Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Benarkah Presiden Jokowi Bisa di-Impeachment Jika Menerbitkan Perppu KPK?

6 Oktober 2019   11:22 Diperbarui: 6 Oktober 2019   11:47 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari beberapa pendapat pakar hukum Tata negara, diantaranya, Romli Atmasasmita, Indriyanto Seno Adji, dan Fahri Bachmid, menyatakan Presiden Jokowi bisa di-Impeachment (dimakzulkan) jika menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.

Ada celah pelanggaran konstitusi yang bisa menyebabkan Presiden Jokowi bisa dimakzulkan. Dari pengamatan ketiga pakar hukum tata negara diatas, pemaparan Fahri Bachmid lebih jelas dan mudah difahami.

Sebaliknya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, heran dengan pernyataan sejumlah pihak yang menyatakan presiden bisa di-impeachment jika menerbitkan Perppu revisi UU KPK.

Dikatakan Mahfud, Presiden hanya bisa di-impeachment jika terlibat korupsi, terlibat pengkhianatan, terlibat penyuapan, kejahatan besar yang bisa diancam pidana lebih dari 5 tahun, dan perbuatan tercela.

"Di luar itu, presiden berbuat apa pun tidak bisa dijatuhkan," tandas Mahfud.

Pendapat Mahfud ini terbilang ekstrim, karena secara aturan hukum yang berlaku, ada tiga dasar yang menyebabkan seorang Presiden bisa dimakzulkan.

Seperti yang pernah disampaikannya peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris,
"Yang bisa dijadikan alasan impeachment itu apabila presiden dan atau wakilnya, melakukan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, " kata Syamsuddin Haris saat berbincang dengan Sindonews di ruang Media Center LIPI, Gedung Sasana Widya Sarwono, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (10/10/2014).

Kemudian, dasar lainnya apabila presiden dan atau wakil presiden melanggar konstitusi dan mengkhianati negara. "Cuma tiga itu, " ucapnya.

Sementara Mahfud sama sekali tidak menjelaskan adanya peluang bagi presiden untuk melanggar konstitusi, jika menerbitkan Perppu KPK. Padahal dalam tiga syarat presiden bisa di makzulkan, salah satunya karena adanya pelanggaran konstitusi.

Terkait penerbitan Perppu KPK dikuatirkan memang ada celah bagi presiden melanggar konstitusi, seperti yang dikatakan, Romli Atmasasmita, Indriyanto Seno Adji, dan Fahri Bachmid.
Menurut Romli, mendesak presiden menerbitkan perppu sama saja dengan menjerumuskan presiden.

"Mereka yang mendorong presiden untuk membuat perppu pembatalan revisi UU KPK menjerumuskan presiden ke jurang kehancuran lembaga kepresidenan," kata Romli dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (4/10/2019).

Romli menyarankan agar presiden segera segera mengundangkan hasil revisi UU KPK yang telah disahkan DPR pertengahan September 2019 dan mempercepat pelantikan pimpinan KPK yang baru. Presiden bisa melanggar UU jika menerbitkan Perppu sebelum UU tersebut diundangkan.

Senada dengan pendapat Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji, penerbitan Perppu terkait UU KPK yang baru disahkan DPR inkonstitusional bila tidak ada kegentingan yang memaksa, meskipun itu hak prerogatif presiden yang bersifat subjektif.

"Meskipun penerbitan perppu merupakan hak prerogatif presiden dan bersifat subyektif, tetapi penerbitan perppu terhadap UU KPK menjadi tidak konstitusional. Sebab, perppu tersebut tidak memenuhi syarat kondisi 'kegentingan yang memaksa', sebagaimana parameter yang disyaratkan Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009," kata Indriyanto, di Jakarta, Kamis (3/10/2019).

Syarat kegentingan memaksa dalam penerbitan Perppu merupakan parameter yang diisyaratkan UUD 1945, dan bisa ditafsirkan secara beragam. Inilah yang menjadi fokus pembahasan Pakar Hukum Tata Negara Dr Fahri Bachmid SH MH.

Fahri mengemukakan, secara konstitusional, pranata penetapan Perpu berdasar pada tahapan terjadinya keadaan genting yang memaksa presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau ada kebutuhan yang mengharuskan atau reasonable neccesity.

Dalam konteks keadaan darurat legal reasoning untuk membuat rezim regeling yang bersifat khusus adalah, harus ada sifat bahaya atau dangerous threat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, disertai oleh kebutuhan reasonable neccesity, dan kegentingan waktu limid time sebagaimana diatur dalam Pasal 22.

"Nah berdasar pada kondisi di atas dan jika dikaitkan dengan tuntutan berbagai elemen masyarakat agar Presiden dapat mengambil kebijakan mengeluarkan Perppu adalah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusional. Perppu KPK berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi dan mengancam kewibawaan Presiden sebagai The Sovereing Power atau The Sovereing Executif berdasarkan logika hukum tata negara darurat," ujar pria kelahiran Waimangit, Kabupaten Pulau Buru, Maluku ini.

Jadi dari ketiga pakar hukum tata negara diatas, baik Romli Atmasasmita, Indriyanto Seno Adji, dan Fahri Bachmid, mengingatkan penerbitan Perppu KPK berpeluang untuk terjadinya pelanggaran konstitusi.

Namun bagi Mahfud MD, dari tiga langkah yang bisa ditempuh untuk mengoreksi atau membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan DPR, hanya penerbitan Perppu yang lebih memungkinkan dibanding judicial review, maupun legislatif review.

Semua terpulang kepada keputusan presiden nantinya, apakah tetap akan menerbitkan Perppu KPK, atau akan mempertimbangkan saran-saran dan masukan dari para pakar hukum tata negara. Wallahu'alam.

Sumber: Satu / Dua / Tiga / Empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun