Mohon tunggu...
Alam Ahmad
Alam Ahmad Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Humaniora yang berprofesi sebagai pustakawan sekaligus Barista.

Sastra dan perjalanan; Seorang penelisik takdir Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jual Saja Aku!

11 September 2018   13:53 Diperbarui: 11 September 2018   14:04 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam menunjukkan pukul 03:00 pagi, kakek tua itu sudah rela menjenggukku. Dengan ditemani tongkat kesayanganya dan batuk yang seakan telah ditimer setiap 5 detik sekali berdering di tenggorokannya, ia berhasil mengalahkan para pemuda tangguh kampung yang masih di penjara oleh selimut dan mimpi mereka.

          Ketika ia menyapaku, sekelebat tercium bau khas dirinya, yaitu bau koyo dan balsam yang menempel setia di tubuhnya. Lalu kubalas sapaanya dan aku tersenyum selebar mungkin untuknya. Dia adalah sahabat terbaikku, kuhitung dalam memoriku dia sudah menghabiskan oksigen di dunia ini selama 72 tahun dan konyolnya lagi kita sebaya, namun aku masih awet muda, tak seperti dia yang sudah bau tanah.

          "Nur, mungkin setelah ini 'uhukk uhukkk' kau akan merindukanku." kata Burhan kepadaku.

          "Oi Burhan, ngomong opo kowe iki? Ojo ngomong seng aneh-aneh lah." (Oi Burhan, ngomong apa kamu ini? Jangan ngomong yang aneh-aneh lah) balasku dengan nada tinggi.

          "Aku wes pegel Nur, aku wes tuwo, wayahku moleh" (Aku sudah capek Nur, aku sudah tua, waktuku untuk pulang) "Uhukk Uhukk".

          "Uwes uwes, wes subuh ndang ditutuk bedug e ndang diadzani" (Udah udah, udah subuh buruan dipukul bedugnya buruan adzan)  kataku mencairkan suasana atas pemikirannya yang menyebalkan itu.

            Akhirnya dengan sisa-sisa semangatnya ia menuruti kata-kataku tadi. Setelah adzan berkumandang datanglah Mbah Usup, sahabat karibku yang lain, sayangnya Mbah Usup rumahnya sangat jauh sehingga ia sangat jarang sekali menjenggukku. Setelah melakukan shalat qobliyah subuh, kita berjamaah, ironisnya hanya Mbah Burhan dan Mbah Usup yang berjamaah shalat subuh, tak ada satupun pemuda kampung yang ikut mengindahkan acara shalat subuh berjamaah disini.

          "Allaaaahu Akbar" Mbah Burhan takbir dengan khidmad sebagai imam.

          "Allaaaahu Akbar" Lantas Mbah Usup mengikutinya sebagai ma'mum.

Rokaat pertama berjalan lancar sesuai rukun dan syarat dalam shalat, walaupun Mbah Burhan batuk-batuk setiap 5 detik sekali, bukan berarti shalat beliau batal. Dan hingga akhirnya di sujud terakhir Mbah Usup memutuskan untuk mengatakan "Subhanallah. . ." karena Mbah Burhan terlalu tuma'ninah dalam sujudnya.

15 menit berlalu dan Mbah Burhan masih saja dalam posisi sujud, Mbah Usup mulai resah. 20 menit berlalu sangat hening dan akhirnya Mbah Usup memutuskan untuk bangkit, bertasyahud akhir dan  mengakhiri acara shalat subuh berjamaah itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun