Dalam diam, kita sering mengira memiliki banyak pikiran sekaligus.
Padahal bukan banyaknya pikiran yang terjadi — melainkan kesadaran kita yang menari, berpindah dari satu ruang batin ke ruang lainnya.
Kadang ia berdiam di ruang marah, kadang di ruang sedih, kadang pula di ruang bahagia.
Dan setiap kali ia berpindah, dunia di dalam diri pun ikut berganti warna.
Ada pikiran, dan ada yang menyadari pikiran.
Pikiran adalah awan yang bergerak, berubah bentuk mengikuti arah angin.
Sedangkan kesadaran adalah langit itu sendiri — luas, diam, dan tak terjamah oleh badai.
Langit tidak pernah marah, tidak pula sedih. Ia hanya menjadi tempat bagi semua awan untuk datang dan pergi.
Namun sering kali, kita lupa menjadi langit.
Kita tersesat di antara awan, mengira diri ini adalah amarah, kesedihan, atau ketakutan itu sendiri.
Padahal, kita hanyalah sang pengamat — yang duduk diam di tengah arus pikiran, menyaksikan segalanya lewat tanpa harus menjadi salah satunya.
Dan yang menggerakkan kesadaran itu... adalah aku.
Aku yang sejati — bukan yang berpikir, tapi yang menyadari bahwa aku sedang berpikir.
Di sanalah letak kendali: bukan untuk menolak ruang marah atau sedih, tapi untuk menyadari kapan aku sedang berada di sana.
Sebab begitu aku sadar, aku bebas untuk berpindah.
Kemana kesadaran pergi, energi pun mengalir ke sana.
Maka berhati-hatilah dengan arah pandangmu, sebab di situlah hidupmu tumbuh.
Dan ketahuilah: hal yang paling banyak membocorkan energi dalam hidup adalah menilai.
Ketika kita menilai, kita melepaskan diri dari saat ini — dari keutuhan keberadaan.
Padahal tidak ada yang benar-benar salah di dunia ini.
Semua hanyalah konsekuensi, jalan untuk belajar.
Apa pun yang terjadi hari ini, adalah sesuatu yang memang perlu kita lalui agar diri ini menjadi lebih utuh.
Dirimu bukan masa lalumu.
Yang sejati hanya ada di detik ini — di saat ini, di napas ini.
Dan di sini, tidak pernah ada masalah.
Yang ada hanyalah keberadaan yang apa adanya.
Pada akhirnya, ketika kesadaranmu telah melewati segala ruang batin,
kau akan menatap masa lalu dengan senyum lembut dan berkata:
“Terima kasih.”
Bahkan pada mereka yang pernah paling kau benci,
sebab tanpa mereka, kau takkan pernah menemukan dirimu yang sekarang —
dirimu yang sadar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI