Mohon tunggu...
Albert BaritaSIHOMBING
Albert BaritaSIHOMBING Mohon Tunggu... Polisi - Polri

Badminton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Konflik Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia: Solusi dan Rekomendasi Kontra Positive Occupation

22 Mei 2024   22:54 Diperbarui: 22 Mei 2024   23:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia: Solusi dan Rekomendasi Kontra Positive Occupation China di Laut Natuna Utara

           oleh: KBP. Albert Barita Sihombing, M,Si., M.A.

           Mahasiswa Program Doktoral STIK-PTIK Polri

 

  • Dalam jurnal Policy Science 11 tahun 1979 terdapat tulisan menarik dari Stephen J. Andriole di halaman 19-37, berjudul "Decision Process Models and the Needs of Policy-Makers: Thoughts on the Foreign Policy Interface". Penulis yang adalah peneliti pada Lembaga Pengembangan Pertahanan Arlington USA menulis bahwa kunci sukses pengambilan keputusan selalu diawali dengan kemampuan dalam mendeskripsikan masalah (define situation) dan penentuan tujuan (goals) berdasar korelasi yang paling signifikan yang lalu dicarikan alternatif-alternatif pencapaiannya. Langkah berikutnya adalah mengeksekusi salah satu alternatif yang paling logis dan bukannya yang paling ideal.

  • Rasionalitas keputusan, logis atau tidaknya akan tergantung pada kapabilitas sumber daya. Ada pertimbangan konsekuensi dari setiap keputusan yang dibuat. Ada manajemen resiko yang harus disesuaikan dengan konsep kenali diri, musuh dan lingkungan. Semakin beresiko suatu keputusan, maka dibalik resiko tersebut terdapat potensi keuntungan yang berbanding terbalik dengan resiko yang dihadapi sehingga bila kita mampu meminimalisir resiko tersebut, maka disaat yang bersamaan terbuka peluang untuk memaksimalkan keuntungan. Kuncinya disesuaikan dengan kemampuan mengukukur plus minus perbandingan SWOT (Strong atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunity atau peluang dan Threats atau ancaman). Bila kekuatan dan peluangnya lebih tinggi dari kelemahan dan ancaman maka logikanya tingkat keberhasilan mengalahkan kegagalan.

Dikaitkan dengan ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia, timbul pertanyaan langkah dan keputusan apa yang harus diambil? Permasalahan ditengarai adanya klaim yang berbeda antara China dan Indonesia tentang batas wilayah laut kedua negara yang terletak di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) laut Natuna Utara pada posisi 10016'-7019' Lintang Utara dan 1050 00'-110000' Bujur Timur. Laut yang disengketakan seluas 83.000 Km2. Jika langkah yang diambil salah, maka cepat atau lambat luas laut tersebut akan dikuasai China. Sekalipun Presiden Jokowi telah dengan tegas menyatakan bahwa batas-batas teritori sudah diputuskan dan bersifat final dalam kesepakatan UNCLOS 1982 sehingga tidak perlu dikompromikan karena Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan China sebagaimana diatur dalam Rulling Tribunal UNCLOS tahun 2016. Namun, praktek di lapangan masih ada benturan yang berpotensi terjadinya salah langkah dan salah keputusan. Tercatat adanya pelanggaran batas wilayah yang dilakukan secara berulang oleh kapal-kapal coast-guard China yang hadir di wilayah ZEE Indonesia guna mengawal praktek illegal fishing para nelayannya.

Peristiwa Sabtu, 12 September 2020, misalnya, terjadi ketegangan antara coast guard Indonesia (yaitu Badan Keamanan Laut Indonesia disingkat Bakamla RI) dengan coast guard China saat hendak melakukan penegakan hukum terhadap aksi illegal fishing kapal-kapal nelayan China di wilayah Laut Natuna Utara. Kapal-kapal coast guard China bermanuver menghalangi kapal Bakamla untuk melindungi kapal-kapal nelayan China agar tidak beranjak dari tempatnya dengan alasan keberadaan mereka ada di wilayah kedaulatan China. Ketegangan ini sarat provokasi terhadap potensi kontak senjata. Setelah tiga hari bersitegang yang juga melibatkan saluran diplomatik kedua negara, akhirnya Pemerintah China pada 14 September 2020 menginstruksikan petugas coast-guard-nya untuk meninggalkan teritori yang disengketakan diikuti kapal-kapal nelayan China. Salut untuk Bakamla telah melakukan langkah terukur dan terkoordinasi dengan pusat komando.


Namun dalam perkembangan selanjutnya, kembali dikabarkan kapal-kapal nelayan China dengan pengawalan coast-guard-nya sering memasuki wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara dan sampai  dengan saat ini, belum ada catatan penangkapan nelayan China oleh petugas jaga laut Indonesia. Dalam konteks ini disimpulkan ada masalah dalam penegakkan hukum dan kedaulatan Indonesia. Mengapa terjadi dan upaya apa yang paling relevan dalam mensikapi permasalahan? Jawab terhadap pertanyaan ini adalah juga menyangkut langkah dan keputusan apa yang sebaiknya diambil. Dalam hal ini, agar keputusan bersifat logis dan terukur, Penulis berpatokan pada model proses pengambilan keputusan yang terdiri dari tahapan define situation, goals, searching for alternatives dan choosing the appropriate alternatif. 

 

Define Situation 

  • Dalam upaya deskripsi permasalahan atau define situation, digunakan pisau analisa hourglass model of conflict yaitu model yang dirumuskan oleh Ramsbotham, Tom Woodhouse, dan Hugh Miall dalam buku Contemporary Conflict Resolution, 2012 sebagai panduan untuk melihat pola dan kecendrungan aksi. Alhasil, disimpulkan ada pola dan kecendrungan yang bersifat sistematis adanya ancaman konflik di Laut China Selatan (LCS) yang diseting oleh China ke arah penyelesaian yang mengedepankan adu kekuatan politik ketimbang jalur hukum. Si vis pacem para bellum (jika ingin damai bersiaplah untuk perang) menjadi gertakan negara besar untuk mendikte negara kecil agar manut.  Kecenderungan ini tercermin dalam keempat tahapan hourglass model of conflict, yaitu adanya perbedaan, pertentangan, polarisasi dan kekerasan dalam konflik di LCS yang berpotensi naik tingkat pada eskalasi kelima yaitu perang. Eskalasi ini yang harus semaksimal mungkin dihindari oleh Indonesia.

  • Adapun hasil pengamatan terhadap eskalasi ancaman konflik disajikan dalam empat tahapan yaitu; pertama, perbedaan. Awal suatu konflik pasti didahului adanya perbedaan. Demikian halnya yang terjadi antara Indonesia dan China. Indonesia mendasarkan klaim pada kesepakatan bersama hukum laut internasional yang tertuang pada UNCLOS 1982. Sementara China yang sekalipun ikut meratifikasi UNCLOS 1982, ternyata lebih mementingkan untuk mewujudkan batas-batas laut sesuai dengan versi yang tertuang pada konsep nine dash line sepihak China sebagai warisan sejarah yang harus dipertahankan. Fakta ini menjadi pertanda buntunya solusi dan meningkatnya eskalasi ke tahap II, yaitu pertentangan.

  • Kedua, pertentangan. Perbedaan yang terjadi tidak sekedar perbedaan pendapat dalam alam pikir, tetapi sudah menyentuh kepentingan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan. Indonesia sebagai archipelago state merasa berhak untuk mempertahankan kedaulatan NKRI untuk tidak melepaskan teritori laut seluas 83.000 Km2 yang sudah sah menurut hukum laut internasional UNCLOS 1982. Sementara bagi China jika tunduk pada UNCLOS 1982, maka konsekuensinya selain kehilangan sebagian wilayah yang ber-iritasi dengan Indonesia, juga akan kehilangan wilayah-wilayah lainnya yang ber-iritasi dengan Philipina, Taiwan, Brunai Darusalam dan Malaysia. Hal ini dengan sendirinya akan mengurangi fungsi LCS sebagai daerah penyangga atau buffer zone. China memerlukan seluas mungkin lautan sebagai zona penyangga jika ada serangan rudal AS ke daratan China yang berasal dari lautan terdekat. Selain itu, letak LCS sangat strategis dalam mendukung sektor transportasi laut perdagangan China yang pada zaman dahulu dikenal sebagai jalur sutra. Pada gilirannya, penguasaan administrasi LCS akan berkorelasi positif mendukung hegemoni China di Asia Tenggara. Karenanya, demi menjaga hegemoninya, China akan bersikukuh memperjuangkan konsep nine dash line secara utuh. Hal ini menjadi pertanda China tidak akan bergeming untuk tunduk pada UNCLOS 1982. National interest mengarahkan China untuk memperkuat klaim dan melaksanan langkah-langkah yang signifikan dengan tujuan antara lain yaitu membentuk milisi nelayan dalam rangka penguasaan wilayah secara de facto.  

  • Ketiga, polarisasi atau pengkubuan. Sekutu diperlukan untuk penguatan pencapaian tujuan. Sebagai penegasan de jure, Indonesia berhasil mengundang perusahaan asal Inggris, Harbour Energy dan perusahaan Rusia, Zarubezhneft untuk menggarap lapangan gas lepas pantai di Blok D Tuna yang terletak di Laut Natuna Utara. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan Zarubezhneft terpaksa berhenti karena imbas sanksi uni Eropa yang menekan Inggeris untuk tidak bertransaksi apalagi berpartner dengan perusahaan asal Rusia. Di lain pihak, China menggandeng para nelayan berdalih demi menjaga tradisi melaut turun-temurun untuk hadir dan mempertahankan kedaulatan China di LCS. Para nelayan tersebut dijadikan Chinese maritime militia yang ditugasi untuk mengajak sebanyak mungkin nelayan melaut dan menangkap ikan sebanyak mungkin di wilayah-wilayah laut yang disengketakan (antara lain wilayah laut Natuna Utara) plus misi untuk mengganggu/mengusir kapal-kapal nelayan asing agar tidak beroperasi di wilayah klaim China dengan bantuan pengawalan kapal-kapal coast-guard China. Ketiga tugas yang diemban Chinese maritime militia tersebut positif berpotensi menghadirkan aksi-aksi kekerasan di wilayah sengketa.

  • Keempat, kekerasan. Kekerasan merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun verbal yang mencerminkan adanya tindakan agresi/penyerangan terhadap kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang. Tindakan agresi ini umumnya berkaitan dengan kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau bertindak sewenang-wenang. Tercatat sudah ada bentuk-bentuk kekerasan yang dialami nelayan Indonesia antara lain perusakan dan atau pencurian jaring. Jaring yang sebelumnya ditanam pada pagi hari ini untuk menjala ikan sorenya saat hendak memanen ikan, jala dimaksud rusak atau raib. Kenyataan ini diperburuk oleh laporan dari entitas kumpulan nelayan lokal yang melaporkan anggotanya pernah diganggu bahkan terpaksa hengkang dari daerah operasional untuk menghindari intimidasi manuver tabrakan kapal dari nelayan asing yang nota bene terbuat dari besi dengan ukuran tonase kapal yang lebih besar. Bahkan, hal ini diperparah berita via radio: "Nelayan yang hendak melaut di zona yang disengketakan, wajib lapor dan minta izin ke pihak coast guard China". Sungguh merupakan perjuangan berat untuk hadir melaut di ZEE Indonesia sendiri di tengah hambatan internal berupa keterbatasan bahan bakar minyak dan keterbatasan spesifikasi kapal sehingga yang menjadi pilihan aman adalah menghindari masalah terlebih adanya realita minimnya frekuensi patroli oleh petugas jaga laut Indonesia karena alasan klasik yaitu keterbatasan bahan bakar. Hal yang dikhawatirkan adalah ketiadaan penegakan hukum di laut pada sendirinya membuka peluang berlakunya hukum rimba yang menjebak pada munculnya permusuhan menyulut perang. Ini yang harus dihindari karena hanya menguntungkan pihak yang kuat secara militer dan ekonomi.

  • Kelima perang. Perang lebih diharapkan sebagai kekuatan pemaksa. Bagi China adalah peluang sedangkan bagi Indonesia adalah ancaman hilangnya kedaulatan karena perimbangan kekuatan yang jomplang.



  • Goals
  • "Apa yang kamu mulai harus dilakukan secara berkelanjutan dan mencapai finish sesuai yang diharapkan. Rencanakan kerjamu dan kerjakan rencanamu." Dari pemaparan define situation di atas, tercermin akan sulit untuk menjawab pertanyaan how to solve the problem mengingat kapasitas sumber daya Indonesia tidak berada dalam performance sebagai aktor yang mampu menekan China. Pilihan pertanyaan yang paling bijak adalah how to manage the problem. Karenanya diperlukan strategi, program dan tindakan yang searah ke pencapaian tujuan. Terdapat empat (4) aktor hubungan internasional yang dapat difungsikan dalam mengelola konflik di LCS, yaitu aktor negara dan aktor non-negara (individu, IGO/NGO singkatan dari Internasional Governmental Organization/Non Governmental Organizarion, dan MNCs singkatan dari Multinations Corporations).

  •  Dalam kaitan strategis, Penelitian ini diarahkan untuk menjawab how to manage the problem dengan menerapkan prinsip we are not win the battle but win the war. Pertempuran head to head kekuatan bersenjata kedua negara harus dihindarkan karena perang sesungguhnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi yang ada di tengah situasi ancaman agar tidak berujung konflik perang. Karenanya, fokus penelitian diarahkan untuk mencari jalan keluar yang lebih terukur dalam wujud memberdayakan peran aktor non-negara, yaitu masyarakat nelayan Natuna sebagai aktor international relation dalam memaksimalkan kesejahteraan nelayan yang juga berdaya guna menjadi bagian kontra  positive occupation China di Laut Natuna Utara serta usaha-usaha untuk menekan illegal fishing oleh nelayan asing dengan cara memandu dan mendukung perolehan penghasilan melaut di wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Berdaulatnya nelayan Indonesia diharapkan semakin mempertegas wilayah kedaulatan yang memenuhi unsur laut sebagai konsep perdagangan, keselamatan dan perjuangan demi kesejahteraan NKRI.

  • Searching for Alternatives 
  • Manusia adalah serigala  bagi manusia lainnya. Pada saat dibutuhkan serigala hidup berkelompok dan bekerja sama untuk berburu. Tetapi saat kelaparan dan tidak ada yang diburu serigala akan memangsa temannya sendiri. Demikianlah kesimpulan yang didapat oleh Thomas Hobes dalam mengilustrasikan pendapatnya tentang "Pada dasarnya manusia adalah jahat!" Teori ini sebagian besar terbukti dan sebagian lainnya dapat dipatahkan dengan hadirnya agama dan budaya yang mengajarkan tentang value dan moral. Bahkan psikolog Abraham Maslow dalam tulisan berjudul "A theory of Human Motivation" yang dimuat jurnal Psychological Review menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak sekedar urusan fisik semata. Terdapat kebutuhan lain yang menjadi pembeda manusia dari binatang. Pembeda inilah yang memampukan manusia mengerem naluri binatangnya agar hidup tidak saling membinasakan tetapi saling membina.

  • Tahun 1943, Maslow mendeklarasikan pengamatannya terhadap keingintahuan bawaan manusia ke dalam teori "lima kebutuhan dasar manusia". Kebutuhan dasar tersebut merupakan kebutuhan berjenjang. Pertama kebutuhan fisik makan dan minum agar bisa bertahan hidup. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang pemenuhannya diwujudkan dalam bentuk perlindungan perumahan, kesehatan dan pekerjaan serta kenyamanan dalam beraktivitas. Ketiga, adalah kebutuhan untuk diterima dalam suatu kelompok dan mendapat suasana nyaman untuk mencintai dan dicintai. Selanjutnya meningkat ke kebutuhan akan penghargaan terhadap suatu pencapaian baik dalam wujud status maupun pengakuan terhadap prestasi sebagai suatu pencapaian yang harus dihargai dan dilindungi, Ini adalah kebutuhan dasar keempat yang membentuk peradaban budaya kerja dan kepangkatan yang sering kali ukurannya dalam bentuk besaran hak dan kewajiban serta uang sebagai patokan kesuksesan. Terakhir kebutuhan kelima sebagai kebutuhan puncak yang tidak bisa diukur dengan uang adalah tingkat kepuasan bathin baik yang berhubungan dengan seni maupun keimanan. Kebutuhan tersebut dinamai aktualisasi diri.

  • Dalam aktualisasi diri inilah suatu pencapaian hasil tidak bisa diukur menggunakan takaran uang. Ukurannya ada dalam bentuk kepuasan bathin yang tidak bisa dibeli. Bahkan demi pencapaiannya, manusia yang tadinya saling berebut menjadi saling berbagi, yang tadinya saling mengalahkan jadi saling mengalah sehingga muncul istilah mengalah untuk menang dan berkorban untuk kehidupan yang lebih baik. Karenanya, sebagai antitesis "Manusian pada dasarnya Jahat" adalah "Manusia pada dasarnya Baik". Untuk baik dan jahat adalah pilihan dan manusia adalah mahluk yang dapat memilih. Dalam situasi konflik secara pengamatan fenomena terdapat 8 (delapan) pilihan keputusan.

  • Berangkat dari quote Albert Einsten "If you can't make it simple, you don't understand it well enough", kedelapan pilihan tersebut dituangkan secara sederhana sbb; pilihan pertama adalah menunda atau meniadakan konflik karena desakan kerjasama untuk menghadapi musuh bersama. Pilihan ini merupakan upaya pemusatan kekuatan untuk menghadapi musuh  yang mengancam eksistensi negara khususnya yang memiliki ideologi yang sama dalam menghadapi musuh secara bersama. Selanjutnya, alasan kesamaan ideologi menjadi perekat untuk melupakan pertikaian dan bersatu melawan musuh.

  • Pilihan kedua adalah lebih baik memisahkan diri untuk menghindari konflik. Konflik seringkali terjadi karena adanya gesekan kepentingan baik secara fisik maupun psikis yang seringkali terjadi karena perebutan sumber daya dalam suatu tempat yang sama. Solusinya sederhana, lakukan pemisahan tempat! Jika satu kelompok ke utara maka kelompok lainnya ke selatan. Jika satu kelompok ke kiri maka kelompok lainnya diarahkan ke kanan. Kompromi menjadi bagian solusi ke arah pengaturan untuk terhindar dari benturan kepentingan dengan menawarkan arah pencapaian yang berbeda.

  • Pilihan ketiga adalah pilihan perang jika yakin akan menang. Kenali diri, kenali musuh dan kenali medan serta faktor-faktor penentu kemenangan lainnya semisal dukungan sekutu. Kalkulasi tingkat keberhasilan yang tinggi dibanding resiko kegagalan merupakan kesempatan untuk mengambil keuntungan keputusan perang karena pihak yang menang menjadi pihak yang dapat memaksakan kehendak terhadap pihak yang lemah.

  • Pilihan keempat adalah kompromi untuk tidak melanjutkan perang sehingga konsekuensinya pihak yang kuat akan mendikte pihak yang lemah. Lumrah terjadi bahwa pihak yang lemah akan terpaksa bersedia damai dengan musuh dan menerima tuntutan-tuntutan yang sekalipun merugikan tapi dianggap lebih baik daripada melanjutkan perang dan semakin kalah.

  • Pilihan kelima adalah pilihan yang menyaratkan kondisi si vis pacem para bellum (jika ingin damai maka bersiaplah untuk perang). Jika kedua negara yang bertikai sama-sama kuat maka pilihan menghindari eskalasi perang menjadi pilihan bijak. Karenanya, kedua negara yang bertikai harus mampu saling mengancam akan dampak yang ditimbulkan jika ada negara yang memulai penyerangan.  Hal yang diperlukan adalah memiliki persenjataan nuklir sebagai modal menggertak. Ancaman penggunaan nuklir akan efektif untuk mengerem genderang perang mengingat akal sehat "jika terjadi perang nuklir, maka kedua pihak yang bertikai akan sama-sama menjadi abu, tidak akan ada pihak yang menang atau kalah. Keduanya akan hancur!"

  • Pilihan keenam adalah melupakan konflik dengan cara berkompromi untuk saling melucuti senjata sehingga satu sama lain tidak merasa terancam dan tidak mempersoalkan adanya perbedaan serta mau hidup berdampingan dan bertoleransi. "Mari Kita Mengalahkan Pedang Menjadi Mata Bajak" adalah patung perunggu karya seniman Evgeniy Vuchetich (1908-1974) yang menjadi simbol perdamaian PBB. Patung tersebut menggambarkan sosok seorang pria yang memegang palu tinggi-tinggi di satu tangan dan pedang di tangan lainnya, menempa pedang tersebut menjadi mata bajak, alat untuk mengolah lahan untuk bercocok tanam. Tindakan ini melambangkan keinginan manusia untuk mengakhiri perang dan mengubah alat penghancur menjadi alat yang bermanfaat bagi umat manusia.
  •  
  • Selanjutnya, pilihan ketujuh adalah masuk area konflik secara tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga sebagai kepanjangan tangan suatu negara untuk melemahkan negara lain yang dikenal dengan istilah proxy war. Bagi negara yang kalah secara militer, ekonomi, geografi dan budaya belum tentu menjadi pecundang. Kesempatan menang perang masih terbuka jika pihak musuh terlebih dahulu dilemahkan karena adanya pemberontakan secara internal atau mengalami perlawanan senjata dari kelompok-kelompok tertentu yang bersebrangan paham. Dalam hal ini, kerjasama terselubung dapat diterapkan melalui bantuan pendanaan dan dukungan operasional kepada pihak oposisi dengan tujuan merubah tatanan politik atau melemahkan kekuasaan sasaran yang dijadikan target proxy. 

  • Terakhir adalah pilihan kedelapan. Masing-masing pihak bersikukuh dengan klaim-nya masing-masing tetapi tetap menahan diri untuk tidak memulai penyerangan mengingat adanya persahabatan yang terbina dan kepentingan yang jauh lebih besar. Dalam kondisi ini berlaku konsep "Anjing saling menggonggong tapi tidak menggigit". Jika gonggongan melemah, pihak lain akan semakin mencoba masuk wilayah yang disengketakan. Jika patroli melemah, maka pihak lain semakin meraja lela hadir di wilayah yang disengketakan. Perlu adanya klaim seolah sebagai peluit untuk mengingatkan adanya batas yang tidak boleh dilanggar. Klaim ini harus dituangkan dalam bentuk patroli, semakin tinggi intensitas patroli dianalogikan sebagai semakin keras gonggongan anjing agar pihak lain tidak memasuki wilayah teritorinya. Gonggongan hanyalah sekedar gertakan, tidak lebih! Masing-masing pihak harus menahan diri tidak menggigit untuk menjaga kepentingan yang lebih besar tidak terganggu. Karenanya, himbauan untuk tunduk pada  code of conduct tata perilaku di LCS yang sesuai UNCLOS 1982 harus menjadi kampanye Indonesia untuk selalu digaungkan kepada China dengan memanfaatkan  peran ASEAN dan organisasi internasional lainnya dalam membentuk budaya malu yang adalah faktor pemaksa moral ganti ketiadaan power polisional sebagai faktor pemaksa berperilaku sesuai norma.

  • Choosing for Alternatives
  • Dari serangkaian pilihan di atas, Indonesia dan China tidak memiliki musuh bersama berbasis ideologi sehingga dengan sendirinya pilihan pertama gugur yaitu adanya ikatan pemersatu berbasis ideologi yang sama untuk menyatukan kekuatan menghadapi musuh bersama yang mengancam. Jelas-jelas ideologi China dan Indonesia beda dan ancaman bersama nihil.

  • Pilhan kedua memisahkan diri untuk menghindari konflik alias melakukan pengaturan wilayah tidak ada hubungannya dengan masalah, hal ini mengingat wilayah yang diperebutkan statusnya sudah jelas. Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan China sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 dan kemudian dipertegas oleh Rulling Tribunal UNCLOS tahun 2016 sehingga tidak perlu lagi ada kompromi untuk kembali melakukan tata ulang.

  • Demikian halnya dengan pilihan ketiga yaitu pilihan perang jika yakin akan menang. Pilihan dimaksud gugur dengan sendirinya mengingat secara militer dan ekonomi China bukan tandingan Indonesia. Tetapi pilihan keempat-pun yaitu berkompromi untuk tidak melanjutkan perang tetap gugur karena realitasnya China dan Indonesia belum pada posisi deklarasi perang. Indonesia tidak berada pada posisi meminta damai karena kalah perang! Selanjutnya pilihan kelima yaitu mengelola konflik dengan ancaman nuklir tidak direkomendasikan karena Indonesia tidak memiliki senjata nuklir untuk menggertak pihak lawan.
  •  
  • Adapun pilihan keenam yaitu masuk area konflik secara tidak langsung menggunakan pihak ketiga untuk melemahkan musuh melalui  konsep proxy war akan sangat membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membina dan mendanai adanya kelompok yang terorganisir secara internasional. Di tengah keterbatasan ekonomi Ondonesia dan soliditas keamanan dalam negeri China maka membiayai pihak ketiga untuk memperlemah kekuatan China merupakan pilihan yang konyol.  

  • Pilihan ketujuh adalah pilihan yang paling ideal tapi paling tidak logis di tengah dinamika internasional yang memberlakukan motto "Si vis pacem para bellum".
  •  
  •  Tersisa pilihan kedelapan sebagai pilihan yang paling logis diperhadapkan dengan perimbangan ancaman, tantangan, kekuatan dan kelemahan yang dihadapi masing-masing negara di tengah kuatnya pengaruh opini publik internasional dalam menyoroti isu-isu global. Pilihan kedelapan adalah yang paling mungkin dilakukan secara berkelanjutan dan berdampak positif. Pilihan kedelapan ini sebagai gambaran demokrasi, memiliki perbedaan dan pertentangan kepentingan namun masing-masing pihak tetap tunduk pada tata cara pergaulan internasional yang harus dijaga bersama "saling mengonggong tapi tidak menggigit" sebagai wujud toleransi di tengah perbedaan. Pada kesempatan ini terbuka peluang bagi Indonesia untuk meraih simpati dukungan publik internasional seperti keberadaan IGO (International Governmental Organization), NGO (Non Governmental Organization), dan individu sebagai pemerhati internasional serta MNCs (Multi nation Corporations) untuk digerakkan mendukung Indonesia dalam mengelola konflik.

  • Salah satu program yang sedang digagas Penulis adalah hendak memberdayakan nelayan Natuna untuk lebih berkemampuan mengeksplorasi laut secara terukur dengan bantuan permodalan dan akses tata niaga perikanan secara lebih mendunia. How to manage the problem adalah pilihan yang paling logis daripada menjawab how to solve the problem.  Karenanya diperlukan ide dan terobosan kreatif untuk menjadikan individu, IGO/NGO dan MNCs pada posisi mendukung Indonesia dalam menghadapi ancaman konflik LCS. Dalam hal ini, ada keinginan Penulis untuk menghadirkan sebanyak mungkin nelayan lokal hadir melaut dan memperoleh kesejahteraan di area yang disengketakan. Diyakini akan sangat sulit untuk merealisasikan gagasan di tengah keterbatasan dana dan kondisi sosio ekonomi nelayan lokal. Namun, kembali pada konteks yang digagas dalam tulisan ini, sebagai antitesis "Manusian pada dasarnya Jahat" adalah "Manusia pada dasarnya Baik". Hidup adalah pilihan dan untuk menghidupkan suatu kehidupan yang lebih bermakna harus diyakini bahwa secara kolektif manusia memiliki kewajiban bersama untuk saling berbagi. Ada kebutuhan dasar manusia yang dapat dijadikan dasar motivasi untuk saling berbagi, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Jika kita dapat menggugah kesadaran kolektif tentang adanya program yang mulia, Penulis yakin akan mampu melibatkan IGO/NGO dan MNCs untuk bersama memperjuangkan hak-hak Indonesia dalam menghadapi ancaman konflik LCS terhadap kedaulatan Indonesia. Dalam hal ini yang penting ada program yang diyakini baik untuk membuktikan pada dasarnya manusia baik. Program dimaksud tertuang dalam sub judul rekomendasi di bawah ini.

  • Rekomendasi
  • Dalam menghadapi ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia, diperlukan arah kebijakan, strategi, program dan aktor-aktor yang dapat menjadi pendukung kerja secara berkelanjutan. Arah kebijakan jelas, Indonesia harus mempertahankan NKRI, berati juga mempertahankan wilayah teritori yang diklaim China sejengkalpun tidak lepas dari genggaman karena ada dasar hukumnya dan Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum maka Indonesia harus menghindari perang karena perang tidak mencerminkan tata atur.
  • Selanjutnya arah kebijakan harus diimplementasikan kepada strategi. Terdapat empat kebijakan  strategis yang diambil Jokowi dalam mensikapi konflik Laut China Selatan, yaitu pertama secara geopolitik Indonesia menerapkan doktrin sebagai poros maritim dunia. Kedua untuk menjaga pertahanan dan keamanan diperlukan peningkatan anggaran untuk menambah dan mengganti alat utama sistem pertahanan. Ketiga, solusi konflik dilakukan melalui pendekatan hukum dan diplomasi. Keempat, pendekatan kerja sama yaitu melakukan komunikasi dan koordinasi untuk memperbanyak kerjasama bidang ekonomi di kawasan LCS dengan tujuan bahwa terbinanya persahabatan akan mengurangi tensi konflik. Dari keempat strategi tersebut, rekomendasi difokuskan pada upaya menjaga keamanan melalui menjadikan nelayan sebagai bagian milisi dalam perspektif alat utama sistem pertahanan adalah sumber daya manusianya sendiri dengan dukungan alat produksi sebagai bagian sistem pertahanan dan keamanan (bagian kedua dari empat kebijakan strategi Jokowi)

  • Kaitan dengan strategi diusulkan skematik peran negara dan aktor non-negara dalam gambar berikut:
  • Gambar 1
  • Skematik Peran Negara dan Non-Negara dalam Pengelolaan Konflik

  • Sumber: Diolah
  • Penjelasan gambar: 
  • Terdapat 4 aktor yang berpengaruh dalam mewarnai hubungan internasional antar negara. Keempat aktor tersebut adalah negara, perusahaan multinasional, organisasi internasional, dan individu. Diharapkan peran dari masing-masing aktor dalam menghadapi ancaman konflik China di LCS adalah sebagai berikut:

  • Aktor negara. Negara sebaiknya menghindari head-to-head kekuatan bersenjata. Kedepankan Bakamla RI untuk mensikapi permasalahan pelanggaran batas dan illegal fishing. Kehadiran TNI AL di wilayah konflik hanya sebatas menunjukan eksistensi kehadiran negara untuk mempertegas klaim.  Redam konflik melalui peningkatan kerjasama ekonomi dan budaya sehingga terbentuk sikap saling menghargai yang dengan sendirinya berfungsi sebagai  cooling down system atau penurun tensi ketegangan.
  •  
  • Aktor Perusahaan multinasional atau Multi National Corporations (MNCs). Aktor MNCs seyognyanya digandeng untuk berinvestasi melakukan eksplorasi di area yang disengketakan dengan tujuan selain pemanfaatan ekonomi, juga sebagai wujud penegasan de jure dan pengakuan internasional terhadap klaim wilayah.

  • Aktor Organisasi Internasional. Aktor organisasi internasional baik yang bersifat pemerintahan (IGO: International Government Organizatiaon) maupun non-pemerintahan (NGO: Non-Governmental Organization) perlu digandeng untuk lebih menyuarakan kepentingan Indonesia. Penguatan kerjasama dengan organisasi-organisasi tersebut diharapkan memunculkan dukungan nyata terhadap posisi Indonesia versus China di Laut Natuna Utara.

  • Aktor individu. Aktor individu adalah keberadaan individu-individu yang berkorelasi positif berinteraksi dan mempengaruhi hubungan internasional yang berdampak dalam pengambilan kebijakan atau setidaknya terjadi komunikasi lintas negara antar warga negara yang berbeda.

  • Dalam kaitan program diusulkan adanya pengadaan kapal nelayan yang secara signifikan dapat mendorong sebanyak mungkin nelayan melaut di zona yang disengketakan. Adapun yang menjadi alasan pengusulan pengadaan kapal adalah beranjak pada fakta sedikitnya nelayan Indonesia yang melaut di daerah yang disengketakan. Sementara hasil pengamatan dari citra satelit kementerian kelautan dan perikanan terekam trafik illegal fishing di zona yang disengketakan oleh China dalam jumlah yang cukup besar. Dibalik praktek illegal fishing dan pelanggaran batas wilayah tersebut, Penulis meyakini ada program sistematis dari China untuk penguasaan wilayah secara de facto untuk mendukung de jure keberadaan nine dash line. Hadirnya kelompok nelayan dan petugas coast-guard China adalah ancaman nyata adanya praktek positive occupation sebagai langkah sistematis penguasaan wilayah yang dilakukan perlahan, secara berkelanjutan. Semakin bertahan lama, semakin berdampak pada pencapaian tujuan. Kasus-kasus penyerobotan tanah misalnya, seringkali diawali hadirnya gubuk liar yang diabaikan sehingga seolah menjadi lampu hijau untuk dikembangkan menjadi bangunan setengah permanen. Lama-kelamaan jika berdiri bangunan permanen pada gilirannya penertiban terhadap bangunan tersebut akan menjadi kendala karena alasan yang bersifat pembenaran sehingga rentan terjadi bentrok fisik.

  • Terhadap praktek  positive occupation di atas, terdapat 3 titik lemah Indonesia dalam upaya kontra. Pertama minimnya intesitas patroli karena permasalahan biaya operasional bahan bakar minyak. Kedua, keengganan melaut nelayan lokal di wilayah sengketa karena pengalaman dan beredarnya info akan diusir oleh para nelayan dan coast guard China. Kondisi ini  bersifat akumulatif dengan hambatan spesifikasi mesin kapal, bahan bakar minyak dan permasalahan pengawetan serta pemasaran ikan sehingga melaut di wilayah sengketa tidak menjadi pilihan. Ketiga belum ada program perpolisian masyarakat yang diarahkan pada penguatan kesejahteraan nelayan untuk menjadikan wilayah terluar (khususnya Natuna sebagai basis deteksi pelanggaran batas dan illegal fishing) yang signifikan sebagai kontra positif occupation China.

  • Berangkat dari ketiga permasalahan tersebut, sangat direkomendasikan untuk segera merealisasikan proyek perubahan pengadaan kapal dan 'social enginering' masyarakat Natuna dalam wujud membentuk milisi nelayan yang berkemampuan hadir di zona yang disengketakan sebagai bentuk contra positive occupation China yang juga berdampak pada peningkatan ekonomi dan terbinanya ketahanan nasional Indonesia.
  • Adapun tugas dan tanggung jawab di atas seyognyanya dinakhodai oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang memiliki visi dan misi kebangsaan, pendidikan dan sosial kemasyarakatan untuk melakukan tugas antara lain sbb:
  • Pertama penentuan sampel selektif prioritas desa nelayan yang akan dibangun. Umumnya nelayan lokal Natuna bekerja sebagai nelayan tradisional dengan jenis berat kapal di seputaran 5 gross ton sehingga dengan sendirinya pengambilan sampel tidak melibatkan kelompok nelayan dalam jumlah yang besar, tetapi lebih diprioritaskan pada kelompok-kelompok kecil sebagai pilot project karena akan terkait dengan upaya pengadaan kapal berbiaya besar dan untuk memudahkan pemantauan keberlanjutan program yang berhasil guna.

  • Kedua membentuk pola pikir wawasan kebangsaan dan pembentukan kareakter serta budaya profesionalisme nelayan tangguh. Pola pikir masyarakat nelayan di Natuna terbentuk oleh kondisi sosial ekonomi yang relatif miskin sehingga membentuk kebiasaan untuk melaut di sekitaran 12 mil laut dan sudah berada pada zona nyaman untuk melaut tidak lebih dari satu minggu, cepat puas dan kurang memiliki perencanaan untuk mengelola usaha secara lebih professional.

  • Ketiga adalah mewadahi keberadaan proyek perubahan (ada wadah ada karya) terutama menjadi konsultan untuk menghadirkan kebaruan design kapal, mesin, cool storage serta peralatan navigasi dan komunikasi yang lebih modern, nyaman lingkungan namun hemat ernegi serta memiliki standar keamanan dan kelayakan modernitas alat tangkap ikan. Lembaga ini juga diharapkan dapat menjadi jembatan kerjasama dengan stake holder terkait ke pencarian dana dan pengadaan kapal serta pelatihan pengoperasian serta perbaikan kapal.

  • Keempat berperan aktif memberikan asistensi dan pendampingan usaha serta memastikan keberadaan jalur logistik air bersih, BBM dan operasionalisasi program secara terukur dan berkelanjutan. Dalam hal ini peran aktif pemerintah, pengusaha, dan akademisi juga lembaga donor (NGO/IGO) sangat diperlukan untuk sinergi membentuk iklim usaha perikanan Natuna yang lebih professional dan berkualitas.

  • Kelima adalah menjadi mitra kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan RI guna mensukseskan program-program yang sedang berjalan antara lain program Kalaju/Kalamo (Kampung Nelayan Maju/Kampung Nelayan Modern) di desa Sendanau Natuna.

  • Keenam adalah menjadi mitra kerja Pemkab/Pemda, Polri dan Bakamla untuk menjadikan para nelayan yang dibina sebagai mata dan telinga kegiatan intelijen dalam upaya deteksi dini permasalahan keamanan di laut. Seyognyanya karena nelayan yang akan melaut di zona sengketa akan berhadapan dengan nelayan asing, khususnya kelompok nelayan China dan para pengawalnya (coast guard China), selain perlu diadakan pelatihan navigasi juga setiap kapal diperlengkapi dengan alat navigasi yang modern plus alat komunikasi yang satu sama lain terkoneksi dengan kapal patroli dan pusat komando penjaga Pantai Indonesia. Hal ini untuk mengantisipasi jika terjadi gangguan dan kecelakaan yang diakibatkan oleh hal-hal yang tidak diinginkan. mala ada persiapan langkah untuk memberi perasaan aman dan nyaman bagi nelayan Indonesia untuk mendapatkan pertolongan pada waktunya

  • Alhasil sebagai dampak yang diharapkan adalah meningkatkan konektivitas orang dan barang serta dinamika kehidupan maritim yang bersifat progresif bagi pengembangan perikanan tangkap, pengolahan dan pemasaran perikanan yang berdampak dan  berkelanjutan di Natuna yang selanjutnya dapat dijadikan role model pembangunan masyarakat nelayan di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Smoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun