*Warisan Sastra Martinus Dwianto Setyawan: Sebuah Refleksi dari Sang Adik, Romo Sindhunata*
Oleh : Akaha Taufan Aminudin
Dalam dunia sastra Indonesia, nama Martinus Dwianto Setyawan mungkin tak selalu terngiang di bibir banyak orang, namun jejaknya tetap melekat kuat, terutama di Kota Batu yang tengah berupaya menjadi kota sastra dan literasi.
Lewat catatan dan pengabdian Romo Sindhunata, sang adik kandung yang juga sosok intelektual dan budayawan, kita diajak menyelami kisah hidup Dwianto yang penuh makna sekaligus menggugah rasa.
Artikel ini meresapi nilai penting keluarga, karya, dan pengaruh Dwianto yang kini dibangkitkan kembali melalui cetak ulang buku-bukunya oleh Penerbit Kelompok Gramedia (KPG).
Ada sesuatu yang amat menyentuh ketika kisah sebuah keluarga tersambung erat dengan perjalanan sebuah kota dalam mengukir identitas kulturalnya. Rumah kecil keluarga Ignatius Subianto dan Claudia Suningsih di Kota Batu, dari mana lahir enam saudara, termasuk Martinus Dwianto Setyawan dan Romo Sindhunata, seolah tak sekadar tempat tinggal, melainkan ladang subur yang menumbuhkan kecintaan pada sastra dan literasi.
Romo Sindhunata, sang adik, bukan hanya mencatat catatan biografi Dwianto dengan penuh ketelitian, tapi juga menjaga warisan itu tetap hidup. Dalam beberapa pesan yang ia sampaikan kepada Mas Taufan dan konstituen sastra di Kota Batu, jelas terlihat bagaimana ia menaruh harapan besar agar pengajuan penghargaan atau pengakuan atas karya Dwianto berhasil. Baginya, bukan sekadar penghormatan pribadi, tapi kehormatan untuk kota yang ia cintai---Kota Batu.
Sosok Dwianto sendiri bukan tokoh yang melulu berkutat di kamus sastra atau ruang baca sunyi. Setelah aktif menulis dan berkarya, ia menapaki karir sebagai pemimpin redaksi majalah anak-anak Hopla, serta kemudian memimpin Harian Surya di Surabaya. Posisinya itu bukan hanya perihal jabatan, melainkan tantangan besar menyemai benih-benih literasi dan cinta baca dalam jiwa pembaca muda dan masyarakat luas. Sebuah kontribusi yang tak lekang oleh waktu.
Ketika Penerbit Kelompok Gramedia (KPG) mulai mencetak ulang karya-karya Dwianto, itu bukan sekadar strategi bisnis penerbit besar. Lebih dari itu, ini adalah momentum buat menghidupkan kembali semangat literasi dan apresiasi akan karya lokal yang sarat keindahan bahasa dan kedalaman isi.
Semangat yang oleh Sindhunata dan para pegiat literasi di Batu dan sekitarnya terus dijaga, agar Kota Batu benar-benar terakui sebagai kota sastra dan pusat literasi yang mencerahkan.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kisah Dwianto dan keluarganya mengajarkan kita beberapa hal berharga.