Belakangan, isu tentang feodalisme pesantren kembali jadi sorotan publik. Ada yang merasa geli, ada yang menganggapnya lucu, ada pula yang serius menuding bahwa penghormatan santri kepada kiai adalah bentuk ketundukan yang tidak sehat.Â
Narasi-narasi miring di atas seolah-olah pesantren adalah ruang yang beku, hirarkis, dan anti kemanusiaan. Padahal, yang berbicara seperti itu, sering kali tidak pernah merasakan bagaimana sejuknya udara pagi di pesantren, tidak tahu bagaimana seorang kiai menahan lapar demi memberi makan santrinya, atau bagaimana para santri mencuci piring sambil menghafal bait alfiyah.Â
Dunia pesantren memang memiliki bahasanya sendiri---bahasa adab, bukan adab-adaban. Bukan bahasa yang mengadopsi budaya populer dari luar, tapi santri selalu relevan untuk menjawab persoalan zaman.
Adab, Bukan Feodal
Di Jepang, Korea, atau Tiongkok menundukkan kepala di hadapan profesor dan gurunya, orang menyebutnya "budaya luhur". Tapi di ngeri ini santri mencium tangan kiai, langsung dituding "feodal".Â
Sejatinya , seorang kiai itu lebih dari sekadar profesor: ia menghafal kitab hadis induk, menamatkan tafsir induk, dan menelusuri khazanah turats dengan mata hati yang jernih. Laku mereka begitu hati-hati dan penuh hikamh.
Hamka pernah menulis bahwa inti dari tasawuf modern adalah kesadaran batin yang terwujud dalam perbuatan sosial. Maka, ketika santri menghormati kiai, itu bukan ritual kosong, melainkan latihan spiritual untuk menundukkan ego. Menghormati guru adalah bentuk kesadaran: bahwa ilmu tidak lahir dari kesombongan, melainkan dari kerendahan hati.
Kiai dan santri turun ke akar rumput, menyelesaikan persoalan masyarakat miskin, merangkul yang kecil dan tersisih. Mereka bukan raja, melainkan pelayan kemanusiaan. Kalau ini yang disebut feodal, maka barangkali definisi kita tentang "feodalisme" sudah sangat salah kaprah.
Feodalisme Sebenarnya
Yang feodal itu bukan para santri yang mencium tangan kiai. Yang feodal itu para elit yang tunduk pada mafia, mencium tangan koruptor, dan memuja mereka sebagai mentor politik.Â
Mereka yang menjadikan kebusukan sebagai sistem, menormalisasi dosa menjadi strategi, dan menjual nurani demi jabatan. Di negeri ini, kadang yang disebut "pahlawan" justru mereka yang lihai menipu.Â
Sementara yang benar-benar berjuang dari pinggiran, dari surau dan langgar kecil, tidak masuk kamera. Inilah ironi modern: penghormatan kepada orang suci dianggap kuno, sementara pengagungan pada pencuri dianggap mentor dan kiblat hidup.