Mohon tunggu...
Alboin Samosir
Alboin Samosir Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Belajar dan Berjuang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perubahan untuk Perbaikan

26 April 2019   17:39 Diperbarui: 26 April 2019   17:44 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber wartakota.tribunnews.com 

Pemilihan umum merupakan metode yang sampai saat ini masih digunakan oleh Indonesia dalam proses pergantian kekuasaan baik di  bidang legislatif maupun di eksekutif.  Perjalanan proses pemilihan umum telah banyak mengalami pasang surut semenjak pemilihan umun tahun tahun 1955. Gonta-ganti peraturan sepertinya sudah menjadi hidangan wajib setiap kita akan memulai pemilu, dimulai dari UU No 27 Tahun 1953 sampai yang sekarang, UU No 7 Tahun 2017.

Di setiap pergantian regulasi itu juga selalu ada lahir polemik, selalu ada pro-kontra begitu juga dengan undang undang pemilu yang kita pakai kini. Mulai dari permasalahan presidensial threesold, parlementery threesold, dan pelaksanaan pemilihan umum secara serentak. Dan yang paling banyak menyita perhatian kita adalah dampak dari pemilihan serentak ini yakni, banyak petugas KPPS yang meregang nyawa akibat kelelahan saat rekapitulasi suara karena kelelahan.

Saat Undang-undang ini disahakan, banyak pihak yang sudah mengantri di depan pintu Mahkamah konstitusi untuk segera mengajukan judicial review terkait permasalahan beberapa pasal misalnya pasal 222, yakni pasal yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Pasal ini dianggap membatasi hak konstitusional bagi mereka yang ingin mengabdikan diri sebagai pemegang pucuk pimpinan di Indonesia. 

Ambang batas 20 persen suara di perlemen dianggap berlebihan dan bertentangan dengan pasal 6A Ayat (2) yang membuka kesempatan secara luas bagi siapa pun yang ingin menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Mengingat juga pemilihan umum kali ini diadakan serentak maka banyak kalangan menilai tidak lagi tepat menggunakan perolehan suara di pemilihan sebelumnya, karena akan ada saja hasil diluar dugaan. Banyak kalangan juga beranggapan dengan presidensial thresold 20 persen berpotensi untungkan petahana.

Yang sepakat dengan ambang batas pencalonan presiden 20 persen bukan tanpa perlawanan. Menurut mereka adanya ambang batas 20 persen akan memperkuat ketatanegaraan kita yang notabene menganut sistem presidensial. Karena dalam setiap kebijakannya presiden dirasa perlu memiliki kekuatan yang cukup di parlemen untuk menggolkan beberapa kebijakan penting dan juga akan membantu stabilitas presiden dari intervensi parlemen.

Beberapa hari menjelang pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi selaku lembaga tinggi peradilan negara yang memiliki kekuatan final dan mengikat membuat para penguji yang terdiri dari lembaga maupun perseorangan harus gigit jari. Pasalnya, semua gugatan yang diajukan ditolak oleh Mahkamah konstitusi. Mahkamah konstitusi beranggapan dengan adanya preseidensial thresold 20 persen akan memperkuat posisi presiden di negara yang menganut sistem presidensial. Jelas, anggapan itu masih belum menjadi jawaban dari gugatan yang diajukan oleh penguji namun, apapun itu wajib hukumnya menaati putusan dari MK.

Tidak hanya bermasalah di presidensial thresold namun, permasalahan itu tampak ketika pemilihan umum serentak ini selesai diadakan. Permasalahan itu nampak ketika banyaknya petugas pemungutan suara meregang nyawa akibat kelelahan dalam proses rekapitulasi suara. Menurut laman resmi KPU tercatat ada sekita 225 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya dirawat di rumah sakit.

Yang menjadi pertanyaan kita bersama yakni, apakah memang hal ini tidak mampu diprediksi oleh penyelenggara atau memang penyelenggara berangapan proses penghitungan ini akan sama saja dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Sudah menjadi budaya di negeri ini segala sesuatu tidak pernah dihitungkan matang. Trial and error sudah menjadi hal yang wajar.

Penyamatan pahlawan demokrasi ataupun pahlawan pemilu bagi para KPPS ataupun pihak terlibat lainnya menurut saya sah-sah saja dan sudah sepatutnya pemerintah menganjar mereka dengan apresiasi yang sangat tinggi. Namun, bila kita melihat dari segi sistem dan regulasi yang berlaku mereka menjadi korban dari sistem yang tidak mampu memprediksi dampak dari pemilu serentak ini yang konon katanya demi efektifitas dan efesiensi.

Berkaca dari semua kejadian tersebut proses undang-undang nomor 7 tahun 2017 harus segera dievalausi. Perubahan perubahan regulasi harus segera diwacanakan. Menurut penulis, alasan efektifitas dan penghematan anggaran tidaklah jauh lebih penting dibandingkan ratusan nyawa yang telah dikorbankan. Begitu juga dengan metode pengitungan yang masih tradisional harus segara diganti. E-VOTE atau memilih secara elektronik, sedikit banyak akan membantu permasalahan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun