Agama apapun yang ada di negeri ini pada dasarnya mengajarkan kebaikan. Jika ada orang yang lekat dengan atribut agama tertentu, tapi berperilaku tidak baik, bukanlah agamanya yang salah. Melainkan orangnya yang salah, karena salah memahami agama. Karena gagal paham inilah yang membuat segalanya menjadi runyam. Pasalnya, bentuk gagal paham ini kemudian disebarluaskan melalui media sosial.
Salah satu bentuk gagal paham adalah viralnya video seorang pemuda di gunung semeru, membuang dan menendang sesajen dengan berteriak takbir. Dia beranggapan sesajen inilah yang membuat Allah murka. Padahal, sesajen tersebut bukanlah ditujukan untuk menyembah selain Allah. Sesajen juga bukan ditujukan untuk menyembah setan. Sesajen atau sajen tersebut merupakan bagian dari kearifan lokal yang sudah ada jauh sebalum agama masuk ke Indonesia.
Mari kita lihat apa yang dilakukan oleh Wali Songo, ketika menyebarkan Islam di tanah Jawa. Ketika itu beberapa masyarakat Jawa sudah memeluk Hindu, Budha bahkan masih ada yang menganut aliran kepercayaan. Sesajen sudah ditemukan ketika itu. Lalu apa yang dilakukan para wali? Apakah menendangnya seperti yang dilakukan pemuda di gunung semeru? Jawabnya tidak. Para wali justru tidak menghormatinya, namun para wali juga menyisipkan nilai-nilai baru, yang kemudian kita mengenal syukuran, selamatan, atau sedekah. Dimana sajen diwujudkan dalam bentuk berbagi makanan ke sekitarnya.
Perkembangan budaya tersebut mestinya juga kita pahami bersama. Dakwah model Wali Songo ini adalah merupakan seni mengajak kebaikan. Selain diperlukan kualitas keilmuan yang mumpuni, juga diperlukan pemahaman sosial kulturan yang baik. Masyarakat Tengger banyak berdiam di sekitar gunung semeru. Seperti kita tahu mayoritas masyarakat Tengger beragama Hindu. Dan Hindu memang dekat dengan sesajen. Lalu, kenapa ada yang mempersoalkan? Dari mana tahu Allah murka? Bisa jadi Allah murka karena perilaku kita yang cenderung semena-mena seperti menendang sesajen tersebut.
Wali Songo begitu cerdas dalam mengajarkan seni mengajak kebaikan. Dakwah yang dilakukan sunggah sangat humanis. Tidak melakukan pendekatan salah atau benar, halal atau haram, bahkan tidak tuduhan kafir kepada orang yang berbeda. Para wali menggunakan pendekatan budaya bahkan seni. Dakwah yang cukup humanis melalui seni tersebut, sejatinya merupakan ciri khas Islam yang memang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan. Bahkan Rasulullah SAW pun juga mengajarkan hal yang sama. Inilah sejatinya makna rahmatan lil alamin yang sebenarnya.
Mari kita introspeksi. Jangan merasa paling benar atau melihat orang lain sebagai pihak yang salah. Semua orang butuh proses. Sepanjang tidak saling mengganggu, mari saling menghargai dan menghormati. Sepanjang tidak saling merugikan, mari saling melengkapi satu sama lain.Â
Keberagaman yang ada di negeri ini bukanlah kehendak kita atau para pandahulu. Ini merupakan keniscayaan dan murni kehendak Allah SWT, agar kita bisa hidup berdampingan dalam keberagaman. Agar kita bisa saling menghargai dan mengerti satu sama lain. Jika kita sudah saling memahami, maka kita bisa saling tolong menolong antar sesama. Inilah toleransi ala kita, masyarakat Indonesia. Semoga bisa jadi pembelajaran buat kita semua. Salam.