Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lincahnya Jempol dan Menipisnya Empati Kita

11 Agustus 2018   08:28 Diperbarui: 11 Agustus 2018   13:09 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.healthy-homeoffice.co.uk

Awalnya saya terkaget dan langsung melewatkan candaan yang disebarkan salah satu teman di grup whatsapp. Namun, seperti epidemi, candaan tersebut cepat sekali menyebar hampir disemua grup whatsapp yang saya ikuti. Inilah dia isinya:

Gempa di Lombok NTB bukan sekedar gempa biasa.

Menurut ramalan Jawa, gempa yang terjadi  menjelang bulan haji atau di bulan haji, menandakan akan adanya pertumpahan darah di seluruh dunia. Khususnya di negara yang jumlah muslimnya banyak. Mereka secara serempak akan mengalirkan darah di berbagai tempat. Bahkan dengan sengaja dan terencana.

Maka dari itu, umat Islam dianjurkan untuk menyiapkan segala sesuatunya sebelum itu terjadi. Misal dengan menyiapkan kayu arang dan tusuk sate lengkap beserta bumbunya. Beritakan kepada mereka bahwa idul adha semakin dekat.

...

Mudahnya kita menyebarkan

Secara tekstual, akan mudah menangkap maksud pembuat dan penyebarnya, yaitu kebetulan gempa NTB yang berdekatan dengan Idul Adha, diberi sentuhan ramalan Jawa. Karena Jawa identik dengan dunia klenik yang lulu unto hari ini. Namun, apakah hal tersebut lucu? Tergantung darimana sudut pandang kita tempatkan.

Gempa, jelas bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Siapapun anda, bisa dipastikan pasti tidak akan pernah untuk merasakan dan menjadi korban. Logis, mudah saja dipahami. Namun, apakah semudah itu juga mengarahkan sikap dan perilaku kita sesuai pemahaman sederhana tersebut? Sejauh rentang grup yang saya ikuti di whatsapp, bertindak sesuai dengan pemahaman sederhana tersebut bukanlah hal mudah. 

Selain banyak yang menyebarkan guyonan semacam contoh di atas, juga banyak teman yang menimpali dengan guyonan lain, minimal memberikan feedback dengan emot. 

Pertanyaannya adalah, apakah mereka yang merespon guyonan tersebut bukan orang baik, atau minimal berniat baik? Saya rasa tidak. Sebagian dari mereka saya tahu dan kenal adalah orang yang baik, secara pribadi maupun sosial. 

Sebagian dari mereka memiliki pendidikan formal yang tinggi. Saya juga yakin mereka ikut bersedih dan iba dengan kejadian di Nusa Tenggara Barat dan sekitarnya, namun sepertinya perasaan sedih dan iba tersebut hanya selesai pada dirinya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun