Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Relokasi Pasar Tradisional Selalu Bermasalah?

17 Mei 2017   09:54 Diperbarui: 17 Mei 2017   11:24 3731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parkiran jadi pasar di Merjosari. Dokumen Pribadi

“Ke pasar yang mana ini nda?” tanyaku kepada istri pagi itu sesaat setelah kami mulai melaju dengan motor menuju ke pasar.

“Ke Merjosari aja yah”

“Loh, bukannya sudah dibongkar?” sahutku

“Masih tetap bua di parkiran kok, lagian yang pindah kan hanya toko-toko aja. Kita kan belanja kebutuhan masak aja” jawab istriku santai.

Pagi itu mungkin bukan hanya saya saja yang bertanya hal tersebut, tapi banyak suami lainnya di daerah sekitaran Dinoyo (Kota Malang) saya rasa menanyakan hal serupa. Tidak lain karena pemindahan pasar sementara atau pasar penampungan  Merjosari kembali ke pasar Dinoyo yang lagi-lagi tidak berjalan dengan mulus. Saya rasa kita sudah terbiasa mendengarkan berita tentang konflik pemindahan pasar “tradisional”.

Ceritanya begini mohon dikoreksi bila terdapat kekeliruan, seingat saya dulu pasar Dinoyo yang terletak di ruas utama jalur Malang-Batu Dinoyo samping kampus Universitas Islam Malang (Unisma) merupakan salah satu dari beberapa pasar “tradisional” yang terkena dampak revitalisasi Pemkot Malang tahun 2010. Akibatnya pedagang dipindahkan “sementara” ke lokasi lumayan jauh dari ruas jalan utama, daerah kelurahan Merjosari (tidak jauh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan Universitas Gajayana). Beberapa media gencar memberitakan relokasi saat itu mendapatkan resistensi dari pedagang serta mediasi yang dilakukan oleh Komnas HAM. Sampai akhirnya pada bulan November tahun 2012 pedagang bersedia untuk pindah ke pasar sementara Merjosari dengan beberapa kesepakatan yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang dengan Nomor Register 21/UR/V/2012. Kebetulan saat itu saya juga melihat dan berbicara secara langsung dengan beberapa pedagang (langganan istri) yang mengeluh saat rencana relokasi sampai saat awal pedagang menempati pasar sementara Merjosari. Kata langganan istri saya, banyak teman-teman pedagang khawatir dengan nasib dagangan mereka mengingat lokasi pasar penampungan boleh dikatakan jauh dari jalur utama kota. Mereka khawatir dagangan mereka sepi pembeli, belum lagi mereka juga mulai kasak-kusuk dan saling mencurigai akibat pembagian lokasi toko (bedak) yang dianggap tidak adil.

Hampir lima tahun setelah relokasi, saat ini pasar kembali dipindahkan ke daerah Dinoyo, atau ke lokasi semula pasar Dinoyo yang telah berdiri sejak tahun 1972. Lagi-lagi resistensi pedagang kembali mengemuka mengiringi “pemulangan” kembali ke lokasi pasar Dinoyo.

Pertanyaannya adalah mengapa setiap kali relokasi pasar selalu terjadi penolakan?

Konsepsi pasar "tradisional" dan "modern"

Sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, konsepsi tentang pasar terus berkembang dari waktu ke waktu. Entah kapan munculnya embel-embel “tradisional” dan “modern” untuk pasar, yang pasti penambahan label tersebut menjadikan dinamika luar biasa bukan hanya pada ranah kebijakan (politik-pemerintahan) tetapi juga pada ranah persepsi penjual dan pembeli.

Kata tradisional kemudian menjadi hal yang sepertinya harus dihadapkan dengan kata modern, tradisional sebagai yang ringkih dan pecundang, modern sebagai yang kuat, dominan dan pemangsa. Inilah yang kemudian mendorong pemerintah dan dinas pasar di berbagai wilayah membuat program revitalisasi pasar dengan label tradisional menjadi pasar modern. Pemerintah lupa bahwa transfromasi tradisional-modern melibatkan berbagai aspek yang kesemuanya harusnya mendapatkan sentuhan yang proporsional. Lihat saja berapa banyak media yang mewartakan penolakan pedagang atas pemindahan atau revitalisasi pasar tradisional dari tahun ke tahun. Kalau tidak percaya silahkan sowan ke mbah google dengan kata kunci sekitar “relokasi pasar tradisional” atau “pedagang pasar tolak penggusuran” atau kata kunci sejenis.

Sudah saatnya kita jujur tentang konsepsi tradisional dan modern. Jika kita melihat dari perspektif bahwa itu adalah sebuah urutan arus zaman, terang saja seolah-olah yang tradisional dianggap sudah tertinggal dan dipaksakan untuk berubah menjadi modern. Coba kita lihat tradisional-modern dari perspektif lain yang tidak harus membuat keduanya berhadapan bagai rival. Misalnya kita lihat dari perspektif budaya, bahwa pasar tradisional memiliki "budaya pasar" yang berbeda dengan pasar modern. Bahwa di pasar tradisional kita akan menemukan budaya komunikasi yang lebih dinamis antara pembeli dan pedagang melalui budaya tawar menawar. Kita juga bisa menemukan kohesivitas yang kuat antara pedagang satu dengan pedagang yang lain, belum lagi kita bisa menemukan aneka produk serba terjangkau yang mengajak kita bernostalgia dengan nuansa tempo dulu. Jenis pasar dikategorikan tradisional juga tidak lepas dari keberadaan pedagang dadakan atau pedagang yang tidak memiliki lapak “resmi” yang seolah menjajakan segala macam komoditas —ini yang kemudian menjadi salah satu problematika yang rumit saat pasar akan dipindah. Hal tersebut jelas berbeda dengan budaya pasar modern yang lebih mengedepankan gaya komunikasi terbuka dan tegas, artinya kita sulit menemukan produk yang bisa kita tawar seperti di pasar tradisional. Aneka produk pasar modern juga mengutamakan kualitas (terutama pengemasannya) disertai dengan pelayanan yang penuh dengan standar operasional profesionalitas. 

Jika kita mampu melihat pasar tradisional dan modern dari perspektif yang lebih ramah, kita tidak akan tergesa-gesa membandingkan dan menilainya. Karena budaya sejatinya adalah nilai yang disepakati dan dianut bersama, artinya ini hanya masalah selera dan tawaran yang berbeda. Lagi-lagi konsumen yang akan memilih kemana mereka akan membeli barang untuk keperluan kesehariannya. Bagi sebagian orang (termasuk keluarga saya) maslaah berbelanja di pasar modern atau tradisional bukan hanya soal barang, biaya dan layanan, tapi juga soal waktu dan (terkadang) keinginan. Semisal, saat pagi hari senggang kami tentu akan lebih enjoy jika berbelanja di pasar tradisional, bertemu, menyapa dan melihat aneka produk yang terkadang hanya ada pagi itu. Berbeda jika waktu siang atau sore hari, kami lebih “ingin” ke pasar modern dibandingkan ke pasar tradisional. Karena saya merasakan nuansa yang berbeda dari keduanya, dan keduanya memiliki waktu yang berbeda juga untuk dinikmati.

Pasar tradisional sebagai indikator kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

Dalam berbagai hal, pasar tradisional dan pedagang kaki limanya terlihat sepele dan tidak terlalu berpengaruh pada perekonomian nasional. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa isu pasar tradisional dan bagaimana memperlakukan pedagang kecil dengan baik turut mengantar seseorang menjadi Presiden negeri ini. Lihat saja kisah Pak Jokowi yang sukses dalam merelokasi pedagang kecil di Solo sewaktu beliau menjabat walikota, kisah tersebut mau tidak mau menjadi bumbu penyedap utama yang sukses mengharumkan nama beliau untuk menapaaki jalan politik nasional. Dari kisah Pak Jokowi, kita bisa melihat bahwa pasar tradisional yang hampir seluruhnya diisi oleh pedagang kecil merupakan tolok ukur bagi pemerintah dalam berbagai hal. Pertamaharmonisnya pasar tradisional dalam sebuah wilayah merupakan salah satu indikator keberhasilan gaya komunikasi pemerintah dengan rakyatnya. Mau ataupun tidak, kita wajib mengakui bahwa salah satu sumber informasi masyarakat adalah pasar tradisional. Keduakeberadaan pasar tradisional yang dikelola dengan baik menunjukkan bahwa pemerintah setempat peduli terhadap nasib wong cilik.Kalaupun terjadi revitalisai dan relokasi, harusnya pemerintah benar-benar tahu basic needpedagang pasar, sehingga tidak terjadi kegaduhan dan konflik yang jelas berakibat bagi ciitra pemerintahan.

Menyelaraskan keinginan pemerintah dengan pedagang

Kembali pada kasus ramai-ramai pindahan pasar Dinoyo Malang. Saya kok melihat pola yang sama dimana konflik relokasi pasar tradisional (pedagang) selalu bermula dari tidak selarasnya keinginan pemerintah dengan keinginan kelompok pedagang. Kalau dilihat dari dimensi bahwa pemerintah adalah pelayan rakyat, harus diakui pemerintah kurang pasdalam menilai kebutuhan dasar (basic need) pedagang dan dinamika pasar tradisional sebagai dasar kebijakan. Saya percaya usaha maksimal sudah dilaksanakan pemerintah kota Malang untuk mengembalikan pasar penampungan Merjosari ke pasar Dinoyo, namun tidak ada salahnya jika kita belajar dari fenomena ini untuk mengantisipasi hal-hal serupa pada wilayah lainnya.  

Diatas telah disinggung bahwa dulu tahun 2012 pedagang pasar Dinoyo akhirnya bersedia untuk direlokasi sementara ke Merjosari melalui mediasi oleh Komnas HAM dengan menghasilkan kesepakatan di pengadilan negeri. Namun mengapa ketika bangunan pasar Dinoyo telah siap, justru pedagang yang dulunya tidak mau pindah sekarang malah tidak mau kembali? Apakah ada kesepakatan yang dilanggar oleh pihak pemerintah? Atau ada hal lainnya? Sekali lagi saya ber-khusnudzondengan pemerintah bahwa tidak ada kesepakatan yang dilanggar. Saya hanya ingin mengingatkan konteks dan dinamika pasar saja.

Salah satu keunikan pasar tradisional adalah terkadang lebih banyak pedagang tanpalapak/lokasi jualan “resmi” dibandingkan dengan pedagang yang “resmi” memiliki lokasi jualan. Pedagang-pedagang dadakan inilah yang menurut hemat saya merupakan magismengapa pasar dianggap tradisional. Mereka biasanya berjualan di samping tempat parkir, di depan bedak(toko) orang lain, lorong jalan dan bahkan di atas saluran pembuangan atau lebih hebat lagi ada yang disamping tempat sampah sementara. Komoditas yang mereka tawarkan juga unik, mulai dari sayur, buah, jajan pasar sampai komoditas musiman. Pilihan waktu berdagang juga tidak kalah unik, banyak yang berdgang di waktu-waktu yang tidak biasa dan tutup pada waktu yang tidak biasa juga, seperti buka dini hari dan tutup menjelang jam tujuh pagi. Adanya mereka (pedagang dadakan) justru yang membuat pasar semakin terlihat penuh sesak dan ramai. Jujur saja, bagi anda yang sering ke pasar tradisional, tentu kaki anda minimal pernah kesenggol barang dagangan pedagang model ini.

Dinamika pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh keberadaan pedagang-pedagang dadakan dan tidak “resmi” ini. Istilah kerennya, keberadaan mereka bisa dikataakaan berada ada dan tiada, ini unik. Dikatakan ada adalah karena mereka memang berjualan dan bahkan banyak, dikatakan tiada karena susah bagi dinas pasar untuk menjelaskan keberadaan mereka melalui data resmi pasar. Inilah yang kemudian membuat relokasi pasar (mungkin selamanya) tidak pernah berjalan mulus, masalah data! Karena konsep revitalisasi pasar tradisional selalu menekankan hal-hal seperti rapi, higienis dan tertib. Bangunan fisik pasar baru akan selalu menjadi masalah karena kebanyakan pedagang yang barusan saya jelaskan tidak terdata. Itu artinya, bangunan pasar baru sulit mengakomodir keberadaan pedagang-pedagang dadakan yang tidak “resmi”.

Dua kubu kelompok pedagang

Dalam kasus “pengembalian” pasar Dinoyo, banyak media menulis terdapat dua kubu pedagang.

“Sudah ada 700 pedagang resmi Pasar Merjosari yang bersedia dipindah ke Pasar Dinoyo sedangkan 600 sisanya yang merupakan PKL tanpa lapak masih menolak," begitu kata Kepala Dinas Perdagangan Wahyu Setianto yang saya kutip dari Republika (6/4/2017). Lengkapnya lihat http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/04/06/onzc59383-pemindahan-pedagang-pasar-merjosari-malang-berakhir-ricuh. Detik juga mengutip pernyataan yang serupa, bahwa terdapat dua jenis pedagang dan menjadi dua jenis kelompok juga https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3466936/pembongkaran-pasar-merjosari-diwarnai-perlawanan-dari-pedagang.

Tidak menutup kemungkinan kejadian serupa juga telah terjadi dan akan terjadi ketika ada kebijakan relokasi atau revitalisasi pasar tradisional. Selain alasan yang sudah saya uraikan di atas, keberadaan pedagang-pedagang baru pasar memang tidak akan mungkin bisa diprediksi. Bertambahnya konsumen, bertambahnya produk, kebangkrutan dan juga jumlah usia produktif merupakan alasan mengapa jumlah pedagang pasar tradisional mustahil untuk diprediksi. Lagian siapa juga yang bisa mengontrol alur rezeki dari Tuhan, hehe. Itulah mengapa menjadi penting bagi pemerintah untuk mengkaji lebih dalam apabila harus mengeluarkan kebijakan revitalisasi pasar.

Taruhlah, saat pindah dari pasar Dinoyo data pedagang semisal berjumlah 800 orang. Harusnya pembangunan pasar Dinoyo juga mengantisipasi dengan memprediksi jumlah ledakan pedagang ketika bangunan pasar baru berdiri. Prediksi bisa dilakukan dengan studi bersama yang menganalisis data jumlah penduduk, pendatang dan animo pasar. Bisa jadi jumlah lokasi yang harus disiapkan membengkak dua kali lipat. Meskipun hal tersebut belum tentu cukup, minimal hal tersebut dapat mengurangi potensi konflik. 

Masalah rupiah dan perlawanan pedagang

Jumlah rupiah adalah masalah paling rumit yang mengiringi pemindahan pasar. Pedagang, dengan adanya revitalisasi mau ataupun tidak diminta untuk menyetorkan sejumlah uang untuk kompensasi biaya sewa lapak baru dan lainnya. Bagi pedagang kelas menengah-atas, hal tersebut mungkin tidak akan menjadi masalah, tapi hal tersebut tentu berbeda bagi pedagang dadakan dan tidak “resmi”. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang manusiawi, kebijakan yang mengakomodir kebutuhan dan kekuatan pedagang.

Bila seperti yang sudah saya uraikan, jumlah pedagang dadakan seimbang atau lebih banyak dari pedagang resmi, maka penolakan dan perlawanan pasti akan mereka lakukan. Karena tidak ada satu manusiapun yang rela nafas kehidupannya direnggut.

Akibatnya, meskipun pengumuman pasar Merjosari resmi ditutup per tanggal 14 mei 2017, nyatanya para pedagang “tanpa” lapak melakukan perlawanan dengan tetap berjualan di tempat yang dulunya area parkir utama pasar, sebelah utara pasar penampungan Merjosari. Sesuai dengan asumsi saya di atas, bahwa salah satu ciri utama pasar tradisional adalah mereka, maka anda dapat menyaksikan bahwa pasar “perlawanan” di Merjosari lebih ramai pembeli daripada pasar resmi yang mulai buka di Dinoyo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun