Ada masa ketika dunia begitu riuh, tapi hati terasa sunyi. Lalu, di tengah gegap gempita itu, kita bertanya pelan pada diri sendiri:
"Masih waraskah hati ini?"
Pertanyaan sederhana, tapi menampar. Sejatinya, kewarasan bukan hanya milik pikiran, melainkan milik nurani, mereka yang mengedepankan empati kemanusiaannya.
Sang Raja Jasad
Untuk Tuhannya. Hati yang masih bisa damai saat sujud, bukan khusyuk saat notifikasi media sosial berbunyi.
Baginda Nabi SAW pernah berujar:
“Dalam diri manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, itu adalah hati.”
Betapa agungnya sabda itu. Seolah beliau ingin mengingatkan: segala urusan manusia bermuara pada satu titik — kewarasan hati. Ini bukan penjelasan agungnya hadis (mensarahnya) Baginda Nabi SAW melainkan hanya refleksi diri penulis pribadi.
Hari ini, kita hidup di zaman yang terburu-buru, di mana waktu mengejar kita tanpa ampun. Tubuh bekerja bagai kuda, pikiran sibuk melompat dari satu beban ke beban lain, sementara hati tertinggal jauh di belakang.
Kita bisa membeli banyak hal: rumah, kendaraan, bahkan pengakuan sosial. Tapi satu hal yang sering gagal kita dapatkan: damai dan ketenangan jiwa.
Kaca Mata Batin
Menjaga kewarasan hati bukan berarti menjauh dari dunia, tapi menata cara kita memandang dunia. Ia seperti kaca bening , bila terlalu banyak debu ambisi dan nafsu menempel, pantulannya menjadi buram.