Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budak Hitam Upeti Majapahit

20 Februari 2023   19:56 Diperbarui: 20 Februari 2023   20:23 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Diplomasi antara Nusantara dengan Kekaisaran Tiongkok sudah berlangsung lama. Beberapa catatan menunjukkan sudah terjadi sejak abad pertama Masehi. Menurut catatan dari kitab sejarah Tiongkok kuno, sejak zaman Dinasti Han Timur, yaitu tahun 25-220 Masehi, antara Tiongkok dan Nusantara sudah berlaku tatanan hubungan tributer.

Prof. Liang Liji dalam bukunya yang berjudul "Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis, 2000  Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia terbitan Kompas menyampaikan  bahwa "Demi menggalakkan persembahan upeti sejak semula kaisar Tiongkok telah menerapkan kebijakan: 'sedikit persembahan dibalas banyak anugerah'. Hal itu sangat efektif karena baik dinilai dari segi politik maupun dari segi ekonomi, bisa mendatangkan keuntungan ganda kepada negara pemberi upeti. Sejak jaman Dinasti Han, sudah ada kerajaan di Nusantara yang mengirim utusan pembawa upeti untuk mendapatkan pengakuan dan anugerah dari Kaisar Tiongkok."

Hubungan dengan Kekaisaran Tiongkok itu, semasa Dinasti Yuan-Mongol sempat memanas yaitu di masa Kerajaan Singasari di bawah kuasa Kertanagara. Duta dari Dinasti Yuan yang meminta Singasari tunduk pada Kekaisaran Tiongkok di bawah Kubilai Khan dilukai yang membuat Kubilai Khan tersinggung lantas mengirimkan ekspedisi penghukuman. 

Ekspedisi Penghukuman itu terlibat konflik politik internal di Jawa; yang seharusnya menghukum Kertanagara tetapi karena Kertanagara sudah meninggal karena pemberontakan saingan politiknya yaitu Jayakatwang, justru malahan mengembalikan kedudukan Dinasti Kertanagara, dan menghukum mati Jayakatwang.

Hubungan  diplomasi dengan Yuan pun segera dikembalikan. Pasca kematian Dyah Wijaya, pendiri dan raja pertama Majapahit, 1309, terlihat hampir setiap tahun duta-duta Majapahit dikirim ke Tiongkok, bahkan di masa Dinasti Ming, yang menggulingkan Dinasti Yuan pada 1368. 

Dari tahun 1370 sampai akhir abad ke-15, sejarah Dinasti Ming menyebutkan tidak kurang dari 43 perutusan Jawa,  yang 41 di antaranya berlangsung antara 1370 sampai 1465. (Lihat: Abd Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2018;68)  Dan Tiongkok pun mengakui kedaulatan Majapahit bahkan ketika konflik dengan Malaka dalam soal status Palembang, Tiongkok Ming mengakui kedaulatan Majapahit atas Palembang yang dengan  itu mengakhiri status politik Sriwijaya.

 Hubungan diplomasi antara Majapahit dengan Kekaisaran Tiongkok ini tentu tidak dengan tangan hampa. Berbagai upeti dipersembahkan : selain Lada, rempah-rempah, mutiara,  juga budak-budak, terutama budak hitam.  Tercatat, misalnya, pada 1381, Majapahit mengirimkan sejumlah utusan yang membawa 300  budak hitam. Tahun selanjutnya,  membawa budak hitam pria dan wanita, yang berjumlah seratus orang.  (W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam catatan Tionghoa, Komunitas Bambu, Depok, 2018;42)

Upeti budak hitam ini bukan monopoli Majapahit. Jauh sebelumnya, sekitar tiga abad sebelum Majapahit berdiri,  Kalingga yang terkenal dengan Ratu Sima itu, sudah menjadikan budak hitam sebagai upeti. "Pada tahun 813, mereka mempersembahkan empat orang budak...Teks Tionghoa menyebutnya budak sangchi. Nama ini sering digunakan dan sepertinya menunjukkan orang kulit hitam. Saya tidak mengetahui asal nama ini," tulis W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa.

Koesalah Soebagyo Toer mencatat dalam Kronik Irian Barat terbitan Teplok Press bahwa pada awal abad VII,  saudagar-saudagar Sriwijaya mengunjungi Irian yang sudah dikenal sebagai daerah di mana terdapat berbagai macam Burung Cendrawasih yang luar biasa indahnya dan menjadi pokok berbagai macam dongeng. Para saudagar Sriwijaya itu  menyebut Irian dengan nama "Janggi"  yang sampai kini masih tersimpan dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia, janggi berarti orang hitam. Dan Pada salah satu dinding Candi Penataran yang dibangun kira-kira pada abad VII di dekat Kota Blitar, terdapat relief seekor Burung Kasuari yang tidak terdapat di daerah Indonesia manapun kecuali di Irian Barat. Juga  diketahui bahwa Maharaja Mauli dari Dharmmacraya, pada 1377  mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa pelbagai upeti di antaranya Burung Kaswari. Selain itu, ada cerita di Babad Tanah Jawa bahwa Raden Bondan Kejawan ialah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang permaisuri asal Wandan, suatu suku yang berkulit kehitam-hitaman.

Dengan demikian, "budak hitam" upeti Majapahit itu kemudian juga mendapatkan posisi terhormat melalui kisah Bondan Kejawan. Orang-orang berkulit hitam atau kehitam-hitaman itu menjadi bagian dari Majapahit yang menguasai Nusantara sebagaimana dicatat Nagarakertagama karya penyair Prapanca.                                                            

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun