Mohon tunggu...
Alboin Samosir
Alboin Samosir Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Belajar dan Berjuang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Omnibus Law, Cipta Kerja atau Cipta Masalah?

29 Februari 2020   17:28 Diperbarui: 4 Maret 2020   07:59 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
baliexpress.jawapos.com

Wacana omnibus law pertama kali digulirkan pemerintah saat pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode ke-2. Dalam pidato pelantikannya, diawali dengan cita-cita Indonesia di tahun 2045, Indonesia mampu keluar dari jurang kemiskinan, menjadi negara maju dengan pendapatan 27 per-kapita per-tahun.

Di pertengahan pidatonya, Jokowi mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar, yang pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus Law.

Jokowi menepati janjinya saat pelantikan. Pada Rabu,12 Februari 2020, Pemerintah resmi menyerahkan Surat Presiden (Surpres) dan draf Omnibus Law RUU Cipta kerja yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).

Sesaat setelah diserahkan ke DPR, Kehadiran RUU Cipta Kerja menuai protes di kalangan masyarakat. Yang menjadi pertanyaannya, apa itu Omnibus Law Cipta Kerja dan Mengapa kehadirannya dianggap bermasalah oleh banyak kalangan?

Kata Omnibus diadopsi dari bahasa latin Omnis yang artinya, "untuk semuanya." Maka secara sederhana Omnibus Law berarti adalah sebuah peraturan yang terdiri dari banyak Undang-undang yang dihimpun dalam sebuah peraturan. Undang-undang ini biasa disebut Undang-undang sapu jagat. Omnibus Law ini digunakan untuk mencegah tumpang tindih regulasi, efesiensi dan efektifitas perundang-undangan.

Dalam sejarahnya Omnibus Law pertama sekali diperkenalkan oleh Amerika Serikat. Compromis of 1850 merupakan regulasi yang menyatukan perbedaan antar negara-negara yang pro dan kontra dengan perbudakan. Omnibus Law  banyak digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.

Omnibus Law Cipta kerja yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR memuat 11 kluster, 15 bab, 174 pasal, dan 79 perundang-undangan dengan 1203 pasal terdampak. Sesaat setelah diserahkan, Jokowi berpesan kepada ketua DPR, Puan Maharani agar segera menyelesaikan dalam 100 hari kerja.

Tentunya wajar masyarakat bertanya, ada apa di balik ini? Mengingat perlunya kajian komprehensif untuk membahas ini, yang tidak perlu dibatasi oleh waktu karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dalam proses perancangan undang-undang,  pemerintah terkesan diam-diam dalam menyelesaikannya dan juga tidak melibatkan elemen masyarakat dalam prosesnya. Misalnya, tidak mengikutkan serikat buruh yang mana RUU ini sangat berdampak kepada mereka, kemudian transparansi mengenai pembasahan ini  tidak ditemukan sampai pemerintah sudah menyerahkannya ke DPR.

Padahal dalam Pasal 96 UU No 12 Tahun 2011 Tentang peraturan pembentukan perudangan-undangan mengatakan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara tidak langsung konsep demokrasi tidak digunakan pemerintah dalam perumusan peraturan ini.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh salah satu mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida. Ia menyampaikan, "5 hal perlu diperhatikan terkait rencana omnibus law ini yakni, pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, partisipasi masyarakat, sosialisasi yang lebih luas, dan pembahasan yang harus transparan.

Selain itu, terkait Omnibus Law sendiri tidak dikenal dalam regulasi perundang-undangan. Dalam UU No 12 Tahun 2011 perubahan UU No 15 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, tidak dikenal dan tidak dimuat mengenai penerapan omnibus law. Meskipun dalam ranah implementatif masih dapat diperdebatkan.

Permasalahan Omnibus law cipta kerja tidak hanya di formal namun juga materil dan substansi dari peraturan tersebut. Salah satunya terkait dengan ijin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dalam RUU Cipta Kerja terdapat beberapa regulasi yang dihapus dan diganti yang senyata-nyatanya akan merugikan masyarakat yang berada diwilayah perusahaan.

Dalam RUU Cipta kerja ijin terbitnya AMDAL kian dipermudah. Dalam pasal 24 ayat (3) mengatakan,"pemerintah pusat dapat melakukan uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat.

Hal ini tidak sejalan dengan semangat UU No 32 Tahun 2019 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana dalam uji kelayakan harusnya tetap melibatkan peran serta masyarakat dan organisasi yang bergerak dalam lingkungan hidup

Selain tidak melibatkan masyarakat RUU ini juga akan menghilangkan sense of belonging pemerintah daerah terhadap wilayah lingkungan hidupnya. Hal tidak lepas dari dihapusnya pasal 29 sampai 31 UU No 32 Tahun 2009 tentang peran serta Pemerintah Daerah dalam penerbitan AMDAL.

Seperti yang dimuat dalam pasal 31 UU No 32 Tahun 2009 yang mengatakan,"berdasarkan hasil penilaian komisi penilai Amdal, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapakan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya." 

Tidak hanya itu, regulasi ini juga menghapus jenis sanksi administratif yang sebelumnya jelas tertuang dalam pasal 76 ayat(2) UU No 32 Tahun 2009. Pun demikian dengan penghapusan pertanggungjawaban mutlak. dimana dalam pasal 88 dikatakan  setiap orang yang mengakibatkan kerusakan serius terhadap lingkungan harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dihapusnya pasal-pasal  ini akan melanggengkan orang-orang yang ingin merusak lingkungan.

Berdasarkan poin-poin diatas penulis beranggapan, pemerintah tidak menaruh ruang perlindungan pada warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yangmana hal tesebut bertentangan dengan pasal 28H UUD NRI 1945 dimana setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup  baik dan sehat.

Buruh juga tidak terlepas dari RUU Cipta kerja ini. Terdapat beberapa perubahan yang nantinya akan merugikan buruh. Pertama, tentang perjanjian kerja, dalam RUU Ciptakerja pengusaha dapat semena-mena untuk mengakhiri masa kerja buruh.

Hal ini bisa dilihat di pasal 61 poin (1E) dimana apabila kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja dapat menyebabkan berkahirnya hubungan kerja. Dalam pasal ini tidak jelas diatur mengenai apa itu keadaan tertentu artinya perusahaan bisa memecat pekerja dengan dalih keadaan tertentu.

Kedua,  dalam Undang-Undang ketenagakerjaan durasi kerja yakni 5 hari kerja dalam satu minggu maka hal tersebut diganti  menjadi 6 hari kerja dalam satu minggu. Hal ini bisa dilihat pada pasal 76 RUU Cipta kerja.

Ketiga, terkait  dengan pengupahan. Pasal 88 UU Ketenagerjaan yang diganti oleh RUU ciptakerja menghapuskan beberapa upah yang harusnya dipenuhi oleh pengusaha seperti upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya dan upah lainnya.

Pengupahan tidak lagi ditentukan oleh kabupaten/kota atau yang biasa disebut UMR melainkan Upah Minimum Provinsi (UMP), yang lazimnya UMP cenderung lebih rendah daripada UMR.

Keempat, selain sistem kerja yang memberikan kewenangan mutlak kepada pengusaha pun demikian dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Semisal pasal 154A Poin i,  yang mengatakan dapt memecat apabila pekerja mengalami sakit berkepanjangan lebih dari 12 bulan. Menurut penulis aturan ini sangat merugikan pekerja. Harusnya perusahaan hadir memberikan solusi.

Omnibus Law cipta kerja ini juga merusak tatanan hukum yang sudah berlaku. Dalam pasal 170 RUU Cipta Kerja dikatakan pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang dengan Peraturan Pemerintah.

Hal tentu saja bertentangan dengan hierarki perundang-undangan yang ada di Indonesia, pun pasal ini tidak memiliki legitimasi dalam aturan konstitusional kita. Undang-undang hanya dapat diganti dengan Perpu itu pun hanya dalam keadaan tertentu dan harus diundangkan setelahnya.

Dengan adanya Omnibus Law Cipta kerja ini membuka kewenangan yang cenderung sentralistik dimana dapat mengakibatkan sistem pemerintahan yang otoriter. Untuk aspek tertentu cipta kerja ini menihilkan peran serta pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah yang sering pemerintah suarakan.

Dalih pemerintah yang mengatakan hadirnya Omnibus Law untuk menggaet Investor tidaklah sepenuhnya tepat. Seperti yang dikatakan oleh Faisal Basri, "kendala utama investasi di Indonesia bukanlah regulasi melainkan korupsi dan inefesiensi birokrasi."

Oleh karena itu, pemerintah harus menarik RUU Cipta kerja ini dan mengkaji kembali terutama terhadap dampak-dampak yang akan terjadi. Jangan sampai Omnibus Law ini yang harusnya menciptakan lapangan kerja justru menciptakan masalah di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun