Beberapa waktu lalu, media sosial ramai memperbincangkan sebuah tayangan media pada 13 Oktober 2025 yang menyorot kehidupan di sebuah lembaga pendidikan tradisional, pesantren. Tayangan tersebut menampilkan kegiatan sehari-hari para santri. Ada yang harus berjalan jongkok hanya untuk mendapat segelas susu, ada yang memberi amplop sambil mengesot mencium tangan kiai, hingga santri yang membersihkan rumah kiai seperti mengepel, menyapu, mencuci baju, dan bahkan mengelap daun tanaman.
Hal ini menimbulkan perdebatan di masyarakat.
Banyak pihak menilai tayangan media telah ditanggapi negatif oleh masyarakat terkait lembaga pendidikan tradisional.
Namun di sisi lain, ada pula yang melihat bahwa media hanya menampilkan kenyataan sebagaimana adanya.
Gambaran ini menyingkap sesuatu yang jarang dibicarakan: adanya struktur otoritas tradisional yang masih hidup dalam dunia pendidikan, khususnya di lembaga tradisional.
Ketika Hormat Menjadi Kekuasaan
Dalam budaya Indonesia, guru dan kiai selalu ditempatkan di posisi mulia. Menghormati guru dianggap bagian dari adab dan ukuran keberkahan ilmu. Namun, ketika penghormatan itu membuat siswa harus menunduk, berjongkok, atau melaksanakan tugas di luar konteks pendidikan, nilai itu perlu dikritisi.
Apakah itu masih bentuk adab, atau justru telah berubah menjadi kepatuhan simbolik yang menuntut tunduk?
Dalam tayangan media tersebut, santri terlihat menjalankan perintah dengan penuh kepatuhan. Tidak ada unsur kekerasan fisik, tapi ada pola sosial yang menunjukkan jarak antara guru dan murid.
Santri bukan hanya menimba ilmu, tetapi juga mengerjakan pekerjaan domestik di rumah kiai.
Semua ini dibingkai sebagai bentuk pengabdian dan latihan kesabaran.
Namun dari sisi pendidikan modern, praktik semacam ini patut dipertanyakan.
Relasi Otoritas dalam Dunia Pendidikan
Dalam teori konflik modern Ralf Dahrendorf (1959), setiap lembaga sosial memiliki struktur otoritas yang membedakan pihak yang memegang kekuasaan dan pihak yang tunduk. Kiai memegang otoritas moral dan profesional, sementara santri berperan sebagai pihak yang patuh dan melayani.
Ketimpangan ini sering diterima tanpa kritik karena dianggap bagian dari tradisi luhur.
Ketika kekuasaan dibungkus dalam kesucian, kritik dianggap dosa, dan pendidikan kehilangan fungsi reflektifnya. Padahal, pendidikan yang sehat seharusnya membuka ruang bagi siswa untuk berdialog, bukan hanya untuk tunduk.
Konflik Sosial yang Menggerakkan Kesadaran
Tayangan media memicu perdebatan besar. Dalam pandangan Lewis Coser (1956), konflik semacam ini bukan negatif. Justru, konflik menjaga dinamika sosial dan menumbuhkan kesadaran baru dalam masyarakat. Melalui perdebatan publik inilah, kita belajar bahwa pendidikan tidak bisa terus berdiri di atas kebiasaan lama, karena setiap zaman menuntut cara berpikir baru.