Pertanyaannya adalah, apakah kira-kira Einstein, Maryam, Luis Alvarez dan William Shockley semasa kecilnya terus menerima kemarahan dari orang terdekatnya (orangtua) saat mereka belajar? Ataukah mereka terus menerima tekanan untuk terus menerus belajar dan mengerjakan PR?Â
Anda tidak akan menemukan itu dalam biografi mereka. Mereka hidup dalam dukungan orang terdekatnya.
Kesuksesan mereka mengubah dunia, menyegel tinta sejarah tidak hanya hadir dalam diri mereka (bakat) namun juga buah kesabaran pendampingan orang terdekat mereka.Â
Menyadari dan berhati-hati
Mari kita mulai dari hal paling sederhana, dimanakah kita? Kesadaran adalah hal utama untuk menemukan posisi diri kita dan apa yang harus kita perbuat. Kita tahu bukan hanya sekolah di Indonesia yang harus ditutup, tapi di seluruh dunia.
Masalahnya kemudian adalah kita belum siap mendampingi anak-anak belajar di rumah. Iya, kita semua orangtua -baik yang di rumah (orangtua) maupun yang di sekolah (guru).
Banyak sekolah yang masih menganggap keadaan ini normal, dengan memberikan tugas akademik terus-menerus.
Begitupun sebaliknya, banyak orangtua yang menganggap anak-anak mereka seharusnya mampu konsentrasi, belajar dan mengerjakan tugas, walaupun mereka tidak sedang dalam lingkungan belajar formal (sekolah).
Nampak bukan, siapa yang tidak siap? Orang dewasa atau anak-anak?
Sekolah daring sekaligus juga menyingkap secara benderang posisi sekolah dalam kehidupan.
Diakui ataupun tidak, kita telah terjebak dan 'terpaksa' menggunakan sekolah sebagai tolok ukur tunggal perkembangan anak-anak kita. Kecerdasan, bakat dan bahkan kreativitas anak hanya bisa dilihat dari perkembangan anak di sekolah. Hampir tidak ada perbandingan lainnya.