa yang dibicarakannya." Tapi itu adalah lagunya Ebiet dan caranya mengkritik masyarakat yang cenderung melihat siapa yang bicara, bukan apa yang dibicarakannya. Namun keadaan yang ingin dikritik Ebiet G Ade lewat lagunya masih saja dominan terjadi di tengah masyarakat kita, khususnya dunia politik.

Pertanyaan JK ini disampaikan di acara Partai Politik PKS. Bahkan dia berharap bahwa PKS harus melakukan kritik sebagai oposisi. Lho, kenapa JK tiba-tiba berbicara dan menanggapi pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat menyampaikan kritik ke pemerintah soal pelayanan publik? Ada apa hubungan JK dengan PKS? Sebagai mantan presiden dan lama ikut pemerintahan kan seharusnya lebih paham di pemerintahan.

Hubungan JK dengan PKS kan baik-baik saja. Bukan hanya setelah dia tidak menjadi Wapres lagi, bahkan ketika Wapres Jokowi periode 2014-2019.  Dia juga menjalin hubungan yang sangat baik dengan PKS dan Gerindra sebagai oposisi. Bagaimana JK memainkan catur politiknya dalam Pilkada DKI 2017 untuk menggolkan Anies Baswedan. Jadi hubungan politik dan permainan politik JK memang mumpuni dan lihai dalam memainkan catur politiknya. Dan kini sudah dimulai lagi.

Jadi wajar saja pernyataan dalam bentuk pertanyaan bagaimana menyampaikan kritik tidak dipanggil polisi menjadi topik yang hangat dan mendapat respon dari berbagai kalangan, khususnya kalangan pemerintah dan istana. Dari berbagai komentar dan jawaban terhadap JK, salah satu yang menarik adalah apa yang disampaikan Machfud MD, Menko Polhukham.

Menurut Machfud MD  yang dikutip Bisnis.com menyatakan,"JK tidak bermaksud menuding bahwa pada era kepemimpinan saat ini pengritik akan dipanggil polisi. Dia mencontohkan adanya sejumlah kasus pemanggilan kepada para pengritik ketika JK menjabat Wapres," demikian pernyataannya (Bisnis.com, 14 Pebruari 2021).

Lebih lanjut Bisnis.com mengutip pernyataannya lagi, "Apalagi baru-baru ini juga keluarga pak  JK melaporkan Ferdiannd Hutahaean, Rusli Kamri, dan Cawalkot Makassar ke polisi karena tudingan main politiknya pak JK. Laporan-laporan ke polisi ini dilakukan warga negara terhadap warga negara. Jadi pertanyaan pak JK adalah ekspresi dilemma kita," ujar Machfud dalam unggahanya.

Nah, ini menarik. Bagaimana Machfud menanggapi gaya sindiran JK ke Jokowi yang meminta kritik kepada masyarakat. Seakan sindiran JK kepada Jokowi dibalas Machfud MD dengan sindiran pula. Kalau Jokowi tidak pernah melaporkan ke polisi supaya dipanggil para pengritiknya. Yang melaporkan adalah pendukung Jokowi. Bisakah disalahkan Jokowi atas laporan para pendukungnya?

Mungkin juga JK akan berdalih. JK kan tidak melaporkan Ferdinand Hutahaean, Rusli Kamri dan Cawalkot Makassar. Yang melaporkan kan keluarganya. Apakah laporan keluarga JK menjadi tanggung jawab dari JK? Sebagai keluarga tentunya harus tahu dan pahamlah. Apakah anggota keluarganya yang melaporkan Ferdinand, Rusli Kamri dan Cawalkot Makassar atas sepengetahuan dan izinnya? Apakah keluarga JK yang melaporkan hal tersebut ke polisi tidak lebih dahulu memberi tahu dan meminta izinnya? Apakah keluarga JK berani melaporkan hal tersebut tanpa petunjuk dan arahan darinya? Tentu saja hanya JK dan keluarganyalah yang tahu.

Jawaban Machfud ini memang sederhana juga. Namun karena disampaikan seorang Menkopolhukham yang bukan orang sembarangan, pernyataan inipun menjadi tidak sederhana. Ada yang mengamininya dengan pernyataan betul juga ya. Kenapa JK mempertanyakan niat baik Jokowi untuk meminta masyarakat menyampaikan kritik kepada pemerintah? Padahal Jokowi memang secara kepribadian tidak pernah membenci orang yang mengkritiknya. Apa buktinya?

Kurang apa tajamnya Pilpres 2014 dan 2019 dengan Prabowo? Toh dimasukkannya dalam kabinetnya. Kurang apa tajamnya kritik dan bahkan ujaran kebencian Eddhy Prabowo kepadanya? Diterima juga di kabinetnya yang dibawa Prabowo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Walaupun umurnya jabatan itu cepat saja berlalu.

Kurang apa tajamnya kritik dan bahkan hinaan dari orang seperti Rocky Gerung, Fadli Zon, Fahri Hamzah kepada Jokowi. Jika kita bandingkan hal ini terjadi di era Orde Baru disampaikan ke Presiden Soeharto, bisakah kita membayangan nasib dari orang ini? Tentu saja ini patut kita tanyakan kepada Kwik Kian Gie yang membandingkan penyampaian kritik di era Orde Baru dengan Jokowi. Menurut pengalaman di era Orde Baru, nasib seperti nama diatas mungkin sudah mengapung di Kali Inramayu atau bahkan hilang tanpa jejak seperti nasib beberapa orang yang belum ketahuan sampai sekarang.

Apa yang disampaikan Machfud bahwa pertanyaan dan pernyataan JK ini sebenarnya adalah ekspresi dilemma kita sekarang ini. Kritik dan pengritik tidak dipanggil polisi bukan hanya masalah pemerintah, tapi antar warga negara juga. Apa yang dilakukan keluarga JK untuk melaporkan Ferdinand Hutahaean, Rusli Kamri dan Cawalkot Makassar bukan masalah pemerintah, namun menjadi masalah keluarga JK, makanya yang melaporkan adalah keluarga JK.

Jadi orang yang menyampaikan kritik  dilaporkan ke polisi dan polisi memanggil pengritik merupakan masalah hukum. Pelakunya bisa antar warga negara. Presiden Jokowi meminta masyarakat melakukan kritik terhadap pelayanan publik, dimana masyarakat sebagai pengguna  atau penerima pelayanan publik tersebut. Itu konteksnya.

Keluarga JK melaporkan Ferdinand Hutahaean, Rusli Kamri, dan Cawalkot Makassar, menganggap ini menjadi masalah keluarga JK dan tentu gaya main politik JK sendiri. Mereka sebagai keluarga dan JK sendiri menjadi terganggu dengan kritik itu, maka itu adalah menjadi hak untuk melaporkannya ke polisi. Patut diduga ini bisa merusak nama baik dari JK dan keluarganya. Masalah nama baik JK dan keluarganyalah konteksnya.

Ternyata masalahnya bisa kita sederhanakan. Bagaimana kita bisa memahami sebuah pernyataan atau pertanyaan dengan melihat teks dan konteksnya. Proporsional dan jernih. Pernyataan Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk melakukan kritik kepada pemerintah harus dilihat dalam konteks pelayanan publik, dimana masyarakat sebagai penggunanya. Perlu umpan balik.

Pertanyaan JK bagaimana caranya menyampaikan kritik kepada pemerintah tanpa dipanggil polisi harus dipahami debagai ekspresi dilemma kita saat ini. Karena keluarganya juga yang merasa terganggu dengan nama baik karena mengungkit gaya permainan politik JK harus dipahami sebagai upaya menyelamatkan nama baik. 

Walaupun kenapa tidak dilanjutkan melaporkan Rizal Ramli yang jauh lebih tajam kritiknya kepada JK yang menyebutnya bisnis Pengpeng atau bisnis pengaruh kekuasaan? Apakah ada ketakutan melaporkan Rizl Ramli yang tahu banyak tentang sepak terjang JK? Tapi itulah politik. Kalkulasi menjadi sesuatu yang harus akurat. Jangan laporan membawa akibat.

Pernyataan dan jawaban Machfud ke JK juga harus kita lihat sebagai jawaban yang bisa memahami dan menempatkan pertanyaan JK sesuai konteksnya. Jangan membabi buta membalas pertanyaan JK tersebut dengan asumsi dan argumentasi lain. Ini adalah ekspresi dilemma kita. Pemakaian kata kita membuat masalah menjadi milik kita. Dengan demikian saling menyindir dan saling menyalahkan bisa berkurang.

Ini ekspresi dilemma kita menjadi jawaban atas pertanyaan bagaimana caranya menyampaikan kritik kepada pemerintah tanpa dipanggil polisi. Sampaikanlah kritik. Bukan cacian, bukan makian, bukan hoaks, bukan ujaran kebencian.

Bacalah dan pahamilah pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat. Baca pula UU ITE dan KUHP. Jangan tabrak larangannya. Kalau ditabrak, lawan kita bukan orang yang kita kritik, tapi yang kita lawan adalah hukum. Kita menjadi pelaku kejahatan dan pelanggaran yang merupakan perbuatan melawan hukum. Hukumannya? Dihukum berdasarkan hukum. Sebelumnya diproses dulu melalui panggilan polisi. Tidak mau menyampaikan kritik dipanggil polisi? Sampaikanlah kritik tanpa melanggar hukum. Itu jawaban hukumnya. Ayo bijak menyampaikan kritik, jangan emosi dan benci, jangan memaki. Patuhi hukum. Sederhana toh? Semoga.

Salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun