Mohon tunggu...
Akhmad Solikhin
Akhmad Solikhin Mohon Tunggu... Lainnya - Biotechnologist

Ayo Melek Sains

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Smart Eco Lab: Upaya Menghemat Energi dan Air di Laboratorium

28 November 2023   19:22 Diperbarui: 29 November 2023   07:33 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : mygreenlab.org)

Laboratorium (lab) merupakan salah satu tempat paling boros energi di dunia. Setiap tahunnya, penggunaan energi di lab hampir 10x lebih banyak dibanding kantor biasa. Sedangkan penggunaan airnya bisa mencapai 4x lebih banyak setiap tahunnya.

Selain itu, limbah yang dihasilkan juga lebih banyak. Pengalaman penulis yang berkerja di lab saat pandemi Covid-19, sekitar 400 kg limbah B3 (infeksius) dihasilkan setiap 2 minggu sekali. Jika ada sekitar 871 lab yang terlibat dalam pemeriksaan sampel Covid-19 saat pandemi, maka limbah yang dihasilkan laboratorium mencapai ribuan ton setiap tahunnya.

Upaya menghemat energi masih jarang dilakukan di laboratorium-laboratorium Indonesia. Baik itu di laboratorium penelitian maupun di laboratorum diagnostik. Kebijakan menuju smart eco lab harusnya bisa diterapkan. Belum adanya peraturan khusus yang membahas smart eco lab, menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola laboratorium di Indonesia.

Berikut ini adalah upaya yang bisa dilakukan oleh pengelola laboratorium untuk mengaplikasikan smart eco lab :

Menghemat Energi Laboratorium


Penggunaan energi listrik di laboratorium mencapai 400 kWh per tahun. Energi yang digunakan setiap lab bergantung dari jumlah fasilitas dan peralatan, jenis penelitian dan diagnostik yang dilakukan, serta iklim dimana lab berlokasi.

Menurut data dari mygreenlab.org, klasifikasi penggunaan energi di laboratorium meliputi sistem pendingin (13%), alat penghasil panas (25%), lampu (13%), fan/kipas blower (20%), plug (22%), sistem pompa (4%) dan sistem data server (3%).

Plug disini adalah konsumsi energi dari peralatan lab yang masih tersambung dalam kondisi on dengan sumber listrik baik yang digunakan maupun tidak digunakan. Penulis sering mengamati beberapa alat dan fasilitas seperti spindwon, tablet, BSC, AC dan lampu masih dalam kondisi on dan dibiarkan begitu saja meski tidak digunakan.

Yang membuat penulis terkejut adalah penggunaan alat seperti fumehood ternyata membutuhkan 3,5 kali energi listrik yang digunakan 1 rumah dalam sehari. Sedangkan low freezer (-80 freezer) sama dengan 1 rumah dalam sehari serta BSC dan freezer -20 sama dengan ½ energi 1 rumah dalam sehari.

Hal mudah pertama yang bisa dilakukan untuk menghemat energi adalah mematikan semua peralatan lab yang tidak digunakan di akhir jam kerja. Kecuali beberapa alat tertentu yang memang tidak boleh dimatikan seperti low freezer (-80) dan freezer -20 yang digunakan untuk menyimpan sampel dan reagen.

Bagaimana dengan alat seperti waterbath atau sentrifuge yang di pagi hari berikutnya akan digunakan? Outlet timer atau semacam colokan dengan on/off otomatis dapat digunakan untuk alat lab yang ready to use di pagi hari berikutnya.

Staf lab dapat mengatur kapan waterbath akan mati di malam hari dan akan menyala kembali di esok hari secara otomatis. Harga alat outlet timer juga terjangkau sekitar 15 dolar US atau 225.000 rupiah dan tergantung merknya.

Selanjutnya, lab dapat menghemat energi sekitar 50% jika sashes (kaca) dari alat fumehood dalam kondisi tertutup ketika tidak digunakan. Fumehood merupakan semacam cabinet yang digunakan untuk menghandel senyawa kimia berbahaya seperti HCL pekat dan lain sebagainya.

Ada juga beberapa metode lab yang digunakan sebenarnya boros energi. Seperti halnya ketika akan melakukan kultur sel atau jaringan. Biasanya BSC dan UV dinyalakan selama semalaman hingga pagi hari berikutnya siap digunakan.

Metode lebih hemat energi namun tetap efektif mempertahankan kondisi steril di lingkungan BSC adalah cukup dengan UV 30 menit sebelum digunakan lalu dilakukan wipe menggunakan alkohol 70%. Cara ini juga dilakukan saat mengakhiri proses yaitu dengan wipe alkohol 70% pada bench BSC, lalu UV selama 30 menit.

Setting batas bawah alat low freezer dari yang awalnya -80 menjadi -70 juga disarankan beberapa pihak untuk mengurangi penggunaan energi yang besar pada alat tersebut. Kondisi -70 dari low freezer dianggap masih dalam batas aman digunakan untuk menyimpan sampel dalam waktu yang lama. Pembersihan rutin low freezer -80 juga merupakan upaya agar alat tersebut bisa optimal dan hemat menggunakan energi.

Energi terbarukan sebenarnya menjadi poin dalam mengembangkan smart eco lab. Pemakaian panel surya sebagai contohnya. Lab penulis sebenarnya sangat cocok dipasang panel surya karena lokasinya berada di lantai paling atas dari gedung. Panel surya ini dapat dimanfaatkan saat musim panas sebagai sumber energi tambahan selain energi listrik.

Pengelolaan Limbah Laboratorium

Lab menghasilkan sekitar 12 juta pound (5,4 juta kg) plastik setiap tahun (2% dari produksi total plastik dunia). Limbah plastik termasuk consumable lab seperti mikrotip dan boksnya, tip serologi, microtube dan lain sebagainya.

Limbah yang baik dikelompokkan berdasarakan sifatnya. Ada limbah infeksius dan limbah non infeksius. Limbah infeksius merupakan sisa pembuangan kegiatan laboratorium yang diduga mengandung mikroorganisme yang dapat menularkan penyakit.

Limbah infeksius dikelompokkan menjadi 3 yaitu limbah padat, limbah cair dan limbah tajam. Masing-masing dari jenis limbah tersebut dilakukan sterilisasi dahulu sebelum ditampung di tempat pembuangan sementara (TPS).

Pada limbah padat infeksius, proses sterilisasi menggunakan mesin autoklaf. Limbah cair dan tajam biasanya dilakukan sterilisasi menggunakan bahan kimia tertentu untuk mematikan mikroorgasme infeksiusnya.

Limbah cair infeksius juga bisa langsung di buang ke saluran pembuangan di wastafel ketika ada fasilitas IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) di lab tersebut.

Lalu bagaimana dengan limbah non infeksius? Di laboratorium disediakan tempat khusus untuk menampung limbah non infeksius. Tidak diperlukan proses sterilisasi sebelum limbah dibuang ke TPS. Limbah non infeksius cair bisa langsung dibuang ke saluran wastafel di laboratorium.

Pemilahan limbah adalah bagian dari prinsip smart eco lab. Limbah yang dikelola dengan baik tidak akan menimbulkan bahaya bagi staf lab, orang lain dan lingkungan.

Selain itu, penerapan 3R yaitu Reduce, Reuse dan Recycling juga perlu dilakukan guna mendukung prinsip smart eco lab.

Reduce berarti menghindari sumber limbah dari awal. Hal yang bisa dilakukan salah satunya adalah konsolidasi pemesanan reagen dan consumable lab.

Jangan pesan lebih dari sekali untuk barang yang sama, terutama barang yang digunakan oleh semua petugas lab. Pemesanan barang dapat dilakukan dengan google sheet dilengkapi dengan gambar dan keterangan agar tidak terjadi kesalahan. Komunikasikan dengan vendor agar pengiriman dilakukan dengan meminimalisir banyak boks.

Selain itu, upaya untuk menerapkan reduce juga dapat dilakukan dengan membeli tip eclipse. Tip ini dibuat untuk meminimalisir limbah boks tip yang tidak sedikit dihasilkan oleh lab. 


Reuse berarti memanfaatkan kembali limbah lab. Apa saja limbah yang dapat digunakan lagi, hal ini dapat diskusikan antar petugas lab. Praktik terbaik di lab adalah menggunakan kembali barang yang dapat dipakai daripada langsung dibuang.

Beberapa barang bisa digunakan kembali seperti petri dish kaca. Petri dish kaca dapat digunakan kembali dengan mencuci sampai bersih dan dilakukan sterilisasi sebelum digunakan kembali. Beberapa lab lebih memilih menggunakan bahan disposable yang sekali pakai dengan alasan lebih steril dan tidak repot.

Barang lab lain yang bisa di reuse lagi adalah gel pack dari proses pengiriman reagen atau sampel. Gel pack dapat disimpan di freezer -20 atau -80 untuk kemudian dipakai lagi sesuai kebutuhan.

Hal sederhana lain dalam rangka reuse adalah meminta vendor agar selalu membawa kembali boks tempat reagen yang digunakan dalam proses pengiriman. Lab dapat memberikan saran kepada vendor agar boks tersebut dapat digunakan kembali.

Recycle berarti upaya untuk mengolah kembali limbah di lab. Sebagai catatan, limbah yang dapat diolah kembali adalah jenis limbah yang non infeksius. Adapun untuk limbah infeksius tidak disarankan untuk diolah kembali.

Di Indonesia jarang ditemui vendor khusus yang menangani recycle limbah lab. Kalu di Amerika Serikat ada vendor EHS (Environmental Health Safety). EHS dapat dikontak atau bisa datang langsung guna memberikan masukan barang-barang lab mana saja yang bisa di daur ulang.

Sebagai contoh adalah glove nitril. Glove nitiril yang non infeksius dapat dikumpulkan kemudian nanti bisa didaur ulang menjadi glove kembali.

Efisiensi Penggunaan Air

Salah satu alat yang menggunakan banyak air adalah autoklaf. Hampir 2220 liter air digunakan untuk proses autoklaf setiap harinya. Data tersebut merupakan kebutuhan air untuk jenis autoklaf besar yang pintu ganda. Biasanya banyak digunakan di lab luar negeri. Beberapa lab dalam negeri juga memiliki alat tersebut.


Mengelola jadwal proses autoklaf dapat mendorong penggunaan air yang efisien di lab. Staf lab diharapakan dapat mengupayakan untuk melakukan proses secara bersama ketika memang ada lebih dari satu orang yang membutuhkan.

Selalu gunakan autoklaf secara terpisah untuk keperluan sterilisasi limbah dan sterilisasi bersih peralatan lab. Autoklaf juga harus dimatikan atau dalam keadaan standby mode setelah tidak digunakan kembali.

Keran air atau fauset juga berperan dalam penggunaan air yang berlebihan di lab. Di lab penulis, keran air menggunakan sistem sensor gerak. Hal itu bagus karena dapat mencegah terjadinya infeksi melalui sentuhan.

Namun, untuk aliran air yang keluar masih sangat kencang menurut pengamatan dari penulis. Upaya menghemat air dapat dilakukan dengan cara mengatur aliran air yang keluar dari keran secukupnya dan tidak terlalu kencang.

Berdasarkan data di Universitas California Sandiago, mengatur aliran keran di semua lokasi lab bisa menghemat air mencapai sekitar 2.2 juta liter setiap tahunnya. Dengan pengaturan aliran keran air dapat menghemat penggunaan air di lab mencapai 70%.

***

Laboratorium adalah rumah kedua bagi penulis. Jadi tidak hanya rumah saja yang harus diupayakan untuk hemat dalam penggunaan energi maupun air. Oleh karena itu program smart eco lab tepat diterapkan oleh seluruh pengelola laboratorium di Indonesia.

Uniknya, sejauh pengamatan penulis selama bekerja di laboratorium, banyak sekali hal sederhana yang belum diterapkan untuk menghemat energi. Anggaran yang besar sering kali menjadi alasan untuk tidak mau repot dengan hal-hal yang mengarah pada penerapan prinsip-prinsip smart eco lab.

Komitmen pengelola lab dan juga seluruh petugas lab menjadi kunci penerapan smart eco lab guna mengupayakan hemat energi dan air di laboratorium.

Berikut penulis sertakan beberapa universitas dan website yang fokus mendukung smart eco lab :

Sekian, semoga bermanfaat dan salam ayo melek sains.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun