Mohon tunggu...
Nur Alamsyah
Nur Alamsyah Mohon Tunggu... -

belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Mengatur Waktu dari Sang Adib Peraih Nobel

6 November 2010   16:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:48 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_317216" align="alignleft" width="300" caption="Naguib Mahfouz (google.com)"][/caption] JIKA waktu sedemikian penting bagi manusia, lalu apa yang sudah diperbuat di waktu luangnya? Semua punya cara sendiri, tapi adakah waktu yang dilaluinya itu membuahkan manfaat atau sebaliknya hilang sia-sia? Hidup adalah sehimpun waktu yang sambung-menyambung dan terus maju. Sedikit lengah, apalagi menyia-nyiakannya, waktu akan menghukum kita. Tak kuat menahan hukuman akibat ulah sendiri, kita pun cuma bisa menyesali kenapa segalanya berjalan dengan cepat. Kasep, mungkin ini istilah yang cocok bagi siapa pun yang meratapi kenapa dulu waktu luangnya lewat tanpa makna. Daripada kasep, saya ingin berbagi cerita tentang sosok yang sangat disiplin mengatur waktunya. Sengaja saya menjadikan Naguib Mahfouz sebagai contoh dalam hal ini. Ia adalah sastrawan besar Mesir yang namanya disebut dengan takzim. Ia menjadi tokoh besar karena karya-karyanya. Pada puncaknya adalah saat Mahfouz dihadiahi Nobel Sastra pada 1988. Untuk itu saya tertarik belajar dari Mahfouz bagaimana cara dia mengatur waktunya. Dalam artikel yang ditulis Mohammed An-Naghimasy di situs www.awwsat.com edisi 8 Januari 2010, saya mafhum dari uraian singkat itu bagaimana Sang Adib dengan disiplin memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Meskipun separoh harinya digunakan untuk bekerja sebagai pegawai negeri, tapi dengan kedisiplinan waktunya, Mahfouz tetap eksis menghasilkan karya-karya bermutu. Kedisiplinan itu pernah diceritakan oleh Jamal El-Gheithani, kawan dekat Mahfouz. Pada saat El-Gheithani hendak menjemput Mahfouz dengan mobil karena akan menghadiri suatu acara, Mahfouz berpesan, “Jam enam kurang lima menit aku tunggu. Lalu kita berangkat dari rumah jam enam tepat!” El-Gheithani paham kebiasaan Mahfouz yang sangat disiplin. Bahkan dia hapal betul kebiasaan Mahfouz saat berkumpul bersama sahabat-sahabatnya di kafe yang cuma menyediakan waktunya selama dua jam. “Dua jam tepat dia berada di kafe!” kata El-Ghaithani. Lalu seperti biasa Mahfouz langsung pulang ke rumah. Kita tahu, Mahfouz produktif menghasilkan karya. Sejumlah novel dan cerpen telah lahir dari tangannya. Tentu kita bertanya-tanya bagaimana Mahfouz membagi waktunya untuk menulis—sebuah aktivitas yang tak bisa lepas dari kehidupannya. Artikel itu menjelaskan bahwa cuma tiga jam Mahfouz menulis, dan setelah lewat tiga jam dia langsung berhenti, menyetop penanya bekerja. Bahkan saking disiplinnya ada yang mengatakan, Mahfouz tidak akan menyempurnakan antara “jar dan majrur” jika waktu yang sedianya tiga jam untuk menulis telah habis. Mengutip artikel itu, secara umum dikatakan bahwa Mahfouz membagi waktunya demikian: Sabtu digunakan untuk bersama-sama keluarganya; Ahad hingga Rabu digunakan untuk menulis selama tiga jam, serta dipakai untuk membaca; Kamis dan Jumat adalah waktu untuk menemui teman-temannya, mengunjungi kerabatnya, dan waktu untuk istirahat. Gambaran ini menjelaskan bahwa Mahfouz tidak semata-mata tenggelam dan asyik dengan dunianya sendiri yaitu membaca dan menulis. Ia juga memperhatikan bagaimana urusan keluarga dan interaksinya dengan orang lain. Ia juga tak melupakan kondisi fisiknya dengan memberikan jatah istirahat yang cukup. Bahkan pernah beberapa bulan selama musim gugur Mahfouz sempat berhenti berkarya karena ingin menikmati liburan bersama keluarga. Sampai usia tuanya, Mahfouz tetap konsisten tak mau melewatkan waktunya hilang sia-sia. Pada saat daya pengelihatannya melemah, dia selalu meminta sekretarisnya untuk membacakan koran di hadapannya. Tentang hal ini ada cerita menarik. Mahfouz pernah meminjamkan kacamatanya yang tebal dan besar itu kepada si sekretaris saat lupa membawa kacamata. Tampaknya Mahfouz tak ingin waktunya sia-sia hanya gara-gara kacamata. Maka si sekretaris tetap melanjutkan membaca koran di hadapan Mahfouz dengan kacamata pinjaman. Demikian kisah Mahfouz yang sangat disiplin dan menghargai waktu. Kisah ini saya tulis untuk nasehat diri saya. Semoga saya bisa meneladaninya.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun