Lelaki itu diam sejenak. Hening. Mengingat perjuangan orangtua memang selalu membuat hati berdebar. Kadang tidak kuat mulut ini mengucap segala perih mereka mengantarkan anak pada satu titik; sukses.
"...mungkin yang membuat gaji segitu cukup adalah kesungguhan bapak dan ibu mendekat dengan Tuhannya. Beliau berdua sangat kuat tahajud. Tidak bolong dhuha. Tidak absen puasa senin kamis"
Selain dirinya yang jadi dokter, adik-adiknya juga sukses di bidang masing-masing. Ada yang di peternakan, dua orang. Di bea cukai, dan ada yang mengikuti jejak sang ayah; guru.
Ya, ya... rizki memang bukan sekedar yang kasat mata. Ada banyak hal yang justru ditentukan bagaimana kedekatan hamba pada pencipta.
Betapa banyak yang sudah membuktikan. Hitungan Allah memang sering tidak masuk akal. Tapi begitulah kuasaNya berlaku.
Sayangnya kita justru sering angkuh dengan terus menghitung angka-angka yang berderet. Jumlah yang seolah tidak boleh terkurangi dengan hak orang lain.
Kerap kesombongan atas kecerdasan ekonomi sampai membuat kita lalai bahwa segala teori bisa kalah dengan kehendak Yang Kuasa.
Setiap anak memang sudah ada rizkinya masing-masing. Tanpa mengurangi jatah orangtua. Jadi salah kaprah kalau ada yang menganggap kehadiran anak akan menjadi beban. Yang ada, rizki semakin bertambah seiring kehadiran anak. Bahkan anak sendiri merupakan karunia yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Aku jadi teringat cerita bapak. Beliau punya kenalan yang bekerja membuat mebel.
Saat itu anak-anaknya masih sekolah. Tentu saja kebutuhannya lumayan banyak. Dalam hitungan kasat mata bodoh manusia, penghasilannya kurang untuk mengantarkan anak sekolah tinggi. Apalagi pesanan mebel juga tidak menentu.
Tapi siap sangka ketika anaknya sudah masuk, pesanan itu mulai mengalir. Lebih banyak dibanding sebelumnya. Hal ini memungkinkan beliau mengirim uang yang cukup untuk biaya anaknya di luar kota. Bertahun-tahun hal itu terjadi.