Pada hijaunya lapangan di Stadion itu, menggelora kebanggaan kita sebagai bangsa. Kenapa yang tersisa hanyalah kecewa?
Ada yang berbeda dari wajah sepak bola kita saat ini. Ya, kekalahan itu beruntun.
Bukan tawa kemenangan, tapi ekspresi kecewa yang tertahan. Saya menulis ini bukan sebagai pengamat teknis, bukan pula komentator yang hafal statistik, melainkan sebagai penggemar yang sudah terlalu sering dibuat patah hati oleh fenomena sepak bola tanah air.
Kita semua tahu, lolos ke Piala Dunia adalah mimpi panjang bangsa ini. Setiap kali ada kesempatan, eh harapan itu buru-buru terkubur.Â
Anehnya saat harus menelan pil pahit: permainan yang kacau, strategi yang tak jelas, dan performa yang kehilangan ruh bermain. Ada semacam kelelahan kolektif yang terasa. Lelah secara bersamaan baik dari para pemain maupun para pendukungnya.
Energi dan Mentalitas TimnasÂ
Timnas kita seperti kehilangan bara. Bukan soal stamina semata, tapi mentalitasnya semakin rapuh.Â
Padahal sepak bola tak hanya soal kaki dan bola, tapi juga soal semangat, harga diri, dan kebanggaan. Saya menyaksikan pertandingan terakhir dengan dada sesak, bukan karena kalah, tapi menyaksikan punggawa kita tanpa gairah.Â
Kelelahan ini bukan datang tiba-tiba. Adanya ekspektasi yang tak realistis menumpuk jadi satu. Di tengah tekanan itu, pergantian pelatih justru dilakukan dengan tergesa.Â
Patrick Kluivert datang, membawa nama besar tapi tanpa waktu cukup untuk memahami kultur sepak bola kita. Naasnya, kepergian Shin Tae-yong terasa seperti kehilangan sosok ayah untuk punggawa Timnas.
Aroma Politik Sepak Bola Kita
Politik di negeri sudah terlalu jauh masuk ke kamar ganti sepak bola. Pergantian pelatih yang terasa lebih "politis" daripada "strategis"menyisakan tanda tanya besar.Â
Patrick Kluivert jadi sorotan, karena konyolnya ia membawa timnas dalam kekalahan melawan Arab dan Irak sekaligus. Sementara itu, publik mulai rindu pada sosok Shin Tae-yong yang dulu dianggap keras tapi justru menanamkan disiplin dan semangat juang.
Ketika Mafia Bola Turut HadirÂ
Kita sering mendengar istilah mafia bola, tapi sering kali hanya sebatas rumor. Kini aroma itu makin jelas.Â
Kita semua akhirnya bertanya-tanya, mencurigai elit negri ini sendiri. Petinggi berdasi itu yang dalam sebuah lagu disematkan dengan nama "Tikus Berdasi".Â
Dari penentuan pemain, kontrak pelatih, sampai jadwal pertandingan, semuanya bisa diatur. Bukan hanya uang yang bermain, tapi juga ego dan kekuasaan.Â
mereka lupa rumput hijau stadion itu tempat pelarian bagi rakyat kecil yang ingin sejenak merasa bangga menjadi orang Indonesia. Tapi semua itu hancur perlahan karena kerakusan segelintir orang yang menjadikan sepak bola kasur empuk mafia.
Kita Menolak Lupa
Sebagai penggemar, saya tidak ingin hanya mengeluh. Kekecewaan ini harus menjadi panggilan sadar: bahwa sepak bola bukan hanya tontonan, tapi cerminan moral bangsa.
Apabila Mafia bola masih dibiarkan merajalela, maka kita sedang mengajarkan generasi muda bahwa ketidakjujuran adalah jalan menuju sukses.
Tuntut transparansi! Mari kita jaga harapan. Kembalikan ruh sepak bola yang sejati, jujur, berani, dan cermin mental bangsa membara.
Bersihkan sepak bola kita dari aroma bau busuk mafia. Lalu benahi pula mentalitas kita sebagai bangsa yang pernah bejuang dari kungkungan penjajahan berabad-abad lamanya.Â
Jangan-jangan kita itu nyaman dijajah, dari ekonomi asing hingga sepak bola juga harus dintervensi asing pula? Semoga gak, anggap saja ini ucapan sampah dari saya pribadi.
Salam.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI