Pada hijaunya lapangan di Stadion itu, menggelora kebanggaan kita sebagai bangsa. Kenapa yang tersisa hanyalah kecewa?
Ada yang berbeda dari wajah sepak bola kita saat ini. Ya, kekalahan itu beruntun.
Bukan tawa kemenangan, tapi ekspresi kecewa yang tertahan. Saya menulis ini bukan sebagai pengamat teknis, bukan pula komentator yang hafal statistik, melainkan sebagai penggemar yang sudah terlalu sering dibuat patah hati oleh fenomena sepak bola tanah air.
Kita semua tahu, lolos ke Piala Dunia adalah mimpi panjang bangsa ini. Setiap kali ada kesempatan, eh harapan itu buru-buru terkubur.Â
Anehnya saat harus menelan pil pahit: permainan yang kacau, strategi yang tak jelas, dan performa yang kehilangan ruh bermain. Ada semacam kelelahan kolektif yang terasa. Lelah secara bersamaan baik dari para pemain maupun para pendukungnya.
Energi dan Mentalitas TimnasÂ
Timnas kita seperti kehilangan bara. Bukan soal stamina semata, tapi mentalitasnya semakin rapuh.Â
Padahal sepak bola tak hanya soal kaki dan bola, tapi juga soal semangat, harga diri, dan kebanggaan. Saya menyaksikan pertandingan terakhir dengan dada sesak, bukan karena kalah, tapi menyaksikan punggawa kita tanpa gairah.Â
Kelelahan ini bukan datang tiba-tiba. Adanya ekspektasi yang tak realistis menumpuk jadi satu. Di tengah tekanan itu, pergantian pelatih justru dilakukan dengan tergesa.Â
Patrick Kluivert datang, membawa nama besar tapi tanpa waktu cukup untuk memahami kultur sepak bola kita. Naasnya, kepergian Shin Tae-yong terasa seperti kehilangan sosok ayah untuk punggawa Timnas.
Aroma Politik Sepak Bola Kita
Politik di negeri sudah terlalu jauh masuk ke kamar ganti sepak bola. Pergantian pelatih yang terasa lebih "politis" daripada "strategis"menyisakan tanda tanya besar.Â