Mohon tunggu...
ajriya nasywa husna
ajriya nasywa husna Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang diberi tugas untuk mengupload sebuah artikel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketimpangan Sosial Ekonomi: Dampak Tren Olahraga Padel terhadap Akses Ruang Terbuka bagi Masyarakat Marginal di Indonesia

27 Mei 2025   19:12 Diperbarui: 27 Mei 2025   19:22 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Padel (Sumber: Padel Magazine)

Beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan pertumbuhan yang signifikan dalam popularitas olahraga padel, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali. Olahraga ini, yang menggabungkan elemen dari tenis dan squash, telah menjadi bagian dari gaya hidup baru di kalangan kelas menengah ke atas. Hal ini terlihat dari banyaknya klub padel eksklusif yang bermunculan di area perkotaan yang elit. Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Asosiasi Padel Indonesia (2024), jumlah lapangan padel mengalami lonjakan signifikan, dari hanya 12 unit pada tahun 2020 menjadi 187 unit pada penghujung tahun 2024. Sebagian besar lapangan tersebut terkonsentrasi di wilayah Jakarta yang mencakup 42% dari total, diikuti oleh Surabaya sebesar 18%, dan Bali sebanyak 15%. Pertumbuhan pesat ini tidak hanya mencerminkan popularitas padel sebagai tren olahraga yang tengah naik daun, tetapi juga mencerminkan adanya ketimpangan dalam persebaran ruang dan akses yang berpotensi memperdalam kesenjangan sosial. Oleh karena itu, fenomena ini perlu dipahami secara lebih mendalam melalui pendekatan geografi sosial yang mampu mengungkap dinamika spasial dan sosial di balik perkembangan tersebut.

Di Indonesia, ketimpangan sosial spasial sudah lama ada. Menurut data yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2023, ada perbedaan yang signifikan dalam distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh kesenjangan ekonomi yang dihitung dengan Indeks Gini, yang masih berada pada angka 0,381. Angka ini menandakan adanya perbedaan yang cukup mencolok dalam hal distribusi pendapatan di masyarakat. Ketimpangan tersebut tidak hanya terlihat dari segi ekonomi semata, tetapi juga tercermin dalam akses terhadap ruang terbuka yang layak dan berkualitas, yang semakin sulit dijangkau seiring meningkatnya laju urbanisasi dan tingginya tekanan komersialisasi atas lahan-lahan di wilayah perkotaan. Dalam situasi seperti inilah, kemunculan olahraga padel tidak bisa dipandang sekadar sebagai tren rekreasi semata, melainkan perlu dipahami pula sebagai gejala sosial, ekonomi, dan spasial yang mencerminkan dinamika ketimpangan yang ada.

Menurut teori urbanisasi yang dikemukakan oleh Harvey (2012), proses pembangunan kota tidak berlangsung secara merata dan cenderung memberikan manfaat yang lebih besar kepada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, khususnya mereka yang memiliki kekuatan ekonomi atau politik. Sebaliknya, kelompok lain yang lebih rentan atau memiliki akses terbatas terhadap sumber daya justru semakin tersisih dari ruang-ruang kota yang terus berkembang. Dalam konteks ini, olahraga padel muncul sebagai simbol gaya hidup yang dikaitkan dengan status sosial tertentu. Kehadiran dan popularitas olahraga ini memperjelas perbedaan antara kalangan menengah ke atas dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi maupun sosial. Sejalan dengan itu, media memiliki peran penting dalam membentuk dan memperkuat identitas kolektif. Dalam hal ini, olahraga padel juga turut berkontribusi dalam proses tersebut, sekaligus mempertegas batas-batas eksklusivitas yang membatasi akses kelompok lain terhadap simbol-simbol budaya tertentu.

Salah satu konsekuensi penting dari meningkatnya popularitas olahraga padel adalah terjadinya perubahan pada fungsi penggunaan lahan. Dalam sejumlah kasus, pembangunan fasilitas padel menyebabkan alih fungsi lahan yang sebelumnya dimanfaatkan sebagai ruang publik atau sarana olahraga bersama yang terbuka bagi masyarakat luas. Sebuah contoh nyata dapat ditemukan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di lokasi ini, terdapat sebuah lapangan futsal yang dahulu dapat digunakan oleh warga sekitar dengan biaya sewa yang relatif terjangkau. Namun, lapangan tersebut kini telah berubah menjadi sebuah klub padel yang bersifat eksklusif, dengan struktur tarif yang jauh lebih mahal dan tidak lagi mudah diakses oleh kalangan masyarakat biasa. Perkembangan serupa juga terlihat di kota Bandung, khususnya di kawasan Dago. Di sana, sebidang tanah yang selama ini digunakan secara informal oleh warga untuk berbagai kegiatan komunitas dan interaksi sosial, kini telah dialihfungsikan menjadi fasilitas olahraga padel yang tertutup dan berpagar, yang aksesnya dibatasi hanya untuk individu atau kelompok yang memiliki kemampuan finansial memadai. Fenomena ini mencerminkan konsep yang dijelaskan oleh Harvey (2012) sebagai "akumulasi melalui perampasan" yakni suatu proses di mana ruang-ruang yang sebelumnya bersifat publik atau semi-publik diubah menjadi komoditas yang bersifat privat dan komersial. Dalam konteks ini, ruang-ruang tersebut tidak hanya kehilangan sifat keterbukaannya, tetapi juga secara perlahan mendorong terjadinya penggusuran secara tidak langsung terhadap masyarakat dari kelompok marjinal, yang sebelumnya memiliki akses terhadap ruang-ruang tersebut untuk kegiatan rekreasi maupun interaksi sosial.

Ketimpangan dalam akses terhadap ruang terbuka memiliki dampak yang nyata terhadap kondisi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Ruang terbuka memainkan peran penting sebagai sarana untuk melakukan aktivitas fisik, yang pada gilirannya memberikan manfaat besar tidak hanya bagi kesehatan jasmani, tetapi juga bagi kesehatan mental. Dalam pandangan (Veenhoven, 2009), lingkungan yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial secara positif dapat meningkatkan kualitas hidup individu. Namun, ketika ketersediaan ruang terbuka menjadi terbatas, terutama di kawasan-kawasan yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang terpinggirkan, maka mereka kehilangan peluang berharga untuk terlibat dalam kegiatan yang dapat mendukung dan memperbaiki kesejahteraan mereka. Di Indonesia, munculnya tren olahraga padel menunjukkan bagaimana fenomena semacam ini dapat menciptakan kesenjangan sosial ekonomi yang cukup mencolok, di mana hanya kalangan tertentu yang memiliki akses terhadap fasilitas ruang terbuka yang memadai. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pengambil kebijakan untuk memberikan perhatian serius terhadap permasalahan ini, serta mengambil langkah-langkah yang konkret guna memperluas akses terhadap ruang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat, demi mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil dan setara.

Sumber:

Harvey, D. (2012). Rebel cities: From the right to the city to the urban revolution. Verso books.

Veenhoven, R. (2009). Well-being in nations and well-being of nations. Is there a conflict between individual and society. Social Indicators Research, 91(1), 5–21. https://doi.org/10.1007/s11205-008-9323-7

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun