Mohon tunggu...
Akmal Sjafril
Akmal Sjafril Mohon Tunggu... -

Penulis lepas, blogger, peminat wacana pemikiran Islam, peneliti INSISTS, wirausahawan dan maniak basket.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjadi Orang Awam yang Beradab

26 Agustus 2016   14:19 Diperbarui: 27 Agustus 2016   16:37 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hakikatnya, kejahilan ada di mana-mana, bahkan di sepanjang jaman. Kita pun tak semestinya menilai kejahilan dari hal-hal yang bersifat materi. Di seluruh dunia, misalnya, banyak orang berpendidikan, hidup di kota besar (bukan hutan belantara atau padang pasir), tapi toh di antara mereka ada juga yang membunuh anaknya sendiri. Apa bedanya dengan masyarakat Arab di masa lampau yang membunuh anak-anak perempuannya?

Maka, kejahilan bukanlah ciri khas bangsa Arab, melainkan juga dimiliki oleh seluruh bangsa di seluruh jaman. Lebih tepatnya, sebagai orang beriman, kita bisa mengatakan bahwa tanpa mengikuti ajaran Islam, manusia dari segala bangsa dan segala jaman pastilah terjerumus dalam kejahilan.

Lalu mengapa Allah SWT mengutus Rasulullah saw di Arab? Nah, soal itu silakan merujuk pada buku-buku yang sudah disebutkan sebelumnya. Penjelasannya cukup panjang. Yang jelas, alasannya bukan karena bangsa Arab rusak, sebab setiap bangsa pasti rusak tanpa tuntunan Islam. Menariknya, Syaikh al-Buthi dalam bukunya menambahkan bahwa anggapan tersebut (yaitu bahwa masyarakat Arab paling jahil) justru dihembuskan oleh kaum orientalis. Nah, kalau begitu kita tidak heran lagi, ‘kan?

Catatan ketiga, saya juga prihatin menyaksikan betapa kontradiktifnya dua hal yang ditekankan oleh bapak yang bersemangat tadi. Di satu sisi, ia menyuruh kita untuk belajar ke Cina. Di sisi lain, semua itu dianggapnya sebagai Al-Qur’an. Jika memang Cina jauh lebih baik daripada Arab, mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan saja di Cina? Dan jika memang Qur’an menyatakan bahwa masyarakat Cina lebih baik, lantas mengapa Cina tidak terislamisasi hingga sekarang? Kenyataannya, umat Muslim masih minoritas di sana.

Sekali lagi, akan berbeda permasalahannya jika kata-kata “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina” ini tidak dinisbatkan kepada Al-Qur’an atau Nabi Muhammad saw. Jika seorang ayah mengatakannya kepada anaknya, maka kita bisa menafsirkan bahwa ia tengah memberi semangat kepada anaknya untuk menuntut ilmu ke negeri yang jauh, sedangkan Cina dijadikan representasi dari sebuah negeri yang jauh. Atau, barangkali juga, ucapan itu memang ada relevansinya dengan ilmu yang sedang dipelajari oleh sang anak. Jika ia sedang rajin belajar Kung Fu, misalnya, sangatlah wajar jika kemudian ayahnya menyemangatinya untuk giat berlatih, kalau perlu sampai ke kampung halamannya Kung Fu, yaitu Cina. Dengan demikian, kalimat tersebut memiliki makna yang sesuai konteksnya. Artinya, tentu tidak semua ilmu harus dituntut ke negeri Cina. Tapi kalau ia dianggap sebagai kata-kata di dalam Al-Qur’an, apalagi sang bapak orator tadi juga bersikap seolah-olah kalimat tersebut berlaku umum, maka orang akan beranggapan bahwa semua ilmu paling baik dipelajari di Cina.

Keempat, kontradiksi akan terlihat juga jika kita melihat bagaimana ia bersikap seolah-olah sangat berkomitmen kepada Al-Qur’an, tapi pada saat yang bersamaan mengatakan “...kita diperintahkan untuk belajar ke Cina, bukan ke Arab!” Pertanyaannya: bagaimana cara kita belajar Al-Qur’an, kalau tidak ke Arab? Semua orang tahu bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, mau tak mau kita pastilah merujuk ke negeri asalnya. Bahkan jika kita kini belajar agama dari seorang guru asli Indonesia, pastilah kita bisa merunut garis keilmuannya dari Arab. Ketika Islam masuk ke Nusantara, ia pun dibawa oleh orang asing, dan tentu saja orang asing tersebut belajar dari orang Arab, atau mereka sendiri memang asli Arab. Bahkan sejumlah sejarawan pun mengatakan bahwa Wali Songo adalah dewan ulama yang dikirim langsung dari Kekhalifahan Islam pada masanya. Jadi, memang Al-Qur’an tidak pernah melarang kita untuk belajar ke Cina, sebab memang ada ilmu-ilmu yang paling baik dituntut di negeri itu. Tapi keliru besar jika kita menganggap bahwa Qur’an memerintahkan kita untuk menuntut semua ilmu ke Cina, dan bukan ke Arab, sebab Cina lebih baik dalam segala hal dibandingkan Arab. Cara berpikir semacam ini sudah terlalu konyol dan menggelikan, dan tak dapat dijelaskan kecuali dengan menyimpulkan bahwa ia bersumber dari kebencian buta terhadap segala hal yang berbau ‘Arab’.

Kelima dan terakhir, meskipun kita tidak ingin berpanjang kalam membahas Ahok, namun pada akhirnya semua argumen harus dikembalikan kepada pangkalnya. Setelah panjang lebar menjelaskan soal dalil ‘mencari ilmu ke negeri Cina’, kita perlu mempertanyakan: apa relevansinya dengan Ahok? Apakah karena Ahok adalah warga keturunan, lantas kita harus menuntut ilmu kepadanya juga? Apakah argumen “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina” itu sama artinya dengan “Tuntutlah ilmu dari orang-orang Cina dan keturunannya di seluruh dunia?”

Persoalan Ahok yang jadi perbincangan kini adalah masalah politik dan hukum, bukan keilmuan atau pendidikan. Kalau pun kita bisa bersepakat bahwa ada ilmu-ilmu yang lebih baik dipelajari di Cina, kita tak bisa mengatakan bahwa semua orang Cina layak untuk dijadikan guru. Kita pun tak lantas bisa menutup mata begitu saja atas persoalan hukum yang membelit Ahok, semata-mata karena garis keturunannya. Sebab, manusia tidak dibedakan dari bangsa, warna kulit, atau rasnya, melainkan oleh ketaqwaannya. Sebagaimana kita tidak boleh menyalahkan Ahok hanya karena rasnya, maka sebaliknya, kita pun tak boleh membenarkan Ahok hanya karena rasnya. Apa pun pendapat kita tentang Ahok, terlalu memaksakan rasanya jika argumen yang tadi dibawa ke dalam perdebatan soal politik dan hukum.

Semua uraian panjang lebar ini pada akhirnya bermuara pada satu kesimpulan, yaitu bahwa yang berbicara memang sangat awam dalam hal agama. Karena itu, kesimpulan yang dibuatnya sangat jauh meleset, bahkan jauh di luar konteks awal pembicaraan. Akan tetapi, yang lebih menakutkan dari itu adalah kenyataan bahwa fenomena semacam ini ada, bahkan tidak sedikit. Yang saya maksud bukan fenomena minimnya pemahaman, melainkan minimnya pemahaman soal agama dan kelancangan orang awam untuk berfatwa. Sudah tidak paham, tapi berlagak paham, dan akhirnya mempengaruhi orang-orang yang sama tidak pahamnya semata-mata dengan sikapnya yang seolah-olah paham. Paham ‘kan!?

Memang tidak realistis untuk mengharapkan ‘lenyapnya’ orang awam, sebab keawaman itu sendiri tidak terhindarkan. Pertama, karena tak mungkin manusia ahli dalam segala hal, maka ada saja bidang ilmu yang tidak kita kuasai, sepintar apa pun kita. Kedua, karena segala ilmu dipelajari secara bertahap, maka setiap orang pasti mengalami ‘fase awamnya’ masing-masing ketika belajar.

Dengan demikian, “adab” adalah kata kunci untuk menyelesaikan persoalan umat yang satu ini. Adab, sebagaimana dijelaskan oleh M. Naquib al-Attas, secara sederhana dapat dimaknai sebagai pengetahuan dan pengakuan akan posisi hirarkis dalam segala sesuatunya. Artinya, dalam segala hal ada ahlinya, dan yang awam harus merujuk kepada yang ahli. Artinya juga, kita akan ‘selamat’ sepanjang memahami posisi kita secara intelektual dalam suatu bidang ilmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun