Fidl Amour
Belajar dari Sang Maestro Dwianto Setyawan
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya.
Kita sudah seringkali mendengar kata-kata itu sebagai bentuk penghormatan, penghargaan, serta kebanggaan para pejuang terdahulu. Tidak terkecuali pahlawan di bidang sastra anak yang berasal dari Desa Sisir, Batu- Malang, Jawa Timur, yaitu Martinus Dwianto Setyawan.
Semasa hidupnya, Dwianto Setyawan pernah menorehkan beberapa karya cerita anak yang sangat inspiratif, di antaranya Sri Rejeki dan Sersan Grung-Grung. Sri Rejeki adalah cerita pertama yang terbit pada tahun 1975 dan menjadi ledakan literasi anak-anak kala itu. Sedangkan Sersan Grung-Grung terinspirasi dari suara gemuruh penulis yang mengubah cara anak Indonesia  untuk bermimpi menjadi penulis cerita anak yang penuh hikmah dan pesan moral dengan rasa kepedulian pada kearifan lokal Indonesia ini juga menggeluti beberapa profesi yang tentu saja berhubungan dengan dunia bacaan anak-anak.
Penulis seangkatan dengan Arswendo Atmowiloto ini menjadi menunjukkan rasa cinta tanah air melalui buku-buku karyanya. Hebatnya lagi, Dwianto memasuki ranah ke dunia anak-anak dengan bahasa yang tidak menggurui, menggambarkan  ulang sekaligus bertingkat seperti anak-anak namun tidak kekanak-kanakan. Hal inilah yang tidak semua penulis bisa masuk ke ranah dunia anak. Lebih tepatnya bacaan literasi untuk anak-anak dengan bahasa anak-anak.
Jika menilik kembali ke masa kini, geliat literasi bacaan anak mulai meredup. Untuk itu, pemerintah mengalahkan kembali adanya program literasi khususnya yang mengangkat bahasa daerah lewat FTBI ( Festival Tunas Bahasa Ibu). Tidak hanya itu saja, kiprah Dwianto Setyawan dari dulu sudah menanamkan rasa cinta kepada budaya dan juga kearifan lokal nusantara. Tantangan yang dihadapi beliau pun besar, akan tetapi bukan berarti menyurutkan langkah dan semangatnya untuk tetap berjuang membumikan isi serta pesan moral yang beliau tulis.
 Sudah selayaknya cerita anak dengan kearifan lokal tiap daerah di gaungkan lebih kencang dan gencar agar anak-anak di daerah makin tahu, paham, serta mengerti apa saja potensi-potensi yang dimiliki dan ada  ada di daerah mereka. Tidak mudah memang semudah membalikkan telapak tangan, tetapi rasa cinta akan dunia literasi terutama bagi anak-anak di era sekarang harus mempersiapkan vitamin dab asuhan gizi literasi seperti halnya yang telah ditorehkan oleh Sang Maestro, Dwianto Setyawan.
Dengan melihat rekam jejak beliau dengan segala  jatuh bangunnya yang menginspirasi banyak penulis yang peduli dengan cerita anak berbalut kearifan  lokal, rasanya kita memiliki secercah harapan sebagaimana yang diimpikan Pak Dwi untuk generasi-generasi yang akan datang. Hambatan serta rintangan akan selalu ada, akan tetapi belajar dari pengalaman Pak Dwi kita bisa mengambil teladan yang menjadi kita bersemangat demi memajukan literasi Indonesia.
Sebagai seseorang yang pernah berziarah di Balai Pustaka, tentunya karya-karya beliau sudah ada di jajaran nasional yang menjadi sumbangsih  nyata bagi dunia anak. Anak-anak ibarat kertas kosong yang masih bersih. Maka tugas kita selayaknya adalah mengisi hati dan pikiran anak-anak sesuai dengan budaya serta kearifan lokal yang ada.
Dua karya Sang Maestro yang kembali dicetak ulang oleh Gramedia  di tahun 2025 adalah Sri Rejeki dan Sersan Grung-Grung. Karya yang sempat meledak di era 80-an tersebut kita meledak kembali membawa harapan agar dunia literasi anak Indonesia kian berkembang. Tidak hanya itu, melainkan juga diharapkan mereka makin mencintai budaya dan kearifan  lokal sebagai bekal bagi peradaban yang lebih maju.
Selamat jalan dan selamat beristirahat dalam damai, Sang Maestro. Karya-karyamu adalah pelita yang takkan pernah padam bagi anak-anak Indonesia yang kelak akan menjadi penerusmu. Kau adalah pahlawan yang akan selalu terkenang di dunia literasi dan sastra anak Indonesia.