Mohon tunggu...
A.L.A.Indonesia
A.L.A.Indonesia Mohon Tunggu... Dosen, Peneliti, Petualang, Penonton Sepakbola, Motivator, Pengusaha HERBAL -

"Jika KOMPASIANER tak punya nyali menuliskan kebenaran, ia tak ubahnya manusia tanpa ruh. Ia seperti mayat-mayat hidup. Catat! Jika kita berjuang mungkin kita tidak selalu menang, tapi jika kita tidak berjuang sudah pasti kita kalah. http://blasze.tk/G9TFIJ

Selanjutnya

Tutup

Politik

In Memoriam Kampung Pulo, Ketika Nurani Pemimpin Sudah Terkubur

21 Agustus 2015   16:42 Diperbarui: 21 Agustus 2015   16:42 9068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="menagih janji kampanye jokowi-ahok (sumber detik.com)"][/caption]

Hingar-bingar pesta kemerdekaan RI yang ke-70 baru saja usai. Bahkan untuk pertamakalinya dalam sejarah, Jokowi mengundang warga sekitar untuk hadir dalam upacara yang “sakral” di Istana Negara. Bisa dibayangkan betapa bangganya warga kampung sekitar istana yang mendapat undangan khusus dari Jokowi. Jika sebelumnya hanya bisa menyaksikan "kesakralan" pengibaran bendera pusaka hanya melalui layar kaca, kini warga bisa menyaksikan langsung dan merasakan "kesakralannya".

Sayangnya, dibelahan Jakarta lainnya tepatnya di Kampung Pulo, Jakarta Timur terjadi rusuh massal yang menimbulkan korban luka. Bukan hanya luka secara fisik tapi lebih parah lagi luka psikis, luka di hati yang paling dalam. Jika sebelumnya mereka memiliki rumah sendiri, kini mereka menjadi penyewa alias kontrak. Bagi mereka masalah penggusuran Kampung Pulo yang dilakukan dengan kekerasan bukan lagi masalah ganti rugi tapi sudah menyangkut masalah harga diri.

Bagaimana tidak…?

Saat kampanye Pilgub 2012, Jokowi bersama AHOK menjanjikan pada warga miskin yang tinggal di kampung-kampung kumuh di Jakarta untuk diangkat derajatnya dengan memberi sertifikat tanah. Melahirkan Jakarta Baru. Blusukan Jokowi ke kampung-kampung kumuh di Jakarta sambil menebar janji kampanyenya direkam oleh media cetak, online dan elektronik. Saat kampanye Jokowi-AHOK berjanji tidak akan menggusur pemukiman kumuh bahkan akan mempermudah sertifikasi lahan untuk warga di perkampungan di Jakarta yang sudah menghuni lebih dari 20 tahun.

Untuk melawan lupa dan menyegarkan kembali ingatan terkait Pilgub 2012, mari kita buka kembali lembaran-lembaran saksi sejarah yang telah menjadi prasasti tentang janji-janji Jokowi-AHOK. Sekali lagi mari kita buka kembali lembaran janji Jokowi-AHOK yang berceceran.


“Tidak akan menggusur pemukiman kumuh bahkan akan mempermudah sertifikasi lahan untuk warga di perkampungan di Jakarta yang sudah menghuni lebih dari 20 tahun”

Dari seluruh janji Jokowi-AHOK boleh jadi janji “tidak akan menggusur pemukiman kumuh bahkan akan mempermudah sertifikasi lahan untuk warga di perkampungan di Jakarta yang sudah menghuni lebih dari 20 tahun” menjadi janji yang paling menarik bagi warga miskin yang tinggal dipemukiman kumuh. Terbukti saat Pilgub 2012, Jokowi-AHOK menang mutlak disemua pemukiman kumuh. Dan secara keseluruhan Jakarta Timur memberikan kemenangan terbesar bagi Jokowi-AHOK.

Kembali ke Kampung Pulo…

Kampung tersebut sudah ada sejak tahun 1930, artinya di tahun 2015 ini usianya sudah mencapai 85 tahun. Lebih tua dari usia NKRI yang baru menginjak 70 tahun. Artinya, Kampung Pulo layak mendapat sertifikat karena sudah lebih dari 20 tahun seperti yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye pilgub 2012. Karena usia Kampung Pulo sudah mencapai 85 tahun, sehingga sangat wajar jika warga yang tinggal di Kampung Pulo sudah beranak-pinak hingga 3 generasi berbeda. Mereka sudah ada sejak era penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, jaman kemerdekaan, era Orde Lama, Orde Baru dan kini era reformasi.

Kini nasib Kampung Pulo yang usianya lebih tua dari NKRI telah rata dengan tanah. Bukan untuk ditata seperti janji Jokowi-AHOK saat kampanye Pilgub 2012 tapi untuk dilenyapkan dari bantaran kali Ciliwung. Di hapus dari peta Jakarta. Kampung Pulo kini tinggal kenangan. Padahal konsep awalnya terkait normalisasi Kali Ciliwung, Kampung Pulo akan dijadikan model percontohan Kampung Susun, bukan untuk dilenyapkan seperti yang dilakukan AHOK.

Sekedar mengingatkan kembali, saat awal-awal menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur, Jokowi-AHOK gencar membangun kampung deret dan Kampung Pulo termasuk yang dijanjikan akan dibangun menjadi kampung deret. Sayangnya, bukannya menepati janjinya AHOK justru melukai hati warga Kampung Pulo. Sekali lagi, janji kampanye hanya sekedar janji.

Nurani AHOK sudah Terkubur?

Tulisan ini tidak bermaksud menolak penataan Kali Ciliwung untuk dilakukan normalisasi. Tulisan ini juga tidak bermaksud menolak relokasi warga Kampung Pulo, meskipun sesuai janji kampanyenya Jokowi-AHOK tidak akan melakukan penggusuran. Tapi cara AHOK yang melakukan penggusuran dengan kekerasan mengingatkan penulis pada cara-cara ORBA yang otoriter. Cara otoriter ORBA yang dulu kita lawan bersama melalui gerakan reformasi. Jika AHOK sekarang menggunakan cara-cara ORBA yang penuh kekerasan, lalu buat apa dulu kita melawan ORBA melalui gerakan reformasi?

Padahal di era reformasi, ada banyak contoh pemimpin yang sukses memindahkan warganya tanpa harus menggusur dengan cara kekerasan. Jokowi adalah ikonnya. Jokowi selalu sukses memindahkan warganya secara humanis. Memindahkan warga dengan senyuman di meja makan. Selain itu ada nama lain yang juga sukses memindahkan warganya tanpa harus menggusur untuk penataan kota seperti Walikota Surabaya Risma Triharini, Walikota Bandung Ridwan Kamil, Walikota Jogja dan Gubernur Jogja, Sultan Hamengkubuwono X. Mereka adalah contoh para pemimpin yang memiliki hati nurani. Pemimpin yang mampu memanusiakan manusia. Bukan memperlakukan manusia layaknya binatang ketika melakukan penataan kota.

Selain sukses memindahkan ribuan PKL di Solo secara damai, Jokowi juga sukses merayu warga Waduk Pluit untuk pindah ke rusun dengan diplomasi meja makan. Hasilnya, Waduk Pluit pun kini tertata rapi. Warga yang dipindahkan pun bisa tersenyum. Begitu juga dengan Walikota Bandung Ridwan Kamil yang sukses memindahkan ribuan PKL Bandung dengan damai.

Contoh yang lebih fenomenal lagi adalah kemampuan Risma memindahkan warga “Kampung Dolly”. Lalu kasus yang mirip dengan Kampung Pulo adalah relokasi warga bantaran Kali Code di Jogja. Bedanya di Kampung Pulo rusuh sedangkan di Kali Code berlangsung aman dan damai. Sekali lagi, disana hati nurani pemimpin yang bicara, bukan kekuasaan.

Bahkan gubernur-gubernur DKI Jakarta sebelumnya seperti Sutiyoso dan Ali Sadikin juga sukses melakukan relokasi warga dengan cara damai tanpa kerususuhan. Bang Yos sukses mengubah kampung lokalisasi Kramat Tunggak menjadi Islamic Center dengan damai.  Tak hanya itu Sutiyoso juga sukses mengubah kampung lokalisasi Boker menjadi GOR Ciracas tanpa rusuh. Terkait dengan penanganan banjir, Sutiyoso juga mampu merobohkan ratusan villa di Puncak Bogor tanpa ada kerusuhan. Selain Sutiyoso, gubernur DKI Jakarta yang juga sukses melakukan relokasi warga dengan damai adalah Ali Sadikin. Ggbernur paling fenomenal tersebut mampu berkomunikasi dengan baik dengan menggunakan tangan-tangan MUI terkait rencana megaproyek Senen dan Tanah Abang. Hasilnya, warga pun pindah tanpa ada kerusuhan sedikitpun.

Pertanyaannya, jika sudah banyak pemimpin Jakarta seperti Jokowi, Sutiyoso dan Ali Sadikin yang mampu merelokasi warganya dengan cara-cara humanis, mengapa AHOK memilih menggunakan cara otoriter dengan kekerasan. Mengapa AHOK lebih memilih menggunakan cara-cara ORBA yang sudah dikubur oleh gerakan reformasi. Mungkinkah hati nurani AHOK telah terkubur dalam-dalam? Entahlah, mungkin anda punya jawabannya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun