Biasanya, pola yang dibuat menggunakan cethe bersifat khas. Ada yang hanya melapisi seluruh batang rokok secara merata (disebut full cethe), dan ada juga yang membentuk pola tertentu seperti motif batik, garis-garis, atau bahkan wajah tokoh pewayangan. Kreativitas dalam membuat cethe menjadi nilai lebih yang membuat tradisi ini semakin unik dan bernilai seni tinggi.
Cethe bukan hanya kebiasaan, tetapi juga merupakan warisan budaya yang unik dan jarang ditemukan di wilayah lain. Perpaduan antara rasa kopi yang khas, interaksi sosial, dan seni menghias rokok menjadikan cethe sebagai simbol dari kekayaan budaya lokal. Sayangnya, seperti banyak tradisi daerah lainnya, cethe juga menghadapi tantangan zaman. Perubahan gaya hidup, masuknya budaya luar, serta penurunan minat generasi muda bisa membuat tradisi ini memudar jika tidak dilestarikan.
Untuk itu, perlu adanya upaya bersama dari masyarakat, komunitas pecinta kopi, dan pemerintah daerah untuk terus menghidupkan budaya ini. Mengadakan lomba, mengedukasi anak-anak muda, dan mengenalkan cethe dalam festival budaya bisa menjadi langkah konkret dalam menjaga eksistensinya.
Cethe adalah cerminan bagaimana tradisi sederhana bisa menjadi sangat berarti bagi sebuah komunitas. Dari secangkir kopi hijau dan sebatang rokok, lahirlah karya seni yang mempererat hubungan sosial dan mewariskan nilai-nilai budaya. Di tengah derasnya arus modernisasi, cethe menjadi pengingat bahwa tradisi adalah bagian dari identitas diri, sesuatu yang layak dirawat dan dijaga bersama. Tulungagung boleh bangga memiliki cethe, sebuah tradisi yang penuh cita rasa, seni, dan makna.Â
Gimana nih, para pecinta kopi. Udah tertarik belum dengan alternatif baru buat nyeduh kopi??Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI