Di situ ada pengetahuan yang tidak bisa dipindahkan ke PDF: tekanan tangan saat menganyam, tempo pukulan saat membuka tarian, kalimat yang tepat saat menutup doa. Dan di bawah semua itu ada ekonomi kecil yang membuat keterampilan tetap hidup. Tanpa nafkah, kebanggaan mudah berubah jadi pajangan.Â
Namun mesin yang sama juga membuka pintu aneh: seorang pemain talempong berkolaborasi dengan produser elektronik; seorang penjahit desa menjual jaket tenun ke Tokyo; seorang pemandu upacara adat membuat kanal yang memperlihatkan proses dari awal.
Ada momentum ketika akar menyentuh antena: yang tradisional bukan lagi museum, melainkan mode "hidup". Kita tak butuh izin siapa pun untuk itu---hanya butuh alasan hari ini: kegunaan, kebanggaan, dan rasa "gue banget".Â
Anak gadis berambut merah itu, kalau dipikir, tidak sedang "mengkhianati" siapa pun. Ia sedang mencari bahasa agar terlihat dan diakui.
Kalau kampung halaman tak menyediakan panggung yang membuatnya merasa berharga, ia akan pindah ke panggung yang lain---sekalipun panggung itu meminjamkan identitas yang sementara.
Di sinilah globalisme terasa paling personal: bukan pada ukuran pasar, tetapi pada getar kecil di dada---aku diterima atau tidak.Â
Maka refleksi ini berakhir bukan pada larangan, juga bukan pada selebrasi kosong. Yang ingin kupegang sederhana: tradisi yang bertahan selalu yang menjanjikan masa depan.
Ia memberi hal yang bisa dipakai hari ini, entah bahasa, keterampilan, atau cara berkumpul yang bikin kepala lebih ringan. Ia memberi gengsi yang tidak bikin malu di ruang kerja atau di feed. Ia memberi nafkah yang membuat tangan ingin terus mengulang gerakannya.
Ketika tiga hal itu hadir, algoritma justru ikut membantu---karena sistem akan selalu mendorong apa yang orang cari dan pakai.Â
Mungkin, pada akhirnya, kita hanya perlu berdamai dengan gambar ini: rambut boleh merah, kepang dua tidak punah---ia menunggu waktu pulang dengan bentuk yang lebih ringan, lebih cepat, lebih tajam.
Tidak semua harus dibawa, tidak semua harus dilepas. Yang penting, saat kita mengetik caption terakhir, kita masih ingat nama benda-benda itu, siapa yang mengajarkannya, dan mengapa perasaan tertentu datang setiap kali kita menyentuhnya.Â