Belakangan ini, linimasa media sosial kembali diwarnai dengan perdebatan mengenai pelarangan wisuda sekolah. Sebuah video viral memperlihatkan siswa SMA yang dengan penuh semangat menolak aturan tersebut karena menurutnya wisuda adalah momen sakral yang telah mereka nantikan dan persiapkan dengan penuh harap. Fenomena ini seolah menjadi dejavu. Setiap kali musim kelulusan tiba maka perdebatan tentang perlu tidaknya wisuda kembali mencuat. Seakan menjadi perdebatan tahunan yang tak pernah benar-benar selesai.
Sejatinya, wisuda sekolah telah lama menjadi bagian dari budaya pendidikan kita. Ini bukan sekadar seremoni melainkan sebuah simbol transisi penting menuju jenjang pendidikan dan atau kehidupan baru.
Dalam psikologi pendidikan, perayaan seperti ini diharapkan siswa mendapatkan validasi emosional atas perjalanan akademis yang telah mereka tempuh dengan penuh perjuangan.
Namun, di balik nuansa emosional itu muncul kegelisahan yang tidak bisa diabaikan. Kritik mengenai wisuda sekolah mencuat tatkala acara ini kerapkali berubah menjadi ajang pamer kemewahan yang membebani orangtua.Â
Tidak jarang, biaya wisuda sekolah yang tinggi mulai dari sewa gedung megah, seragam atau kostum khusus, bingkisan kenang-kenangan hingga dokumentasi.Â
Ini menciptakan "kesenjangan sosial" di antara siswa. Alih-alih menjadi perayaan kebersamaan tapi wisuda sekolah justru bisa memperlebar jurang ekonomi antar siswa atau keluarga.
Dinamika ini menuntut refleksi bersama. Apakah makna perpisahan sekolah bertajuk wisuda masih murni untuk membangun kenangan, ataukah telah bergeser menjadi sekadar simbol prestise semu?Â
Pendidikan sebaiknya harus menanamkan nilai kesederhanaan, empati, dan toleransi. Barangkali, alih-alih menggelar acara mewah maka sekolah bisa mengadakan acara perpisahan sederhana namun penuh makna. sebuah perayaan yang fokus pada rasa syukur dan semangat melangkah ke masa depan tanpa harus mengorbankan prinsip keadilan sosial.
Polemik tentang wisuda sekolah bukan semata soal setuju atau tidak setuju. Ini adalah momentum untuk meninjau ulang tradisi, menimbang manfaat riilnya, serta memperbaiki praktik yang dirasa kurang relevan.Â
Wisuda ala sekolah, bila dikemas dengan bijaksana maka tetap bisa menjadi kenangan manis. Bukan karena gemerlap acara melainkan karena nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan penghormatan atas perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih cerah.
Pergeseran Perpisahan Sekolah Menjadi Wisuda Sekolah
Dulu, akhir masa belajar di sekolah hanya ditandai dengan acara perpisahan sederhana. Dalam suasana akrab, penuh rasa syukur, dan tidak banyak syarat. Namun, kini tradisi itu telah bergeser menjadi apa yang kita kenal sebagai "wisuda sekolah."Â
Anak-anak sebagian sekolah pada tingkat TK hingga SMA juga ikut-ikutan mengenakan toga layaknya mahasiswa yang baru saja lulus kuliah. Ritual akademis yang dulu eksklusif untuk perguruan tinggi kini seolah menjadi keharusan sejak usia dini lengkap dengan seremonial yang penuh formalitas.
Bersamaan dengan maraknya konsep wisuda maka muncul pula tuntutan baru seperti menyewa toga, menyiapkan seragam khusus, dan membayar biaya dokumentasi hingga gedung mewah sebagai lokasi acara. Banyak sekolah memilih hotel untuk melaksanakan prosesi ini yang kadang terasa berlebihan.Â
Akumulasi biaya tersebut jika dihitung tentu saja bisa menjadi tekanan finansial bagi orangtua. Apalagi dalam situasi ekonomi yang belum tentu stabil dan cenderung sulit seperti sekarang.
Sebuah fenomena ketika simbol-simbol perayaan semakin dibuat megah hingga mengaburkan makna aslinya. Awalnya perpisahan sekolah adalah bentuk penghormatan atas perjalanan belajar penuh kehangatan emosional. Kini, tak jarang esensinya tergantikan oleh keharusan tampil sempurna di depan kamera dan unggahan media sosial demi validasi yang bersifat sementara.
Padahal nilai pendidikan sejatinya bukan terletak pada seremonial yang mewah. melainkan pada perjalanan membentuk karakter, integritas, dan rasa syukur.Â
Acara kelulusan seharusnya bisa dirayakan dengan cara yang lebih inklusif tanpa membebani siapapun. Konsep sederhana namun bermakna seperti syukuran di sekolah, refleksi bersama guru dan teman, atau membuat karya kenangan bersama bisa menjadi alternatif yang lebih membumi dan menyentuh hati.
Saatnya Lebih Bijak Memaknai Perpisahan Sekolah
Setiap kali ada acara sekolah hampir selalu muncul istilah populer, UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Tak terkecuali pada momen perpisahan atau wisuda sekolah membutuhkan biaya tidak sedikit. Yang menjadi ujung tombak pembiayaan tentu saja para orangtua. Nah, bagi keluarga dengan lebih dari satu anak maka beban finansial ini terasa semakin berat menggerus anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lebih prioritas.
Di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian seharusnya kita mulai membangun kebiasaan selektif dalam menentukan prioritas keuangan. Sebab hidup tidak berhenti di acara perpisahan sekolah. Ada biaya masuk perguruan tinggi, biaya pendidikan lanjutan, bahkan kebutuhan mendasar sehari-hari yang lebih mendesak untuk dipenuhi.Â
Merayakan kelulusan itu sah-sah saja. tapi bijak dalam pengelolaan keuangan adalah bekal penting menuju masa depan yang berkelanjutan.
Fenomena ini mencerminkan nilai sebuah momen lebih ditentukan oleh besarnya biaya yang dikeluarkan, bukan oleh makna yang dibangun. Acara wisuda yang seharusnya menjadi momen reflektif berubah menjadi ajang formalitas berbiaya tinggi. Padahal dalam spirit pendidikan, keindahan perpisahan sekolah tidak ditentukan oleh mahalnya acara. melainkan oleh ketulusan apresiasi terhadap perjalanan panjang dalam menuntut ilmu.
Polemik soal wisuda ini menjadi pengingat termasuk karakter bijak mengelola keuangan. Jangan sampai kebanggaan sesaat mengorbankan masa depan. Karena setelah seremoni usai, perjalanan sesungguhnya baru dimulai.Â
Dan itu membutuhkan bukan hanya kenangan indah. tetapi kesiapan finansial dan mental yang kuat untuk menapaki dunia yang lebih luas.
Mengembalikan Makna Perpisahan Sekolah
Jika direnungkan sebenarnya acara perpisahan sekolah itu untuk siapa? Tentu yang paling menggebu ingin merayakannya adalah para siswa yang berharap memiliki kenangan indah di akhir masa studinya.Â
Namun, dalam praktiknya seringkali perpisahan sekolah bergeser menjadi ajang pesta glamor mengenakan toga atau seragam khusus, berdandan serba wah, berlenggak-lenggok di atas panggung, dan berfoto untuk kemudian dipamerkan di media sosial.Â
Sayangnya, dalam euforia tersebut nilai esensial dari perpisahan sebagai momen transisi dan refleksi justru menjadi kabur.
Momen kelulusan seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar seremoni simbolik. Alih-alih sibuk mengejar tren viral maka lebih baik siswa dan sekolah bisa bersama-sama merancang rangkaian acara yang lebih "meaningful".Â
Misalnya, mengadakan bakti sosial untuk panti asuhan, pengumpulan donasi untuk saudara-saudara kita di Palestina, atau menggelar kegiatan literasi dengan mengundang anak yatim, atau dalam bentuk lainnya.
Pergeseran fokus dari pesta hura-hura ke proyek sosial akan jauh lebih berdampak jangka panjang. Bayangkan betapa berartinya kenangan kelulusan jika diwarnai oleh momen berbagi kontribusi nyata. Dan kesadaran akan peran diri dalam kehidupan sosial.
Seremoni perpisahan sekolah semestinya konsepnya dibuat lebih sustainable yaitu ramah "kantong" dan ramah lingkungan. Tidak perlu menyewa gedung mahal, tidak harus menghabiskan uang untuk outfit glamor atau suvenir mewah yang ujung-ujungnya berakhir di pajangan sudut rumah.Â
Sederhana namun berkesan, itu jauh lebih mulia dibandingkan menguras tabungan orangtua untuk sekadar satu hari itu saja.
Kini saatnya siswa diarahkan untuk fokus pada langkah selanjutnya dalam hidup mereka. Setelah kelulusan, dunia nyata sudah menanti. Ada yang harus mempersiapkan diri untuk kuliah, bekerja, atau bahkan membangun usaha kecil-kecilan.Â
Career planning dan entrepreneurial mindset lebih layak diprioritaskan daripada sibuk memikirkan gaya foto wisuda dan joget-joget yang akan diunggah. Masa depan tidak dibangun dari likes dan views tapi dari kerja keras dan ketekunan.
Kita bisa memilih, apakah ingin menjadikan acara perpisahan ini sekadar pesta sehari atau sebagai lompatan bermakna menuju tahap kehidupan berikutnya. Tentang seberapa banyak nilai yang kita tanamkan untuk masa depan.
Polemik soal wisuda sekolah yang kini ramai diperbincangkan sejatinya adalah refleksi kegelisahan kolektif. Ini saatnya kita kembali ke jati diri pendidikan membentuk manusia seutuhnya. bukan sekadar merayakan pencapaian dengan kemewahan artifisial.Â
Karena pada akhirnya kenangan yang paling abadi adalah perjalanan tumbuh bersama dalam kesederhanaan, persahabatan, dan rasa syukur yang tulus.
Tidak ada yang salah dengan merayakan kelulusan sekolah. tetapi penting untuk tetap mempertahankan membiasakan hidup sesuai kemampuan. Itu adalah pelajaran berharga yang juga layak diajarkan sejak dini kepada siswa maupun orangtua. Justru dalam kesederhanaan itulah akan tumbuh kenangan-kenangan yang lebih bermakna dan lebih membekas dalam perjalanan hidup.
Semoga ini bermanfaat.
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
==AKBAR PITOPANG ==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI