Saya menceritakan pada syekh bahwa masih banyak infrastruktur jalan lebih buruk dibanding apa yang kami lewati. Di Seko, Luwu Utara, misalnya, penduduk lokal harus berkendara sekitar dua hari untuk sampai ke kota. Melewati jalan yang mirip kubangan lumpur.Â
Masih di pulau Sulawesi, di Routa, kabupaten Kowe Utara, Sulawesi Tenggara ruas jalan juga sama buruknya dengan di Seko.Â
Warga hanya menjadi korban janji manis para politikus di masa kampanye. Saat terpilih mereka lupa pada janji mereka. Sudah puluhan tahun Indonesia merdeka, tapi infrastruktur jalan yang memadai belum dapat mereka nikmati.Â
Guncangan mobil hampir tak memberikan kami waktu untuk sejenak menikmati perjalanan. Decitan ban dan auman mesin di tanjakan curam berbatu semakin memacu adrenalin. Hampir dua jam dalam kondisi seperti ini.Â
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, kami tiba di desa tujuan kami, Watang Cani. Syekh terkejut melihat perkampungan yang tersembunyi di tengah pegunungan, dengan masyarakat yang ramai dan antusias berkumpul di masjid.
Desa Watang Cani, dengan populasi 2.000 jiwa, adalah komunitas agraris yang kuat. Penduduknya menghabiskan hari-hari mereka di kebun dan sawah, sementara rumah-rumah panggung mereka berjajar dengan anggun di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan desa.Â
Di Sulawesi, khususnya orang-orang Bugis Makassar di pedesaan, mereka lebih menyukai rumah-rumah panggung tradisional yang memiliki teras untuk bersantai sambil menikmati jalan.Â
Acara peresmian dimulai saat kami datang. Syekh membagikan uang tunai 20 juta rupiah kepada warga selepas peresmian. Semua kebagian. Semua tersenyum bahagia. Menjadi momen yang tak akan warga lupakan. Tak sedikit yang menjabat tangan dan memeluk syekh lalu menyisipkan doa dan ucapan terima kasih.Â
Syekh Ismail, tak hanya membangun masjid sebagai simbol religiusitas, tapi juga membangun kebahagiaan dan kebersamaan.Â
"Alhamdulillah, syekh telah berbagi kebahagiaan pada warga sekitar," Saya memuji syekh.Â
"Atas izin Allah. Saya lebih bahagia daripada mereka, " Balas syekh.Â