Mohon tunggu...
Akaha Taufan Aminudin
Akaha Taufan Aminudin Mohon Tunggu... Sastrawan

Koordinator Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR

Selanjutnya

Tutup

Book

Dwianto Setyawan Penjaga Imajinasi Anak Negeri

27 September 2025   15:08 Diperbarui: 27 September 2025   15:08 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Akaha Taufan Aminudin Koordinator SATUPENA JAWA TIMUR INDONESIA 

DWIANTO SETYAWAN--PENJAGA IMAJINASI ANAK NEGERIOleh Nia Samsihono

Dwianto Setyawan bukan hanya nama di deretan rak toko buku. Ia adalah bagian dari masa kecil para remaja dan banyak orang Indonesia yang tumbuh pada era 1980 hingga awal 1990-an. Ia adalah penulis yang berhasil membuat cerita detektif remaja, misteri ringan, dan kisah keluarga terasa begitu dekat dan seru. Novel-novelnya yang sebagian besar diterbitkan oleh Gramedia, seperti seri Kelompok 2&1, menjadi bacaan wajib para penggemar cerita-cerita penuh teka-teki yang membangkitkan rasa ingin tahu dan keberanian. Nama itu bukan sekadar penulis. Ia adalah arsitek dunia masa kecil, pencipta petualangan, pemantik rasa ingin tahu. Kini, ketika kabar duka itu datang bahwa Dwianto Setyawan telah berpulang, banyak hati yang diam-diam berkabung. Dunia kehilangan seorang pengarang yang selama puluhan tahun telah menyulam mimpi dan ketegangan dalam lembar demi lembar kisahnya.

Karya-karya Dwianto Setyawan bukan hanya menghibur, tetapi juga mendidik tanpa terasa menggurui. Tokoh-tokoh dalam seri Kelompok 2&1 seperti Ari, Tuti, Dodo, dan kawan-kawan adalah remaja biasa yang cerdas, berani, dan setia kawan---karakter yang menjadi cermin dan panutan bagi banyak pembaca muda kala itu. Mereka bukan superhero, tapi dengan akal sehat, keberanian, dan kerja sama, mereka bisa memecahkan berbagai kasus misterius: dari Malam yang Mencekam, Misteri Patung Airlangga, Rahasia Pesan Serigala, hingga Kasus Foto Kuno. Bahkan judul seperti Pencuri Intel atau Dia Dibalas Lembaran Lima Ribuan menyimpan daya tarik yang sulit dijelaskan. Pembaca remaja kala itu, di tengah keterbatasan hiburan digital, menjadikan karya-karyanya sebagai jendela menuju dunia yang lebih luas dan penuh kemungkinan. Dwianto Setyawan memiliki keahlian langka: membuat cerita yang sederhana menjadi menegangkan dan menyentuh. Ia tahu betul bagaimana menyusun plot yang membuat pembaca penasaran, bagaimana membuat konflik berkembang tanpa kehilangan akar realisme, dan bagaimana menyisipkan nilai-nilai moral secara halus. Ia menulis untuk anak-anak dan remaja tanpa meremehkan kecerdasan mereka.

Tak hanya cerita detektif remaja, Ia juga menulis kisah-kisah keluarga yang penuh rasa. Lihat saja novel Aku dan Mama---sebuah potret hubungan ibu dan anak yang hangat, emosional, dan sarat makna. Ia juga menulis novel-novel lain seperti Lorong-lorong Keraguan atau Ratu Bergun Hitam yang menyentuh tema kehidupan dewasa, menunjukkan bahwa dirinya bukan hanya penulis cerita anak-anak, tetapi sastrawan yang punya rentang ekspresi luas. Bahasa Dwianto Setyawan lugas, tetapi selalu ada sesuatu yang menyala di baliknya---entah itu emosi, ketegangan, atau bisikan batin. Ia memahami pembacanya, dan tahu kapan harus membuat mereka tertawa, tegang, atau diam dalam keharuan. Ia seperti pencerita di balik tirai, tak pernah menampakkan diri sepenuhnya, tetapi suaranya tak pernah kita lupa.

Bagi generasi 80-an dan 90-an, membaca karya Dwianto Setyawan adalah bagian dari tumbuh dewasa. Ia mengajarkan kita bahwa kebaikan kadang butuh keberanian, bahwa tak semua masalah diselesaikan dengan otot, dan bahwa menjadi anak-anak bukan alasan untuk berhenti berpikir. Dalam sunyi, ia menjadi guru yang tak menggurui, sahabat yang tak terlihat, dan penjaga imajinasi anak negeri. Dwianto Setyawan memiliki tempat khusus di hati para pembaca setianya. Karyanya dikenang bukan karena gempita penghargaan, melainkan karena kekuatan narasi dan kejujuran dalam menyampaikan cerita. Ia adalah penulis yang konsisten membela dunia anak dan remaja dalam sastra populer Indonesia. Ia juga memperlihatkan bahwa dunia buku anak dan remaja bukanlah genre pinggiran, melainkan ruang yang sangat penting dalam membentuk imajinasi, etika, dan semangat berpikir generasi muda. Dalam setiap bukunya, ia seakan mengajak pembacanya untuk berpikir kritis, berani bertindak, dan menghargai kerja tim.

Kini, Dwianto Setyawan telah tiada. Kisah-kisahnya tidak pernah benar-benar pergi. Mereka masih hidup di rak-rak buku yang mulai menguning, di perpustakaan sekolah yang tersisa, di hati para pembaca yang kini mungkin telah menjadi orang tua, dan menyodorkan buku-buku itu pada anak-anak mereka. Seorang penulis barangkali bisa mati, tetapi dunia yang ia ciptakan tak akan pernah musnah. Selama masih ada yang membuka Misteri Patung Airlangga, selama masih ada yang bertanya siapa sesungguhnya "Sersan Grung-Grung", maka Dwianto akan tetap hidup. Bukan di media sosial, bukan di panggung penghargaan, tapi di tempat yang paling sunyi dan paling jujur: hati pembaca. Mereka yang pernah membaca Ancaman Surat Berantai atau ikut menelusuri Kutukan Arca Biru tak akan lupa bagaimana rasa tegang dan penasaran bercampur menjadi pengalaman membaca yang menyenangkan. Di tengah serbuan budaya visual, buku-buku Dwianto mengingatkan kita bahwa cerita yang baik tetap punya daya pikat abadi. Kepergian Dwianto Setyawan adalah kehilangan besar bagi dunia literasi anak dan remaja Indonesia. Namun, warisan yang ia tinggalkan terlalu kuat untuk dilupakan. Ia telah membentuk fondasi kecintaan membaca bagi generasi muda, dan itulah keabadian seorang penulis sejati.

Terima kasih, Dwianto Setyawan. Terima kasih atas petualangan yang kau hadirkan lewat halaman demi halaman. Terima kasih telah menciptakan cerita-cerita yang membentuk imajinasi kami, menemani masa kecil kami, dan mengajarkan bahwa menjadi manusia itu, sesederhana menyelesaikan teka-teki: pelan-pelan, bersama-sama, dan dengan hati. Engkau telah pergi, tetapi ceritamu akan terus mengalir di antara para pembaca baru yang mengenalmu, dan para pembaca lama yang selalu mengenangmu.

Terima kasih, Pak Dwianto Setyawan. Selamat jalan penjaga imajinasi, ceritamu tak akan pernah tamat.

Jakarta, 6 Agustus 2025

Biodata:

Nia Samsihono, nama aslinya Dad Murniah, lahir di Pontianak  16 September. Dari SMA I Purbalingga, Jawa Tengah. Ia kuliah di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah dan melanjutkan S-2 di Universitas Indonesia, Jakarta. Buku puisi tunggalnya, antara lain Kemarau (2003), Perkawinan Cinta (2009), Gending (2010), De Javu (2010), Nyanyian Alam (2020), dan Kinanti (2021). Antologi Puisi Esai Jula Juli Asam Jakarta (2014), Antologi Puisi Perempuan Langit 2 (2016), Puisi Esai Perempuan Nusa (2019), Antologi Puisi Negeri Poci: Pesisiran (2019), Antologi Puisi Perempuan Bahari (2019), Antologi Puisi Bandara dan Laba-Laba (2019), Antologi Puisi Perempuan Bahari 2020 (2020), Puisi Esai Mini "Mama, Napasku Sesak Oleh Covid-19"  dalam Love and Life in the Era of Corona (2020). Antologi  Perempuan dan Lautan (2021), Antologi Puisi Negeri Poci: Jauhari (2024). Ia sebagai Ketua Pengurus Yayasan Cinta Sastra, sebagai aktivis di Komunitas Perempuan Bahari. Ia juga sebagai Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena DKI Jaya. Sambil bersastra, ia juga  menjadi ahli bahasa dalam berbagai kasus pencemaran nama baik, pemfitnahan, dan lainnya. Ia juga sebagai penyuluh bahasa, konsultan bahasa, tenaga ahli bahasa di berbagai lembaga dan institusi. Juga sebagai editor berbagai buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun