Data UNESCO melaporkan bahwa 44 juta guru tambahan dibutuhkan secara global untuk memastikan pendidikan dasar dan menengah universal pada tahun 2030. Angka yang luar biasa tapi juga menjadi pengingat betapa besar tanggung jawab dunia untuk memastikan para pendidik mendapat dukungan layak.
Di Indonesia sendiri, jumlah guru di Indonesia pada tahun ajaran 2024/2025 mencapai 4,21 juta orang. Itu artinya, satu dari seratus penduduk Indonesia adalah guru. Sebuah angka real yang menunjukkan bahwa profesi ini benar-benar menjadi tulang punggung bangsa.
Namun, dibalik angka itu masih banyak pekerjaan rumah. Isu kesejahteraan, beban administrasi, hingga ketimpangan kualitas antarwilayah masih membayangi. Maka semangat kolaborasi juga harus diartikan sebagai ajakan untuk saling membantu dan saling mendorong perubahan.
Guru yang kolaboratif bukan sekadar guru yang suka diskusi. Ia adalah sosok yang terbuka terhadap inovasi, tidak segan belajar dari yang muda, dan mampu menularkan semangat positif kepada sejawatnya.
Konsep Collaborative Teaching kini banyak diterapkan di berbagai negara maju. Dua atau lebih guru bekerja sama merencanakan dan mengevaluasi bersama. Hasilnya siswa lebih terlibat dan guru lebih termotivasi dalam pembelajaran kreatif.
Lintas Kolaborasi
Dunia menyadari bahwa pendidikan bukanlah tanggung jawab satu pihak. Karena itu, peringatan tahun ini diselenggarakan bersama ILO, UNICEF, dan Education International (EI). Kolaborasi lintas lembaga ini menjadi simbol bahwa dunia bersatu dalam satu misi memperkuat profesi guru.
ILO membawa isu perlindungan kerja dan kesejahteraan guru. UNICEF menyoroti hak anak atas pendidikan berkualitas. Sementara EI, yang mewakili lebih dari 30 juta pendidik di 170 negara memperjuangkan suara guru di panggung global. Kerja sama ini menunjukkan bahwa profesi guru bukan sekadar urusan nasional tapi isu global. Karena di tangan guru ada nasib generasi masa depan ditentukan.
Tahun ini dengan tema kolaborasi juga relevan dengan kondisi dunia yang sedang bertransformasi. Ketika teknologi AI mulai masuk ke ruang kelas maka guru dituntut bukan untuk bersaing dengan mesin melainkan berkolaborasi dengannya.Â
AI bisa membantu merancang model asesmen, menganalisis hasil belajar, bahkan menyarankan metode pembelajaran. Tapi nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan sentuhan moral tak tergantikan dari seorang guru. Guru masa depan harus melek teknologi tapi tetap hangat secara emosional.
Selain dengan teknologi, guru juga perlu berkolaborasi dengan orangtua dan masyarakat. Praktik ini mulai terlihat di berbagai sekolah bekerjasama dengan komunitas lokal untuk mengembangkan hidroponik, bank sampah, hingga kegiatan sosial. Guru menjadi penggerak yang menyatukan ide-ide dalam bingkai pendidikan.