Mencari jodoh memang sudah cukup sulit, tapi bagaimana kalau ruang geraknya dibatasi hanya pada orang-orang yang tinggal satu desa? Inilah kenyataan yang dihadapi warga Dusun Jladri Tengah dan Londeng di Desa Jladri, Kecamatan Buayan, Kebumen. Di sana, mitos turun-temurun melarang mereka menikah dengan orang luar. Kalau melanggar? Konon, musibah akan datang. Sebagai orang asli Kebumen (tapi bukan dari Jladri), saya tentu merasa heran sekaligus penasaran. Bukan apa-apa, jodoh itu kan misteri, tapi kalau misterinya ditambah lagi dengan larangan menikah di luar desa, ya makin kompleks urusannya. Bahkan saya yang bebas memilih pasangan dari mana saja masih jomblo, apalagi mereka yang cuma boleh menikah dengan tetangga?
Sejarah di Balik Mitos Pernikahan Orang Jladri
Menurut cerita yang berkembang, larangan ini tidak berlaku untuk seluruh desa, melainkan hanya di Dusun Jladri Tengah dan Londeng. Warga di sana percaya bahwa jika mereka menikah dengan orang luar, terutama dari dusun-dusun tertentu seperti Karangwuni atau Jarakan, maka rumah tangga mereka akan hancur, atau yang lebih ekstrem, ada yang meninggal dunia. Sejarahnya agak samar, tetapi ada dugaan bahwa Dusun Londeng dan Karangwuni dulunya satu desa. Namun, karena suatu alasan yang tidak diketahui, keduanya terpisah dan sekarang dibatasi oleh hutan. Nah, sejak saat itu, setiap ada pernikahan antara warga Londeng dan Karangwuni, selalu saja ada kejadian buruk. Warga pun mulai "niteni" (mengamati) pola tersebut, hingga akhirnya menjadi kepercayaan yang diwariskan turun-temurun.
Mitos atau Kebetulan yang Berulang?
Kalau ditanya apakah mitos ini benar atau tidak, tentu jawaban saya simple, wallahu a'lam. Tapi kalau mau berpikir logis, segala sesuatu yang sering terjadi bisa dianggap sebagai pola, meskipun sebenarnya mungkin hanya kebetulan. Bisa jadi ada faktor lain yang menyebabkan rumah tangga mereka tidak langgeng, seperti perbedaan budaya atau masalah ekonomi. Tapi kalau sudah menyangkut kepercayaan, ya susah digoyahkan. Saking kuatnya mitos ini, banyak warga yang sudah terlanjur menjalin hubungan dengan orang dari luar dusun lebih memilih putus sebelum ke jenjang pernikahan. Daripada menanggung risiko cerai atau kehilangan nyawa, lebih baik cari pasangan di dalam desa. Keputusan yang berat, tapi siapa yang berani melawan mitos nenek moyang?
Nasib Jomblo di Jladri
Nah, kalau begini, bagaimana nasib mereka yang tidak kunjung menemukan jodoh di dalam desa? Masalahnya, populasi Jladri kan terbatas. Kalau semua harus menikah dengan orang desa sendiri, bukankah makin lama makin sempit pilihan? Ibaratnya kayak acara Take Me Out Indonesia, tapi pesertanya cuma itu-itu aja. Kalau mitos ini terus bertahan, warga Jladri mungkin harus mengembangkan strategi baru, seperti sistem perjodohan atau matchmaking berbasis desa. Siapa tahu nanti ada aplikasi kencan khusus bernama "JladriMatch" yang hanya mempertemukan warga Londeng dan Jladri Tengah.
Antara Kepercayaan dan Realitas
Terlepas dari benar atau tidaknya mitos ini, kepercayaan masyarakat Jladri tetap harus dihormati. Setiap daerah punya tradisi dan keyakinan masing-masing, dan bagi mereka, larangan ini adalah bagian dari identitas budaya. Namun, di sisi lain, saya juga bertanya-tanya, apakah mitos ini akan bertahan dalam dunia modern? Di era digital seperti sekarang, batasan wilayah bukan lagi hambatan. Orang bisa bertemu dan jatuh cinta lewat media sosial, aplikasi kencan, atau bahkan karena algoritma TikTok. Mungkin suatu hari nanti, akan ada warga Jladri yang berani melawan mitos ini dan tetap bahagia.
Tapi ya sudahlah, bagi saya yang tidak tinggal di sana, setidaknya saya masih bisa bebas mencari jodoh dari mana saja (meskipun hasilnya masih nihil). Tapi bagi warga Jladri, satu hal yang pasti, kalau jodoh sudah ditentukan oleh takdir, apakah tembok mitos setebal apa pun bisa menghalanginya?