Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Jokowi Meminta Purnomo Menjadi Pembimbing Gibran

18 Juli 2020   22:45 Diperbarui: 21 Juli 2020   07:57 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Satu hari sebelum pengumuman siapa yang direkomendasi DPP PDIP menjadi Calon Walikota dan Walikota Solo, Presiden Jokowi memanggil Purnomo ke Istana Kamis, 16 Juli 2020. Dalam pertemuan tersebut Jokowi menjelaskan bahwa yang direkomendasikan PDIP untuk Pilkada Solo adalah Gibran dan Teguh Prakosa. (Kompas.com 17 Juli 2020)

Kenapa Presiden Jokowi mendahului pengumuman dari PDIP memberitahukan kepada Purnomo sebagai kandidat kompetitor Gibran? Bagaimanakah perasaan Purnomo yang gagal mendapatkan rekomendasi PDIP harus mendapat pemberitahuan dari ayah kompetitornya? Bukan dari PDIP yang memberikan rekomendasi tersebut.  Apakah hubungan baiknya dengan Jokowi mampu menutupi kekecewaannya? Apakah dia benar-benar legowo menerimanya?

Berbagai pertanyaan bisa kita kemukakan dalam hal ini. Namun kita mau menangkap makna di balik pemanggilan Purnomo tersebut ke Istana sehari sebelum pengumuman dari PDIP. Apakah Jokowi ingin mengamankan penghalang dan mencoba mencegah adanya perlawanan dari Purnomo?

Dengan pemanggilan ke Istana tersebut bisa dimaknai sebagai sebuah pemberitahuan awal dan dini sebelum pengumuman. Apakah Jokowi ingin menyatakan bahwa dia sudah tahu siapa yang direkomendasi sebelum pengumuman resmi dari PDIP?

Bisa juga pemanggilan tersebut dimaknai sebagai pendekatan cara Jawa untuk meminta penghalang dari Gibran bisa diatasi sebelum pengumuman untuk menjaga boikot atau perlawanan dari Purnomo. Cara Purnomo menjawab pertanyaan wartawan tentang pemanggilannya menggambarkan raut kecewa atau pasrah namun tidak bisa melakukan perlawanan.

Sesungguhnya Purnomo sudah menduga bahwa dia akan kalah bersaing dengan Gibran. Sebelumnya sudah sering diungkapkan bahwa Gibran anak presiden dan masih muda, sementara dirinya sudah tua. Dan setelah kembali dari istana, hal tersebut diulangnya lagi.

Permintaan Jokowi kepada Purnomo agar memberikan saran dan bimbingan kepada Gibran patut kita catat dan memaknainya sebagai sebuah permintaan sekaligus penjinakan politik. Lawan dirangkul agar tidak bisa melawan kita. 

Ini metode unggulan Jokowi dalam menaklukkan lawan politiknya. Lihatlah Prabowo sebagai lawan dalam kontestasi Pilpres bisa dirangkul dan diberikan tempat baginya di dalam kabinet sebagai Menhan, akhirnya takluk dan mau menerimanya.

Apakah pemanggilan dan penawaran menjadi pembimbing Gibran sebagai sebuah penawaran jabatan untuk mendukung Gibran dalam Pilkada Solo kepada Purnomo? Apakah Purnomo akan dijadikan sebagai Pembimbing dan penasehat Gibran jika dia memenangkan Pilkada Solo?

Suka tidak suka, siap tidak siap, Purnomo gagal mendapatkan rekomendasi PDIP. Dia ditawarkan menjadi pembimbing Gibran. Apakah sungguh-sungguh dia legowo dan menerima penawaran Jokowi untuk membantu Gibran? Tidak ada yang tahu, kecuali Purnomo sendiri.

Apakah dia akan mendukung Gibran-Teguh Prakosa dalam Pilkada Solo? Sepertinya dia akan membantu seperti janjinya sebelumnya bahwa dia akan mendukung siapapun yang direkomendasi PDIP. Apakah dia ikhlas atau tidak, itu persoalan lain.

Dengan memanggil Purnomo ke Istana memang mengundang pertanyaan banyak pihak. Apakah ini indikasi intervensi Jokowi untuk mendukung Gibran, anaknya,  agar mulus pencalonannya tanpa perlawanan dari kompetitornya dalam merebut rekomendasi  PDIP? Apakah intervensi seperti ini akan dilanjutkan dalam pemenangan Gibran-Teguh Prakosa  dalam Pilkada Solo?

Sebagai presiden, memang layak dipertanyakan. Namun sebagai ayah dari Gibran, apapun pasti dilakukan untuk membantu kemenangan anaknya menjadi walikota Solo. 

Ayah pasti mendukung anaknya, apapun pilihan anaknya. Hal itu beberapa kali diungkapkan Jokowi.  Hanya saja, perlu memisahkan posisi Jokowi sebagai presiden dan sebagai ayah dari Gibran.

Di Indonesia, sangat sulit memisahkan urusan jabatan dan urusan pribadi. Jika Jokowi gagal memisahkan urusan sebagai presiden dan sebagai ayah dari Gibran dalam Pilkada Solo, maka akan terjadi benturan kepentingan politik. 

Namun jika dia berhasil memisahkan urusan sebagai presiden dan sebagai ayah dalam Pilkada Solo, konflik kepentingan bisa dikurangi. Namun menghilangkan sama sekali konflik kepentingan menjadi sebuah keniscayaan.

Jokowi harus berhati-hati dalam konteks tersebut. Citra yang baik selama ini, dimana keluarga Jokowi tidak ada yang ikut dalam urusan kekuasaan negara dan proyek sekitar kekuasaan negara telah membanggakan. Janganlah hal itu menjadi sirna dan rusak, hanya karena sebuah Pilkada di Solo. Semoga.

Terima kasih dan salam.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun